Masyarakat Adat Suku Awyu PTUN-kan Pemerintah Provinsi Papua

Franky Woro bersama masyarakat Suku Awyu dan para simpatisan ketika melakukan aksinya di PTUN Jayapura, Senin(13/3/2023)

JAYAPURA,FP.COM – Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu, Hendrikus Franky Woro melayangkan gugatan lingkungan hidup dan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk Perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari.

Franky Woro Merupakan pemimpin marga Woro bagian dari suku Awyu. Marga Woro mendiami Kampung Yare, Distrik Foto, Boven Digoel, Provinsi Papua. Ia bersama masyarakat mengajukan gugatan ini lantaran Pemerintah Daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT Indo Asiana Lestari yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka.

Read More
iklan

Laporan Greenpeace Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua mencatat, PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh perusahaan asal Malaysia All Asian Agro, yang juga memiliki perkebunan sawit di Sabah di bawah bendera perusahaan East West One, PT IAL memperoleh lahan tersebut dari PT Energi Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.

Upaya masyarakat suku Awyu mencari informasi sudah berlangsung sejak awal tahun lalu. Franky bersama komunitas cinta tanah adat komunitas paralegal yang beranggotakan warga suku Awyu telah meminta penjelasan dari sejumlah dinas, baik di kabupaten Boven Digoel maupun Provinsi Papua. Pada Juli 2022, Franky Woro menyampaikan permohonan informasi publik untuk mengetahui perizinan PT IAL. Namun, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Papua tak memberikan informasi yang diminta, tapi malah mensyaratkan sejumlah dokumen yang memberatkan pemohon.

Upaya Franky menggugat Dinas Penanaman Modal dan PTSP ke Komisi Informasi Publik Provinsi Papua pun tak berhasil. Maka dalam gugatan ke PTUN Jayapura ini, Franky Woro memohon majelis hakim untuk memerintahkan pencabutan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL.

“Kami datang kesini (PTUN Jayapura) untuk mendapatkan keterbukaan informasi. Tujuan kami hanya ingin bebas dari ancaman yang ingin mengambil tanah adat kami, sehingga kami bisa beraktifitas dengan aman dan nyaman karena kami menganggap hutan sebagai bank yang bisa menghasilkan sumber kehidupan. Tapi, dengan kehadiran investor akhirnya banyak menimbulkan konflik dengan masyarakat kami sendiri. Tanpa tambang kami bisa hidup tapi tanpa hutan kami bisa mati,” ungkapnya saat ditemui sejumlah wartawan di PTUN Jayapura, Senin (13/3/2023).

Dampak lingkungan yang terjadi ketika izin dipaksakan, Sumber kehidupan di kampung terancam yaitu air, hutan hilang dan tempat tinggal kami akan hilang juga.

“Ketika hutan dibabat kami mau tinggal dimana? Karena harapan kami yaitu hanya hutan saja. Kami bukan menolak segala bentuk pembangunan tapi harus ada cara-cara yang bermartabat. Tapi selama ini mereka masuk dengan cara-cara pemaksaan,” tambahnya.

Awal masuknya Perusahaan itu sosialisasi ke masyarakat tahun 2017, dan perusahaan membuka log pond di Kampung Muara Kali Wosi dan kami memalang dan perusahaan tidak beroperasi

“Namun isu yang sudah berkembang di tengah masyarakat yaitu sejumlah izin sudah keluar sehingga kami mencaritahu di Dinas PTSP Kabupaten Boven Digoel, Dinas Lingkungan Hidup Boven Digoel, dan Bappeda Boven Digoel dan kami tidak menemukan informasi terkait izin tersebut. Namun kami mendapatkan informasi dari Dinas PTSP Boven Digoel menyampaikan Izin yang dikeluarkan oleh Dinas PTSP Provinsi Papua dan menemukan izin AMDAL yang sudah terbit dan dalam proses tersebut kami tidak dilibatkan,” jelasnya.

Tim Kuasa Hukum dari LBH Papua, Emmanuel Gobay, menyampaikan pada prinsipnya yang terlanggar saat ini yaitu pengakuan atas eksistensi masyarakat adat Awyu dan juga hak-hak khususnya hak untuk berpendapat

“Karena untuk terbitnya kelayakan lingkungan ini semestinya harus ada sosialiasi yang melibatkan masyarakat Awyu, dan mereka disana bebas berpendapat apakah mereka menolak atau menerima. Tapi yang terjadi beberapa kali sosialiasi itu dilakukan dengan cara intimidatif bahkan dibatasi. Kemudian lahirlah SK tentang kelayakan lingkungan ini. Jika ditanya apa yang dilanggar yaitu hak berpendapat dan hak untuk diakui sebagai masyarakat adat,” jelasnya.

Ia menambahkan setelah Hak Guna Usaha berakhir status tanahnya bukan tanah adat tetapi tanah negara terus mereka mau tinggal dimana, pindah ke kampung lain? Tentu akan terjadi perang suku dan mungkin itu yang diinginkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

“Dalam Undang-undang  nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan otonomi khusus dia mengakui tentang hak-hak masyarakat adat dan berkaitan aktifitas penanaman modal dan seharusnya pemerintah harus melibatkan masyarakat adat dan perusahaan tapi yang terjadi dalam kasus ini tidak ada perundingan yang dibuat oleh pemerintah sesuai rekomendasi Otsus. 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan hari ini menjadi sejarah sebab masyarakat adat melawan para investor yang semena-mena. Dan masyarakat Awyu khususnya marga Woro tidak hanya berdiri untuk sukunya tetapi untuk seluruh dunia

“Karena Hutan Papua salah satunya hutan milik marga Woro sangat penting untuk seluruh dunia, alam ini sudah berbeda dan ketika kita tidak jaga alam maka perubahan iklim dengan bencananya sedang mengancam kita. Marga Woro sedang berdiri untuk menyelematkan Hutan Papua,” pungkasnya.

Perlu diketahui Penerbitan izin kelayakan Lingkungan Hidup PT Indo Asiana Lestari diduga melanggar peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyusunan AMDAL dan bertentangan dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup.* (IkbalAsra)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *