Era Digital dan Pertempuran Melawan Mitos Kekerasan Seksual

Ilustrasi Digitalisasi/Fokuspapua.com

Di era digital, di mana informasi menyebar dengan cepat dan narasi terus berkembang, pendidikan digital menawarkan alat yang ampuh untuk membongkar mitos berbahaya tentang kekerasan seksual dan menciptakan masyarakat yang lebih informatif dan empati.

Dengan memanfaatkan jangkauan dan interaktivitas media sosial, kita dapat menantang stereotip berbahaya, memberdayakan korban, dan memupuk budaya persetujuan.

Read More
iklan

Media sosial telah menjadi medan perang informasi yang efektif. Kampanye publik, utas edukatif, video pendek, hingga infografis kreatif mulai bermunculan, memberikan informasi yang mudah dicerna namun berdampak besar.

Namun, di balik potensi positif ini, ada juga tantangan seperti ruang gema dan filter gelembung yang dapat memperkuat keyakinan yang ada dan menyulitkan untuk menjangkau mereka yang memiliki pandangan berbeda.

Generasi muda, sebagai pengguna aktif media sosial, menjadi sasaran utama dari inisiatif-inisiatif edukasi ini. Mereka diajak untuk memahami bahwa kekerasan seksual bukan hanya soal pemerkosaan fisik; kekerasan bisa berbentuk pelecehan verbal, manipulasi emosional, atau pemaksaan seksual dalam hubungan yang tampak ‘normal’.

Selain itu, edukasi digital memberikan pemahaman bahwa korban kekerasan seksual tidak terbatas pada perempuan, tetapi bisa juga laki-laki, anak-anak, atau bahkan orang dengan disabilitas.

Namun, disinformasi masih menjadi ancaman serius. Misinformasi yang tersebar secara cepat dan luas dapat memperparah situasi. Misalnya, ada narasi keliru yang menyatakan bahwa pelaporan kekerasan seksual sering disalahgunakan oleh korban untuk memeras atau menghancurkan reputasi seseorang.

Untuk melawan disinformasi ini, kita memerlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak. Platform media sosial harus lebih bertanggung jawab dalam mengelola konten, sementara pemerintah harus mendorong kebijakan yang mendukung pendidikan tentang kekerasan seksual di sekolah-sekolah.

Pendidikan kritis juga menjadi kunci. Generasi muda perlu dibekali kemampuan untuk membedakan informasi yang akurat dan kredibel dari mitos dan berita palsu yang menyesatkan. Kolaborasi antara pemerintah, aktivis, organisasi non-pemerintah, dan platform digital menjadi sangat penting.

Kampanye edukasi yang terorganisir dan bersifat lintas sektoral mampu mencapai lebih banyak orang dan menciptakan dampak yang lebih besar.

Selain itu, kita perlu mengakui bahwa teknologi juga dapat digunakan untuk perpetrating kekerasan seksual, seperti revenge porn atau grooming online. Oleh karena itu, pendekatan kita haruslah interseksi, mempertimbangkan bagaimana gender, ras, kelas, dan disabilitas berpotongan dengan pengalaman kekerasan seksual.

Dengan memanfaatkan kekuatan platform digital, kita dapat menciptakan dunia di mana korban merasa berdaya untuk berbicara, pelaku dimintai pertanggungjawaban, dan semua orang memiliki pengetahuan dan alat untuk mencegah kekerasan seksual.

Perjalanan ini mungkin menantang, tetapi dengan tindakan kolektif dan upaya berkelanjutan, kita dapat membangun masa depan di mana mitos berbahaya digantikan oleh empati, pengertian, dan rasa hormat. Penulis : Rani Yanti Ngabalin- Founder PULUH-PAPUA

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *