Strategi BI Papua Mengubah Komoditas Impor Pemicu Inflasi Menjadi Kekuatan Lokal

Dari Genggaman Petani Keerom: Proses penyemaian bibit cabai, tahap awal transformasi. Inilah aksi nyata BI Papua dan TPID dalam menumbuhkan kekuatan lokal (Klaster Pangan) sebagai substitusi impor dan penyeimbang harga pangan Jayapura/foto : Merri W

Papua, dengan kekayaan sumber daya alamnya, seringkali menghadapi ironi ekonomi: tingginya harga kebutuhan pokok yang sebagian besar dipasok dari luar daerah (impor antar-pulau). Ketergantungan ini, khususnya pada komoditas pangan, menjadikan inflasi di Jayapura, sebagai Kota Indeks Harga Konsumen (IHK) utama, sangat rentan terhadap gangguan logistik, cuaca di daerah sentra produksi lain, dan kenaikan biaya transportasi.

Komoditas seperti cabai rawit, bawang merah, dan beras secara konsisten menjadi “biang kerok” utama (volatile foods), memicu kenaikan inflasi di luar batas toleransi.

Read More

Menanggapi tantangan struktural ini, Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua, tidak hanya berfokus pada kebijakan moneter, tetapi juga memprakarsai strategi transformatif di sektor riil. Tujuannya jelas: mengubah komoditas impor pemicu inflasi menjadi kekuatan produksi lokal yang berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

Strategi ini diimplementasikan melalui sinergi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan pilar kebijakan 4K (Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi Efektif).

Strategi utama BI Papua adalah memutus ketergantungan pasokan dengan menciptakan sentra produksi mandiri di wilayah penyangga. Inisiatif ini diwadahi dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).

Cabai rawit adalah salah satu penyumbang inflasi terbesar di Jayapura. Tingginya harga cabai sering kali mencapai lebih dari Rp100.000/kg akibat biaya angkut dari Sulawesi atau Jawa yang mahal.

Kepala perwakilan BI Papua (baju putih) saat memanen cabai di Arso 9, Kabupaten Keerom

  1. Pengembangan Sentra: BI Papua berkolaborasi intensif dengan Pemerintah Kabupaten Keerom (terutama di wilayah Arso) dan kelompok tani. Keerom dipilih karena memiliki potensi lahan pertanian yang luas dan relatif dekat dengan Jayapura.
  2. Dukungan Kapasitas: BI memfasilitasi peningkatan kapasitas budidaya melalui:
    • Bantuan Sarana Produksi: Pemberian bibit unggul, pupuk, dan infrastruktur penunjang seperti pompa air untuk mengatasi risiko kekeringan.
    • Penerapan GAP (Good Agricultural Practices): Pendampingan teknis dilakukan secara berkala untuk memastikan kualitas dan kuantitas panen optimal.
  3. Hasil Transformasi: Melalui program ini, petani di Arso tidak hanya menanam untuk konsumsi, tetapi telah menjadi sentra produksi yang mampu menyalurkan pasokan ke pasar Jayapura. Ketersediaan cabai lokal ini berfungsi sebagai penyeimbang harga dan secara bertahap mengurangi ketergantungan pada pasokan dari luar daerah.

Selain cabai, BI dan TPID juga mendorong eksplorasi pangan lokal potensial seperti umbi-umbian, jagung, dan sagu. Konsumsi dan produksi pangan lokal yang ditingkatkan akan mengurangi tekanan pada komoditas impor utama seperti beras, sekaligus memperkuat ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. Upaya ini sejalan dengan gerakan untuk menggaungkan ‘Torang Locavore’, mendorong masyarakat mengonsumsi pangan yang diproduksi secara lokal.

Pengembangan produksi di hulu harus diimbangi dengan efisiensi di hilir. BI Papua berperan sebagai katalisator dalam memperkuat koordinasi TPID di berbagai daerah di Tanah Papua.

Tantangan terbesar Papua adalah Kelancaran Distribusi akibat biaya logistik yang tinggi. TPID yang didukung BI melakukan:

  • Fasilitasi Kerja Sama Antar Daerah (KAD): Mendorong kesepakatan dagang Business-to-Business (B-to-B) untuk menjamin pasokan stabil. KAD ini mencakup kesepakatan pengiriman komoditas dari daerah surplus (misalnya Merauke) ke daerah defisit (Jayapura).
  • Intervensi Subsidi Harga/Biaya Transportasi: Untuk memastikan hasil panen dari Keerom dapat dijual dengan harga terjangkau di Jayapura, Pemerintah Daerah, atas dukungan BI dan TPID, seringkali melakukan subsidi selisih harga. Jika harga beli petani cabai di Keerom Rp25.000/kg dan harga jual ideal di pasar Rp50.000/kg, Pemda dapat membeli di harga Rp35.000 – Rp45.000/kg, lalu mendistribusikannya. Langkah ini memutus rantai spekulasi distributor dan menjaga Keterjangkauan Harga bagi konsumen.

Kolaborasi TPID Papua terwujud melalui kegiatan rutin:

  • Rapat Koordinasi dan HLM: Forum ini digunakan untuk evaluasi mingguan Indeks Perkembangan Harga (IPH) dan menyusun rekomendasi tindakan cepat (quick wins), termasuk memastikan percepatan penyerapan anggaran APBD untuk program ketahanan pangan.
  • Gerakan Pangan Murah (GPM) dan Operasi Pasar (OP): Terutama menjelang HKBN, TPID secara masif menggelar GPM di Kota Jayapura dan sekitarnya. Ini merupakan strategi Komunikasi Efektif kepada masyarakat bahwa Pemerintah hadir dan pasokan tersedia, sekaligus meredam ekspektasi kenaikan harga.

Melalui strategi GNPIP dan penguatan TPID, Bank Indonesia Provinsi Papua telah menunjukkan bahwa pengendalian inflasi di daerah dengan tantangan struktural yang tinggi harus dimulai dari hulu, yakni dengan menumbuhkan kekuatan produksi lokal.

Transformasi dari mengimpor cabai menjadi memanennya di Arso, Keerom, adalah simbol konkret dari upaya BI Papua mengubah kerentanan menjadi kemandirian.

Ketika ketergantungan pada pasokan luar berkurang, daya tawar petani lokal meningkat, rantai distribusi memendek, dan yang terpenting, stabilitas harga terjaga. Inilah fondasi kokoh untuk memastikan pertumbuhan ekonomi Papua yang sehat dan berkelanjutan, di mana daya beli masyarakat tidak lagi tergerus oleh gejolak harga pangan. (Merritt Waromi)

Related posts