Don’t cry for me Argentina,
The truth is I never left you,
All through my wild days,
My mad existence I kept my promise,
Don’t keep your distance.
Kalimat di atas adalah penggalan lirik dari sebuah tembang berjudul “Don’t Cry For Me Argentina” ciptaan Andrew Lloyd Webber, berkolaborasi dengan Tim Rice, pada tahun 1976. Pencipta lagu melankolis ini terinspirasi dari kisah heroik Eva Peron, istri mantan Presiden Argentina Juan Peron, dalam memperjuangkan kehidupan yang setara dan lebih baik bagi para kaum buruh, marjinal, dan perempuan di Argentina.
Eva meninggal dunia pada tahun 1952 di usianya yang ke-33 akibat penyakit kanker. Tidak hanya Webber dan Rice, seniman lainnya, Alan Parker, membuat sebuah penghormatan kepada Peron lewat film musikal berjudul “Evita”. Pemeran utama film tersebut juga tak kalah tersohor, Madonna. Sang ratu pop dunia ini memerankan sosok Eva dalam film yang dirilis pada tahun 1996 itu. Madonna beradu akting dengan aktor tampan Antonio Banderas yang berperan sebagai Che Guevara dan Jonathan Pryce sebagai Juan Peron.
“Don’t Cry For Me Argentina”, gampang ditebak, lagu ini tentang kesedihan, duka satu negara, Argentina. Kisah tentang kepergian Eva Peron, pahlawan bangsa mereka-mungkin juga dunia.
Enam puluh delapan tahun setelah perginya Eva Peron, duka yang sama kembali dirasakan oleh Argentina dan para penggila sepak bola di seluruh dunia. Diego Armando Maradona menghembuskan napas terakhirnya pada 23 November, pekan lalu.
Mustahil untuk tak menyebut nama Maradona sebagai salah satu pemain sepak bola terbaik yang pernah ada. Namanya kerap disejajarkan dengan Pele, legenda hidup asal Brasil.
Sesungguhnya, Maradona masih kalah jauh dengan “titisannya”, Lionel Messi, dalam urusan mencetak gol. Namun, bagi Argentina, Maradona tak tergantikan. Dia akan selamanya dikenang atas pencapaiannya bersama tim Tango, menjadi juara dunia. Sesuatu yang belum-dan mungkin tidak akan pernah Messi dapatkan.
Adalah Piala Dunia Meksiko yang menjadi saksi pertunjukan kehebatan Maradona. Bukan hanya mempertontonkan skill menawan, di stadion Azteca, 22 Juni 1986, Maradona juga menciptakan gol yang tidak akan pernah terlupakan, terutama bagi fans Inggris, tim yang ditaklukkannya dalam laga perempat final itu.
“Hand of God”, demikian nama tenar bagi gol yang dilesakkan dengan bantuan tangannya. Masih dalam pertandingan yang sama, ia juga melahirkan mahakarya yang fenomenal, disebut sebagai gol abad ini (goal of the century). Sebuah solo run lebih dari setengah lapangan, melewati pemain lawan, sebelum menaklukkan Peter Shilton.
Tentang “gol tangan Tuhan”, Maradona tidak segan untuk mengakui tindakan curang tersebut, namun ia berkilah, itu adalah ganjaran kepada Inggris atas kecurangannya terhadap Jerman Barat di final Piala Dunia 1966. “Jadi mengapa saya harus minta maaf?” ujarnya suatu ketika.
Tetapi, jika disuruh memilih mana yang ia paling suka dari kedua gol tersebut, Maradona tak ragu menyebut yang kedua, solo run itu. Menurutnya, itu gol terbaik dalam hidupnya, dan dibuat di Azteca, panggung yang sangat indah.
Pada tahun 1997, Maradona memutuskan untuk gantung sepatu. Selama 21 tahun karirnya, ia telah bermain sebanyak 418 pertandingan dan telah mencetak 184 gol, baik di Timnas Argentina mau pun di 7 tujuh klub yang pernah dibelanya.
Dari tujuh klub tersebut, di Napoli namanya makin bersinar. Selama tujuh musim memperkuat Partenopei Gli Azzuri, Maradona sukses mengantarkan klub itu untuk pertama kalinya sejak terbentuk tahun 1924 meraih gelar juara Liga Italia. Maradona dan kawan-kawan melakukannya dua kali.
Selain dua gelar Liga Italia (1986/87 dan 1989/90), satu trofi Coppa Italia (1986/87), Maradona juga mempersembahkan satu gelar Piala UEFA bagi Napoli di tahun 1988/1989 setelah mengalahkan VFB Stuttgart di final dengan agregat skor 5-4.
Karir Maradona tidak melulu soal skill dan prestasi. Semasa aktif bermain, sebagai pesohor, hidupnya penuh foya-foya; wanita dan alkohol. Ia pernah tertangkap menggunakan obat terlarang pada gelaran Piala Dunia 1994, di Amerika Serikat.
Kebiasaan ini ia bawa di luar lapangan setelah pensiun. Hidupnya bak roller coaster. Kadang berantakan, penampilannya awut-awutan, dan di lain waktu, setelannya rapih, kebapakan, dan bersemangat, seperti kala memimpin Lionel Messi, Cs di Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Lalu jatuh lagi.
Perlahan, penyakit pun menggerogoti tubuh tambunnya, menjadi pelanggan tetap meja operasi. Beberapa pekan sebelum serangan jantung yang merenggut nyawanya, ia baru saja menjalani operasi pembekuan darah di kepala.
Betapa pun kehidupannya acap terjerembab ke jurang nestapa, tak melunturkan figurnya sebagai pujaan. Bahkan, narasi Maradona sebagai tokoh berkembang liar, menyusul terbentuknya kelompok yang menamakan diri Jemaat Iglesia Maradoniana atau Gereja Maradona pada 30 Oktober 1998. Tidak hanya memiliki rumah ibadah, selayaknya pengikut agama, para jemaah Maradoniana juga memiliki kitab suci atau yang disebut “Ten Commandments.” Hari rayanya ada dua, yakni tanggal 22 Juni, merujuk hari di mana ia menciptakan gol hand of God. Hari lainnya, 30 Oktober yang merupakan tanggal kelahiran Los Cebollitas, julukan bagi tuan mereka.
Kematian Maradona menyisakan duka bagi “umatnya”, Argentina, juga dunia. Begitu sedihnya, sampai kita bisa menyaksikan para pendukung River Plate dan Boca Juniors, duo penguasa Buenos Aires, berpelukan sambil berderai air mata. Sejenak, rivalitas dilupakan demi menghormatinya. Nun jauh di Naples, SC Napoli, klub yang pernah dibesarkan Maradona, punya cara sendiri untuk mengenang pahlawannya itu. Pemerintah kota setempat berencana mengganti nama Stadion San Paolo menjadi Diego Armando Maradona.
Begitulah, tak akan habis cerita dan kontroversi tentang Maradona. Yang pasti, ia akan selalu dikenang; oleh suporter sebagai dewa lapangan hijau, dan berhala bagi jemaah Maradoniana. (Ray)