Dilema di Balik Penyanderaan Pilot Susi Air

Pilot Susi Air, Philip Mehrtens yang disandera oleh TPNPB pimpinan Egianus Kogoya/Istimewa

Sudah lebih dari enam bulan pilot Philip Mehrtens disandera Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogoya, dan sampai kini belum ada kemajuan berarti dalam upaya pembebasannya.

Pagi hari Selasa, 7 Februari 2023, pesawat Susi Air dengan nomor penerbangan SI 9368 dilaporkan hilang kontak, pesawat yang sedianya kembali ke Timika tersebut ditemukan terbakar di Lapangan Terbang Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.

Seperti dilansir dari Tempo, juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, dalam pernyataan tertulisnya, mengaku, pihaknya bertanggung jawab atas sabotase pesawat Susi Air tersebut. Mereka juga menyandera pilot Philip Mehrtens yang merupakan warga negara New Zealand. Sambom menyebut, alasan organisasi mereka melakukan aksi kekerasan tersebut karena pesawat tersebut melanggar zona larangan terbang di atas wilayah Papua Barat.

Mengapa terjadi penyerangan dan penyanderaan terhadap warga atau pihak lain yang tidak terkait langsung dengan konflik? Ekaterina Stepanova dalam bukunya Terrorism in Asymmetrical Conflict (2018) menjelaskan bahwa dalam konflik bersenjata, di mana terdapat perbedaan kekuatan yang besar antara pihak yang berkonflik terutama dalam hal sumber daya militer dan ekonomi bahkan status formal, atau dikenal dengan istilah konflik asimetris, pihak yang lebih lemah menyerang warga dan infrastruktur sipil sebagai bagian dari taktik untuk meciptakan tekanan dan paksaan bagi pihak lawan yang lebih kuat. Dalam konteks ini, TPNPB adalah pihak yang lemah dalam hal sumber daya militer dan ekonomi sehingga menggunakan taktik penyanderaan untuk menciptakan tekanan bagi pemerintah Indonesia melalui pihak ketiga yakni pemerintah dan warga New Zealand.

Penyanderaan sebagai alat menekan Pemerintah Indonesia

Dalam video yang mereka rilis pada Jumat 27 Mei 2023, Mehrtens yang diapit oleh Egianus Kogoya dan pasukannya dipaksa menyampaikan pesan ke negara-negara lain untuk “berbicara” dengan Indonesia. Jika hal itu tidak dipenuhi, dirinya akan ditembak mati dalam dua bulan. Ancaman tersebut bukan yang pertama kali dilontarkan, sejak pertengahan Februari, ancaman untuk membunuh Mehrtens jika Indonesia tidak mau duduk berunding dengan TPN-OPM telah disiarkan terutama oleh media-media asing seperti Radio New Zealand, Sidney Morning Heralds serta CNN.

Namun, nampaknya TPNPB-OPM sendiri mengalami dilema terkait penyanderaan yang mereka lakukan. Mendekati batas waktu yang mereka tentukan, pernyataan TPNPB-OPM melalui Sambom berubah drastis. Dalam wawancara dengan Tempo 2 Juli, 2023, dia menyebut pilot Mehrtens bukan musuh TPNPB melainkan teman dekat dari New Zealand, negara tetangga di wilayah Pasifik. Sambom mengklaim bahwa mayoritas rakyat New Zealand dan Australia mendukung kemerdekaan Papua. Karena itu, menurutnya, tidak ada gunanya membunuh sang pilot, bahkan membebaskannya akan lebih berguna secara politik.

Bukan Cuma Sambom, Akoubou Amatus Douw, seorang juru bicara TPNPB yang lain dalam wawancaranya dengan kantor berita Australia ABC menegaskan bahwa mereka menjamin keselamatan nyawa Mehrtens, menyebutnya sebagai bagian dari rakyat pasifik, dan menghormati hak asasinya sesuai piagam PBB.

Sikap yang tidak konsisten ini bukan tanpa sebab, TPNPB menyadari kalau keselamatan Mehrtens sangat penting bagi mereka. Jika sesuatu yang buruk terjadi terhadap warga New Zealand tersebut akan menjadi backlash terhadap perjuangan TPNPB dan cita-cita Papua Merdeka secara keseluruhan. Secara umum, warga sipil dan organisasi nonpemerintah di New Zealand cukup vokal dalam memberi dukungan bagi perjuangan kemerdekaan West Papua. Kelompok-kelompok pejuang HAM yang ada di Negeri Kiwi sangat sering berdemonstrasi menyuarakan dukungan mereka atas kemerdekaan Papua.

Tidak hanya LSM yang bersuara lantang mendukung kemerdekaan Papua, bahkan politisi pun terang-terangan menunjukkan dukungannya. Anggota parlemen dari Partai Hijau New Zealand, Marama Davidson misalnya, sampai turun ke jalan memimpin demonstrasi untuk mendesak pemerintah New Zealand agar lebih tegas menyatakan sikap kepada Indonesia dalam persoalan kemerdekaan Papua.

Merujuk pada fakta-fakta tersebut di atas, jika sampai penyanderaan terhadap Merhtens berujung fatal, akan menjadi kerugian yang besar bagi perjuangan TPNPB-OPM sendiri.

Penyanderaan sebagai taktik yang keliru

Berkaca pada Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1979 yang mendefinisikan sandera sebagai seseorang yang ditahan dan di bawah ancaman kematian, cedera, atau penahanan berkelanjutan oleh individu atau kelompok untuk memaksa pihak ketiga untuk melakukan-atau tidak melakukan- tindakan apa pun sebagai syarat eksplisit atau implisit bagi pembebasan orang itu, maka jelas TPNPB-OPM dalam dilema yang besar terkait aksi penyanderaan pilot New Zealand ini.

Dengan melakukan penyanderaan, TPNPB-OPM jelas telah melakukan aksi yang akan mendapatan sorotan negatif dari warga dunia. Aksi ini dilakukan tentu dangan tujuan yang jelas, sebuah taktik untuk memaksa pihak ketiga dalam hal ini pemerintah New Zealand untuk melakukan keinginan TPNPB-OPM yakni mendesak Indonesia untuk bersedia maju ke meja perundingan. Namun, unsur memaksa dalam aksi penyanderaan harus melibatkan kekerasan, hal ini minimal berarti pihak lain benar-benar yakin akan potensi kekerasan bahkan pembunuhan sebagai konsekuensi dari tuntutan yang tidak dipenuhi. Sementara, TPNPB sendiri telah menyatakan menjamin keselamatan pilot New Zealand Philip Mertens yang mereka anggap sebagai teman yang mendukung perjuangan mereka seperti sebagian besar warga sipil New Zealand. Menciderai apalagi sampai membunuh Mehrtens disadari sebagai aksi yang sangat merugikan karena itu hampir mustahil dilakukan.

Dengan memahami situasi secara keseluruhan, pernyataan terbaru dari Sebby Sambom kepada wartawan Tempo bahwa Panglima TPNPB-OPM setuju membebaskan pilot Mehrtens dengan syarat pemerintah Indonesia harus bersedia berunding dengan mereka nampaknya kehilangan daya paksanya.

Di satu pihak, Pemerintah New Zealand juga nampaknya tidak terlalu panik dan percaya jika warganya itu akan kembali dengan selamat lewat cara-cara damai. Lihat saja laporan kantor berita Australia ABC di mana Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan aparat Indonesia telah bersiap melakukan operasi militer pembebasan pilot Mehrtens, namun otoritas New Zealand sendiri yang meminta agar pembebasan warga mereka itu dilakukan tanpa kekerasan.

Mencermati situasi ini, dapat dipahami mengapa krisis penyanderaan pilot Philip Mehrtens menjadi berlarut-larut. Nampaknya semua pihak yang terlibat saling menunggu dan ragu untuk bertindak, terutama pihak TPNPB-OPM yang berada dalam posisi yang sangat dilematis. *Gusti Patading
*Penulis adalah pengajar pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *