JAYAPURA, FP.COM – Liga Champions Eropa telah memasuki fase delapan besar. Spanyol, Jerman, dan juara dunia 2018 Prancis, masing-masing meloloskan dua perwakilannya. Sementara, negara asal sepak bola, Inggris, menyisakan Manchester City.
Kontestan terakhir datang dari tanah Italia. Bukan Juventus, Inter Milan, atau AC Milan, muka juara Piala Dunia 2006 itu terselamatkan oleh klub semenjana, Atalanta BC.
Boleh saja Atalanta disemati label tim kejutan di Liga Champions, namun, anggapan itu bisa mentah jika menilik performa klub asal kota Bergamo itu dua musim terakhir di liga domestik.
Musim ini, klub yang identik dengan kostum biru hitam ini mengakhiri Serie A dengan manis, merebut peringkat 3. Musim sebelumnya, Atalanta juga merusak dominasi klub -klub raksasa Italia setelah memastikan diri di posisi ke 4 klasemen akhir. Posisi yang mengantarkannya berlaga di Liga Champions musim ini.
Sepak terjang mengkilap dari klub berjuluk la dea (sang dewi) ini berawal dari kedatangan Gian Piero Gasperini, tahun 2016 dari Genoa. Penunjukan Gasperini bukan tanpa alasan. Gasperini yang asal Italia ini sebelumnya membawa Genoa finish di posisi 6 Serie A, musim 2014/2015.
Kiprah Gasperini di Serie A tidak terlalu mulus, sebelum di Genoa, ia ikut bertanggungjawab kala Palermo terjerembab ke jurang degradasi musim 2012/2013. Pun, ia hampir didepak dari kursi kepelatihan Atalanta setelah mengalami empat kekalahan dari lima laga awal Serie A musim 2016/2017. Untung saja, di laga-laga berikut, timnya bangkit, konsisten tampil impresif, meraup poin demi poin.
Kunci sukses Gasperini bersama Atalanta tak lepas dari pembelian penting dari klub itu. Duvan Zapata didatangkan dari Napoli, Josip Ilicic (Fiorentina), dan Pasalic dari Chelsea. Di sana, juga mencuat sederet calon bintang semisal David Muriel, Mattia Caldara, dan Ruslan Malinovskyi.
Musim ini, barisan depan klub yang juga punya julukan I Nerazurri ini benar-benar menciutkan nyali lawan-lawannya. Tiga juru gedornya sangat produktif menjebol gawang lawan. Di Serie A, Zapata dan Muriel mencetak masing-masing 18 gol, Ilicic menguntit dengan torehan 15 gol. Namun begitu, di semua ajang, Ilicic, striker Slovenia kelahiran Bosnia, terdepan dengan catatan 21 gol.
Atalanta juga mencatatkan diri sebagai klub yang paling produktif dalam 60 tahun terakhir di Seria A. Musim ini, 98 kali mereka membobol gawang lawan. Sayangnya, koordinasi lini belakang menciderai rekor itu, Atalanta kemasukan 48 gol.
Menyusul penampilan apiknya, harga para punggawanya pun melesat di bursa transfer. Sebut saja, Zapata yang dibandrol 36 juta Euro, Ilicic senilai 17,5 Euro, dan Muriel seharga 16 juta Euro.
Ironisnya, Zapata dan Muriel justru kehilangan taji di Liga Champions. Hingga sekarang, keduanya baru mencetak satu gol. Berbanding terbalik dengan Ilicic yang sudah mengemas 5 gol. Tapi, statistik itu tak lantas membuat Atalanta terpuruk di kompetisi antarklub tertinggi di benua Eropa itu.
Bahkan, kendati tidak bisa bermain di markasnya sendiri, Stadion Atleti Azzuri d’Italia dan terpaksa harus menumpang di Giuseppe Meazza, stadion yang oleh AC Milan disebut San Siro, Atalanta tetap tampil sebagai “pengacau”.
Memulai kompetisi bersama Manchester City, Shakhtar Donetsk, dan Dinamo Zagreb di fase grup, Atalanta berhasil mencuri posisi runner up di bawah City. Zapata, cs mengemas 7 poin, hasil dua kemenangan, satu seri dan tiga kekalahan.
Maju ke babak 16 besar, Atalanta dipertemukan dengan tim berpengalaman, Valencia. Sekali lagi, Sang Dewi memesona dunia. Klub yang lahir tahun 1907 itu unggul aggregat 8-4 dari dua kali pertemuan.
Lalu, apa yang membuat Atalanta menjelma menjadi skuat mengerikan? Jawabannya adalah filosofi gaya bermain Gasperini.
Dalam kepala Gasperini yang punya pakem andalan 3-4-3 dan kerap ditransformasikan menjadi 3-4-2-1, hanya ada tiga cara untuk memainkan gaya sepak bola modern: bermainlah semenarik mungkin, menyeranglah seperti tidak ada hari esok, dan mencetak gol sebanyak-banyaknya, lalu minta maaflah dengan cara bertahan.
Di delapan besar Liga Champion nanti, ujian lebih tinggi menghadang. Atalanta harus bekerja keras menghentikan laju klub kaya nan bertabur bintang, Paris Saint-Germany (PSG).
Estadio da Luz, Portugal, akan menjadi saksi duel panas kedua tim pada pada Kamis dini hari (13/8/2020). Mungkinlah anak asuh Gaperini melewati Neymar dan kawan-kawan, sekaligus menegaskan, mereka bukan hanya dewi, tetapi juga dewa baru Eropa? Ataukah PSG yang akan mengukir prestasi tampil kedua kalinya di semi final Liga Champions setelah musim 1994/1995? Menarik untuk ditunggu. (Ray)