Beberapa bulan belakangan, Melanesian Spearhead Group (MSG) menjadi perbincangan ramai para pemerhati keamanan terkait pengajuan status United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dari “observer” menjadi “full membership” di pertemuan MSG 2023 di Port Villa, Vanuatu.
Ini merupakan pengajuan aplikasi yang kedua oleh ULMWP kepada MSG sejak pengajuan pertama di tahun 2016 yang berujung ditolak dalam KTT tersebut.
Menjelang pelaksanaan MSG Summit 2023 di bulan Agustus, setidaknya terdapat deretan isu politik dan keamanan yang terjadi di Papua sejak awal tahun 2023 hingga puncaknya pada Agustus 2023 yang mana kejadian-kejadian ini cenderung mengarah pada kepentingan kelompok pejuang kemerdekaan “West Papua” di KTT MSG.
Di awal tahun 2023, pilot asal New Zealand Philip Mehrtens disandera Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) di Kabupaten Nduga dan bahkan sampai saat ini belum dibebaskan. Pada bulan Juli 2023, terdapat serangkaian demonstrasi damai yang terjadi di beberapa Kota seperti di Jayapura dan Wamena yang menyuarakan agar ULMWP dinaikkan statusnya dari “Observer” menjadi “Full Membership”. Aspirasi masyarakat perwakilan Laapago pada demonstrasi di Wamena ini diterima oleh Ketua DPRD Jayawijaya dengan respon positif bahwa aksi dilakukan secara aman dan tertib (Lokobal, 2023).
Keputusan para pemimpin MSG dalam KTT MSG 2023 dengan jelas menyatakan bahwa pengajuan aplikasi status ULMWP menjadi anggota tetap dinilai tidak memenuhi syarat karena tidak sesuai dengan kriteria keanggotaan MSG serta keputusan tidak mencapai konsensus KTT MSG 2023. Tentunya ini merupakan suatu keberhasilan bagi diplomasi Indonesia di Kawasan Pasifik yang dapat dinilai bahwa salah satu agenda diplomasi tersebut adalah untuk mencegah bahkan mengurangi tendensi dukungan MSG terhadap ULMWP.
Keberhasilan Indonesia dan sekaligus kegagalan ULMWP ini jelas menunjukkan kepada dunia luar terkait posisi tegas Indonesia sebagai negara yang berdaulat untuk mempertahankan kedaulatannya. Pada sisi yang lain, terdapat konsekuensi instabilitas keamanan di Papua yang kemungkinan akan terjadi hingga isu ini dibahas pada Pacific Island Forum.
MSG dan Indonesia
MSG didirikan melalui pertemuan informal di Goroko, Papua New Guinea (PNG) pada 17 Juli 1986. Pendiri MSG antara lain adalah PNG, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan perwakilan dari Front de Liberational the Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) of New Caledonia menyusul pada tahun 1989 besert Fiji pada tahun 1996. Pada pertemuan awal MSG, para pemimpin menyuarakan visi untuk memperkuat upaya membangun bidang budaya, politik, sosial, dan ekonomi, serta interaksi antara masyarakat melanesia serta mendukung kemerdekaan negara-negara melanesia dan wilayah yang masih dibawah pemerintahan kolonial di Pasifik Selatan.
Selain itu, para pendiri MSG juga menyadari bahwa penting untuk mempunyai posisi bersama dan solidaritas dalam mengangkat kepentingan regional melalui kepentingan nasional masing-masing negara. Indonesia sendiri mulai bergabung pada MSG sejak tahun 2011, bersamaan dengan Timor Leste sebagai observer. Pada tahun 2015, Indonesia diberikan status sebagai “assosiate member” yang mewakili 5 provinsi Melanesia di Indonesia, sementara ULMWP diakui sebagai “observer” (Melanesian Spearhead Group, 2023).
Keterlibatan aktif Indonesia di kawasan Pasifik bukanlah tanpa alasan, namun didorong oleh visi “Pacific Elevation“, yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan Indonesia dengan pasifik, dan juga bekerja bersama negara-negara pasifik untuk mengangkat penghidupan masyarakat di kawasan. Visi ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia (Retno Marsudi) pada tahun 2019. Selain melalui skema MSG, Indonesia juga aktif melakukan berbagai pertemuan yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Pasifik terutama dalam bidang Pembangunan dan ekonomi(Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia, 2018).
Indonesia juga mempunyai hubungan bilateral yang semakin intens dengan negara-negara anggota MSG. Bersama PNG, Indonesia telah menjalin hubungan bilateral sejak tahun 1975 dengan fokus pada pengelolaan perbatasan, perdagangan dan investasi, pendidikan, telekomunikasi, dan saat ini perhubungan (The Embassy of Papua New Guinea to The Republic of Indonesia, 2019).
Hubungan bilateral Indonesia-PNG bahkan semakin meningkat dibawah pemerintahan Jokowi-PM Marape yang beberapa kali melakukan kunjungan satu sama lain. Kedua negara lainnya yaitu Fiji dan Solomon Island, juga merupakan negara yang mulai menjalin kerja sama kongkrit dengan Indonesia dalam bidang perdagangan, pembangunan, pariwisata, perubahan iklim, dan perikanan. Kunjungan Menlu RI ke Fiji dan Solomon Island pada September 2022 memperkuat dan meningkatkan lagi hubungan bilateral kedua negara.
Sementara itu, hubungan bilateral dengan Vanuatu baru saja menunjukkan babak baru menuju arah yang positif, dimana setelah satu dekade, Vanuatu akhirnya mengujungi Indonesia pada awal tahun 2023, dan menyampaikan keinginannya untuk menjalin kerja sama pembangunan, ekonomi, dan sister city antara Provinsi Papua dan Vanuatu (KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA, 2023).
Respon MSG terhadap isu HAM di Papua dan ULMWP
Berdasarkan informasi yang dikutip dari website resmi Pemerintah Kepulauan Solomon, disebutkan bahwa para pemimpin MSG mengambil sikap terhadap isu hak asasi manusia (HAM) di Papua dan mendorong Pacific Island Forum untuk menindaklanjuti isu ini melalui misi ke Papua dan meninjau akar masalahnya. Selain itu, para pemimpin MSG juga segera akan menuliskan surat kepada Indonesia untuk mengijinkan kunjungan UN Human Rights Commisioner ke Papua guna penyampaian laporan tersebut pada MSG Summit 2024.
Hasil komunike MSG 2023 juga turut meninjau aplikasi ULMWP dan berbagai isu yang diangkat dalam agenda KTT MSG 2023 (Solomon Islands Government, 2023). MSG mendorong dan memberikan mandat kepada Sekretariat untuk mengkaji kolaborasi dengan Pemerintah indonesia melalui peningkatan Pengaturan Otonomi Khusus dengan fokus spesifik pada bidang sosial, pembangunan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat Papua.
Lebih lanjut, Sekretariat ditugaskan untuk membangun konsep “Constructive Engagement Platform” guna mendukung pembangunan masyarakat Papua (“Tweet from Stephendziedzic,” n.d.) Secara umum, constructive engagement berarti proses untuk membangun hubungan yang matang antara dua pihak yang bertikai. Proses ini memerlukan masing-masing pihak untuk juga turut membangun kepercayaan, mendasari argumen dengan fakta yang teruji, dan berfokus pada hasil dan solusi, ketimbang pada rasa saling curiga satu sama lain (Cortez, 2015).
Melalui komunike MSG ini, dapat dinilai bahwa respon MSG terhadap isu HAM di Papua menekankan pada hubungan yang lebih erat lagi antara MSG, PIF, dan Indonesia guna mencari akar masalah dan menyelesaikannya bersama. Namun, isu HAM di Papua saat ini menjadi semakin kompleks dengan adanya perbedaan pola perjuangan dan pendapat antara ULMWP dan TPNPB OPM.
ULMWP didirikan pada tahun 2014 sebagai upaya menyatukan tiga (3) organisasi yaitu the National Republic of West Papua (NRFPB), the West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) dan the National Parliament of West Papua (NPWP). ULMWP sempat menyatakan klaim bahwa TPNPB adalah bagian dari ULMWP, namun kemudian ditepis oleh TPNPB bahwa mereka bukanlah bagian dari ULMWP (Davidson, 2019).
Sementara ULMWP berjuang di luar negeri melalui ketuanya Benny Wenda (Warga Negara Inggris), TPNPB OPM bergerak di Papua, terutama di wilayah pegunungan Papua. Pergerakan ULMWP cenderung mengutamakan “peaceful way” melalui berbagai negosiasi ditingkat lokal hingga internasional. Sebaliknya, TPNPB OPM cenderung menggunakan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Sejak beberapa tahun belakangan, pergerakan kelompok TPNPB di wilayah pegunungan Papua cukup vokal. Dampak dari pergerakan ini bukan hanya terjadi diantara TPNPB dan Militer, tetapi sempat melibatkan warga sipil baik Non orang asli papua (OAP) dan OAP.
Harapan pada Pacific Island Forum
Pacific Island Forum (PIF) menjadi tumpuan terakhir ULMWP dan Isu HAM Papua dalam skala regional. Hasil komunike MSG 2023 dengan jelas memaparkan bahwa MSG mendorong PIF untuk melakukan misi ke Papua guna mengkaji akar masalah isu HAM yang diangkat oleh ULMWP. Pada website resmi PIF, “West Papua” memang menjadi salah satu dari Sembilan isu prioritas regional. Bahkan, isu “West Papua” sudah sejak lama diangkat oleh beberapa pepimpin PIF pada tahun 2001, 2002, 2003, 2006, dan 2015 (Pacific Island Forum, 2023).
Pada tahun 2017, perwakilan PIF juga sempat berkunjung ke Papua atas undangan Indonesia untuk meninjau aktivitas pemilu di Jayapura dan Manokwari. Adapun perwakilan PIF tersebut ialah Bapak Sambue Antas (Penjabat Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Eksternal Vanuatu), dan Ibu Fetogi Vaai (Komisi Pemilihan Umum Samoa).
Meskipun PIF menampung isu “West Papua” sebagai bagian dari kajian Kawasan, forum ini selalu berhati-hati dan menghindari penyebutan secara spesifik mengenai upaya masyarakat adat menentukan nasib sendiri dan secara konsisten mengakui kedaulatan Indonesia. Pada komunike PIF terbaru tahun 2022 pun tidak sama sekali menyinggung mengenai “West Papua”. Sikap ini berbeda dengan hasil komunike PIF 2016 yang menyebutkan “West Papua” sebagai salah satu hal yang perlu ditindaklanjuti.
Mencermati dinamika politik ini, dapat diprediksikan bahwa tindak lanjut Isu HAM di Papua yang diangkat oleh ULMWP ini ada kemungkinan tetap stagnan pada draft kebijakan semata. Namun, terdapat peluang penyelesaian masalah melalui mekanisme “Constructive Engagement Platform” yang direncanakan oleh MSG. Peningkatan hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu dan skema kerja sama sister city antara Provinsi Papua-Vanuatu juga dapat mendukung mekanisme “Constructive engagement” ini sebagai jembatan yang dapat meluruskan isu HAM Papua dalam forum MSG dan PIF. Meskipun demikian, untuk mencapai tahapan ini memerlukan juga upaya internal Indonesia dalam menyelesaikan rentetan pelanggaran HAM berat Indonesia di Papua baik yang terjadi di masa lalu maupun saat ini.
Floranesia Lantang- Penulis adalah mahasiswi S3 Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran dan Dosen Hubungan Internasional di Universitas Pelita Harapan.
Referensi
Cortez, V. S. et all. (2015). From Plan to Action: Constructive Engagement . World Bank Group.
Davidson, H. (2019). West Papuan independence group says it is “ready to take over country.” The Guardian.
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA. (2023). Tingkatkan Kerja Sama Bilateral, Indonesia-Vanuatu Sepakat Hormati Kedaulatan Kedua Negara.
Lokobal, O. (2023). Rakyat Papua di Wilayah Laapago Gelar Aksi Demo Damai Dukung ULMWP Menjadi Anggota Penuh MSG. Suara Papua .
Melanesian Spearhead Group. (2023). About Melanesian Spearhead Group .
Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia. (2018). Indonesia Redoubles its Commitment to Enhance Partnership with the Pacific.
Pacific Island Forum. (2023). West Papua (Papua) . Pacific Island Forum .
Solomon Islands Government. (2023). 22nd MSG Leaders Summit Adopts Communique .
The Embassy of Papua New Guinea to The Republic of Indonesia. (2019). PAPUA NEW GUINEA – INDONESIA BILATERAL RELATIONS.
Tweet from stephendziedzic. (n.d.). In MSG Communique 2023.