JAYAPURA,FP.COM- Dari sisi bisnis, tim-tim sepakbola di Tanah Papua sebenarnya tidak layak untuk ikut Liga 1 dan Liga 2 Indonesia. Karena biaya pengeluaran sebagian besar klub peserta Liga 1 dan Liga 2, lebih besar dari pendapatan. Seperti peribahasa besar pasak daripada tiang, itulah kondisi nyata yang dihadapi klub-klub di Tanah Papua. Sehingga tak heran keberadaannya di Liga Profesional Indonesia hanya sebentar. Beberapa klub asal Papua tiba-tiba lenyap dari kasta tertinggi sepakbola Indonesia, karena “DIJUAL”. Kenapa dijual? karena tak ada biaya lagi untuk bertahan dan menghidupi klub. License Persiram Raja Ampat dijual jadi PS. Tira yg sekarang jadi Persikabo 1973, Perseru dijual jadi PS Badak Lampung, Persiwa dijual ke club Cirebon Bina Putra FC. Kitong sudah tidak dengar lagi julukan Badai Pegunungan, Dewa Laut dan Cenderawasih Jingga. Itu contoh kasus yang dihadapi tim-tim Papua yang pernah menikmati iklim Liga 1.
Badai Pasifik julukan PSBS Biak yang baru promosi ke Liga 1 untuk musim 2024/2025, dikuatirkan akan seperti itu. Ada begitu banyak sindiran dari netisen Indonesia. Informasi promosi PSBS Biak yang bertebaran di media sosial, meski mendapat sentimen positif yang banyak dari warga Papua, tapi sentimen pesimisnya juga tidak sedikit.
Ada beberapa faktor yang sangat menentukan, mulai dari urusan finasial untuk menggaji pemain, pelatih, biaya transportasi dari dan keluar Papua, biaya akomodasi, keberadaan stadion yang wajib mengikuti standar Liga 1 dan sebagainya. Tak hanya itu, ada juga kewajiban klub Liga 1 untuk menyiapkan tim U-14, U-16 dan U-18 menghadapi kompetisi Elite Pro Academy (EPA).
Manager PSBS Biak Yan Permenas Mandenas mengaku telah menghitung besaran biaya yang dibutuhkan untuk mengantarkan Badai Pasifik mengarungi Kompetisi Liga 1 Musim 2024/2025.
” Kalau liga 2, kami keluarkan biaya kurang lebih Rp 35 Miliar. Untuk Liga 1, kami butuh dana sekitar Rp 50 Miliar” jelas Yan Mandenas.
Sumber pendanaannya, menurutnya masih tetap dari PT.Nusa Tuna, PT.Freeport Indonesia dan Bank Papua. “Satu sponsor lagi yang sedang didekati adalah dari pihak Kopi ABC.
Lalu pertanyaanya, mengapa brand rela mengeluarkan kocek yang banyak untuk mensponsori klub bola?
Salah satu alasannya adalah untuk melakukan ekspansi skala lebih luas, brand sudah menjual produknya namun belum memiliki brand awareness yang baik. Daripada menghabiskan lebih banyak uang untuk marketing di berbagai banyak platform, menaruh logo pada klub sepakbola dipercaya akan menjangkau lebih banyak massa.
Alasan lainnya adalah, untuk membangun kekuatan merek yang kuat karena sejajar dengan perusahaan internasional. Setelah dilakukan riset, terbukti bahwa brand yang mensponsori klub sepakbola dinilai atraktif.
Memang mensponsori klub sepakbola mampu meningkatkan penjualan brand dari tahun ke tahun. Maka dari itu perusahaan besar berbondong-bondong ingin menampilkan logo brandnya pada klub besar layaknya di Eropa.
Secara umum ada 6 sumber pendapatan untuk klub profesional, selain sponsor, ada juga hak siar, tiket nonton di stadion, merchandise, hadiah uang dan transfer pemain. Dari 6 sumber pendapatan ini, saat ini di Indonesia hanya dua sumber yang menghidupkan semua klub Liga 1, yaitu sponsor dan hak siar. Namun dalam perjalanannya, kedua sumber dana ini sering dimanipulatif bahkan tidak ada keterbukaan ke publik, baik oleh Badan Penyelenggara Liga maupun oleh klub.
Save Our Soccer membeberkan dana yang masuk ke PT Liga Indonesia Baru (LIB) dari kompetisi Liga 1. Mereka mengklaim, PT LIB mendapatkan dana sekitar Rp370 miliar yang didapat dari sponsor dan hak siar.
Rinciannya, Rp220 miliar dari hak siar yang dipegang Grup Emtek dan Rp150 miliar dari sponsor BUMN, BRI.
Bila setiap klub hanya mendapatkan Rp5,5 miliar sebagai subsidi, artinya dana yang keluar dari kas PT LIB hanya Rp99 miliar. Artinya, masih ada Rp270 miliar. Dengan kondisi ini tentu yang kenyang adalah para pengurus di badan liga. Hal seperti ini yang harus diperjuangkan semua klub Liga 1, agar semua klub bisa hidup lama di kompetisi, termasuk PSBS Biak.
Sumber pendanaan dari transfer pemain juga sebaiknya diperjuangkan, terutama dari regulasinya. Misalnya memungkinkan ada klub di eropa yang membeli pemain muda dari Akademi Sepakbola PSBS Biak dengan nilai fantastis, sehingga kondisi ini bisa memacu setiap klub serius menggenjot akademinya.
Iklim industri sepakbola yang sehat harus diperjuangkan semua klub, dari sisi akuntabel dan transparan, sehingga sepakbola kita bisa makin maju dan benar-benar menjadi industri, bukan industri abal-abal. (abe yomo)