JAYAPURA, FP.COM – Sepak terjang Persipura Jayapura tak bisa disangsikan telah mengharumkan nama Papua di kancah persepakbolaan nasional. Torehan empat titel gelar juara liga plus deretan trofi turnamen lainnya mengukuhkan hegemoni Mutiara Hitam di tanah air.
Sayangnya, sejauh ini, hampir tak ada klub asal Papua lainnya yang mampu mendekati prestasi saudaranya itu.
Sejatinya, di era kompetisi Perserikatan, Papua telah memiliki perwakilan di pentas sepak bola nasional. Selain Persipura, ada Perseman Manokwari, Persis Sorong dan Persidafon Dafonsoro. Memasuki era Liga Indonesia, Persis bak hilang ditelan bumi, terdepak dari peta sepak bola tanah air.
Perseman hanya sekali muncul ketika tampil di Divisi Utama 2007, mendampingi Persiwa Wamena dan Persipura Jayapura. Namun, berbeda dengan kedua tim itu, Peerseman tak lolos ke Liga Super di tahun berikut setelah menempati posisi 17 wilayah Timur. Hino Cofu, julukannya, hanya mengemas 32 poin, hasil dari delapan kemenangan, delapan imbang dan 18 kekalahan.
Bernasib lebih baik, Persidafon Dafonsoro pernah mengecap hingar bingar kompetisi Liga Indonesia selama dua musim. Klub berjuluk Gabus Sentani ini unjuk gigi di ajang Indonesia Super League (ISL), tahun 2011 hingga 2013, sebelum degradasi ke kasta kedua.
Kiprahnya memang relatif singkat, namun, sejarah mencatat, dari klub yang bermarkas di Stadion Barnabas Youwe inilah seorang bintang bernama Yohanes Ferinando Pahabol lahir dan dikenal seantero Nusantara.
Prestasi terbaik di papan klasemen diperoleh Persidafon pada musim 2011/2012. Digawangi pemain sekelas Christian Worabay, Eduard Ivakdalam, Feri Pahabol, Patrich Wanggai dan bintang asal Argentina, Marcelo Cirelli, Persidafon mampu meraup 46 poin dan finis di posisi sepuluh besar.
Klub yang identik dengan seragam hitam putih ini terakhir diketahui bermain di Liga 3.
Kisah miris dialami klub Papua lainnya, Persiram Raja Ampat. Tampil perdana di ISL musim 2011/2012, nasib Persiram tak lebih baik dari Persidafon. Tim dari Kepulauan Raja Ampat ini tercecer di peringkat ke-14 klasemen akhir, satu strip di atas zona playoff degradasi dengan koleksi 38 poin. Musim berikutnya, Persiram tampil lebih moncer dan mengahiri kompetisi di posisi ke-8.
Melihat materi pemain, Persiram selayaknya bisa mendapatkan hasil lebih baik. Musim 2012/2013 mereka punya amunisi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebut saja nama-nama beken seperti Oktovianus Maniani, Marthen Tao dan legiun asing Jean Paul Boumsong serta Essaiah Pello Benson.
Sekadar numpang lewat, klub yang berdiri tahun 2004 tersebut kemudian jatuh di titik nadir kala manajemen memutuskan menjual saham kepemilikan berujung merger dengan PS TNI, tahun 2016. Tinggallah Persiram sebagai sebuah kenangan.
Berikutnya, tahun 2014, klub dari Teluk Cenderawasih Perseru Serui membuat kejutan setelah lolos ke Indonesia Super League. Sekalipun mampu bertahan hingga Liga 1 2018, tak ada catatan manis yang ditorehkan mantan klub Boaz Solossa ini. Hampir setiap musim, Cenderawasih Jingga, julukannya, lebih banyak berkutat di zona merah.
Tidak sepenuhnya kelam, di balik status semenjana, Perseru sukses melambungkan beberapa nama punggawanya, dari Arthur Bonay, Donni Monim hingga Ronaldo Miosido. Ketiganya laris di bursa pemain.
Setali tiga uang dengan Persiram, faktor finansial akhirnya menyudahi riwayat klub yang bermarkas di Stadion Marora Serui ini. Menyusul krisis tersebut, klub akhirnya berpindah kepemilikan, dan berubah nama menjadi Perseru Badak Lampung.
Kiprah klub-klub asal Papua di level atas tak melulu dipayungi awan kelabu. Adalah Persiwa Wamena yang tampil perdana di Divisi Utama Liga Indonesia pada 2016, tepat setahun setelah Persipura Jayapura merengkuh trofi liga perdananya.
Di musim pertamanya itu, Persiwa nyaris melaju ke fase delapan besar. Pieter Rumaropen dan kawan-kawan bahkan mengekori saudaranya, Persipura, di tabel klasemen wilayah timur. Persiwa ke-5 sementara Persipura hanya di posisi ke-8.
Setahun berselang, lagi-lagi Persiwa mengejutkan, lolos ke perempat final dari wilayah timur. Perlahan tapi pasti, tim berjuluk Badai Pegunungan Tengah ini bertransformasi menjadi kekuatan baru yang layak diperhitungkan.
Puncak keemasan Persiwa, boleh disebut begitu, tiba juga pada ISL musim 2008/2009. Diperkuat sejumlah pemain kawakan seperti Boakay Eddie Foday, Redouane Barkoui, Erik Weeks berkolaborasi dengan talenta lokal, Pieter Rumaropen, Imanuel Padwa, Vendry Mofu, Kristian Uron, Persiwa tampil sebagai penantang serius Persipura dalam perebutan titel juara.
Kejar-kejaran poin antara Persiwa dan Persipura terjadi di awal hingga pertengahan musim. Pekan ke-7, Persiwa sempat menguasai tahta klasemen setelah menang 4-2 atas Persita Tangerang, sementara Persipura ditahan imbang 1-1 oleh Persijap Jepara.
Selain skuat mumpuni, disinyalir, performa Persiwa kala itu terbantu faktor cuaca yang ekstrim di kandangnya. Ibarat Estadio Siles di Bolivia, Stadion Pendidikan Wamena jadi kuburan tim manapun yang bertamu. Termasuk Persipura yang dibekap dengan skor 1-0 pada pekan ke-18.
Kemenangan atas Persipura ini sangat krusial di tengah upaya tim asuhan coach Suharno (Alm) itu mengambil alih pimpinan klasemen. Sayangnya, melakoni tur Jawa, pada pekan ke-19 hingga 23, Persiwa terjungkal, kalah berturut-turut. Berbanding terbalik dengan Persipura yang terus meraih hasil positif.
Memasuki pekan-pekan terakhir, Persiwa semakin tertinggal. Rekor menang 100 persen di kandang tak mampu menutupi hasil minor di laga away. Persipura akhirnya menutup musim dengan raihan 80 poin, hasil dari 25 menang, lima (5) seri dan empat (4) kali kalah. Sementara Persiwa harus puas sebagai runner up (66 poin), buah 21 kali kemenangan, tiga (3) draw dan 10 kekalahan.
Dari sisi produktifitas gol, Persiwa juga kalah telak. Foday dan kawan-kawan hanya melesakkan 57 dan kebobolan 32 gol. Persipura begitu superior dengan memborbardir gawang lawan sebanyak 81 kali dan hanya kecolongan 25 gol.
Gelar juara Mutiara Hitam dilengkapi Boaz Solossa sebagai pencetak gol terbanyak (28 gol), bersanding dengan Cristian Gonzales (Persik/Persib). Dari kubu Persiwa, Pieter Rumaropen mencatatkan diri sebagai top skor klub dengan torehan 13 gol, tiga gol lebih banyak dari koleganya, Eddie Foday.
Akhir musim yang manis, duo Papua, Persipura dan Persiwa didaulat mewakili Indonesia di pentas Asia.
Hengkangnya sang pelatih, Suharno, berikut sejumlah pilar membuat Persiwa bak patah taji. Musim 2009/2010, mereka hanya finis di posisi ke-6, sementara Persipura harus melepas gelar petahana ke tangan Arema Malang dan harus puas menempati peringkat ke-2.
Jika Persipura Jayapura mengembalikan mahkota juara ke Tanah Papua pada gelaran ISL musim 2010/2011, Persiwa justru terpuruk di papan tengah, di posisi ke-8.
Berselang setahun, 2011/2012, Persiwa kembali ke papan atas, merebut posisi ke-3, tepat satu tingkat di bawah Persipura Jayapura. Walaupun gelar kampiun harus terbang ke Tanah Andalas lewat wakilnya, Sriwijaya FC, musim itu menandai sejarah emas bagi klub-klub Papua. Animo publik sepak bola di Bumi Cenderawasih membuncah, empat wakilnya bersamaan berkompetisi di ISL, Persipura, Persidafon, Persiwa dan Persiram.
Tahun 2013, Persiwa harus menerima nasib tereleminasi dari kasta teratas Liga Indonesia. Sempat promosi lagi tahun 2014, Persiwa justru terganjal sejumlah syarat. Alhasil, Persiwa harus rela memupus mimpinya tampil lagi di kompetisi tertinggi tersebut.
Tiga tahun lalu, santer kabar Persiwa bakal dilego, tapi kemudian dibantah oleh manajemen klub.
Sekalipun telah kehilangan Perseman, Persis, Persidafon, Persiram dan Persiwa, harapan akan kebangkitan klub dari Bumi Cenderawasih belum sepenuhnya pupus. Sekarang ini, ada dua tim lainnya, PSBS Biak dan Persewar Waropen yang sedang berjuang di Liga 2, merajut mimpi tampil di liga utama musim depan menemani saudara tuanya, Persipura Jayapura. Semoga. (Ray)