KASONAWEJA, FP.COM– Bahan bakar minyak (BBM) satu harga yang dulu digaungkan pemerintah pusat tampaknya masih sebatas isapan jempol. Setidaknya itu fakta yang ditemui Fokus Papua di Kabupaten Mamberamo Raya. Harga bahan bakar minyak, khususnya bensin murni, di pengecer Kasonaweja dijual dengan harga 25 ribu/liter. Sementara, di Burmeso, dibanderol 20 ribu seliternya. Bensin campur lebih mahal lagi. Di Kasonaweja seharga 28 ribu per liter, di Burmeso 23 ribu per liter. Padahal kedua kota terbilang bertetangga, hanya dipisahkan oleh Sungai Mamberamo.
Praktis, harga tinggi bahan bakar minyak ini berdampak pada tarif transportasi. Bayangkan, untuk sekadar menyeberang dari pelabuhan Kasonaweja ke Burmeso yang jaraknya sekitar 200 hingga 250 meter, atau tepatnya selebar sungai Mamberamo, seorang penumpang speed boat harus membayar 50 ribu rupiah. Jika titik startnya dari pelabuhan kapal Kasonaweja ke Burmeso, seseorang mesti merogoh kocek lebih dalam lagi, 70 ribu rupiah.
Itu baru tarif sungai, lalu bagaimana dengan tarif ojek darat atau kendaraan roda dua? “Saya bayar ojek 30 ribu (rupiah-red) untuk sampai di pelabuhan Kasonaweja, menyeberang ke Burmeso 50 ribu, pakai ojek lagi ke perkantoran 50 ribu, belum beli pinang atau air minum, 200 ribu sudah habis,” tutur Donatus, warga dari Kampung Kapeso yang sedang punya urusan di salah satu instansi pemerintah di Burmeso.
Hal serupa diungkapkan Evert, seorang tenaga honorer Pemda Mamberamo Raya yang bermukim di Kasonaweja. “Tarif ojek ke pelabuhan Kasonaweja 30 ribu, menyeberang ke Burmeso itu 50 ribu, pakai ojek lagi ke kantor 30 ribu. Jadi satu hari bisa habis 200 ribu atau lebih,” ujarnya.
Demi menghemat biaya, Evert berupaya mendekati pegawai lain yang punya speed dinas, agar dapat tumpangan gratis.
Mengacu pada pengakuan Evert, bila dikalkulasi untuk 20 hari kerja, normalnya, seorang pegawai negeri sipil dan tenaga honorer yang menetap di Kasonaweja membutuhkan kurang lebih Rp 4 juta per bulan untuk sekadar biaya transportasi ke Burmeso yang merupakan pusat perkantoran pemerintah daerah Mamberamo Raya. Lalu, apakah gaji para honorer ini bisa menutupi biaya sebesar itu?
“Honor di SK (surat keputusan-red) itu tidak lebih dari 4 juta, itu pun ada kena pemotongan-pemotongan lain yang tidak jelas,” ungkap Evert.
Tarif transportasi gila-gilaan di Mamberamo Raya di hari-hari biasa rupanya belum seberapa dibandingkan pada bulan Desember. Kata Nikanor, warga Kampung Papasena, pada Desember, harga bensin per liter bisa mencapai 100 ribu. Nikanor mensinyalir, kenaikan harga bensin itu dipicu pencairan dana desa yang sering dilakukan pada akhir tahun. Selain itu, ia menduga, soal kenaikan harga bensin itu merupakan permainan kelompok-kelompok tertentu di Mamberamo Raya.
Menurutnya, kelompok ini tahu bahwa setiap pertengahan Desember semua Kepala kampung akan turun ke Burmeso atau Kasonaweja untuk mengambil uang desa, dan mereka akan kembali ke kampungnya sebelum perayaan natal. Jadi mau tidak mau mereka pasti membeli BBM, meski harganya sampai 100 ribu/liter.
“Makanya, dana desa itu tidak buat perubahan di kampung, karena sebagian besar habis di BBM. Misalnya, untuk ke Kampung Papasena itu butuh bensin 300 liter. Tinggal kalikan saja 100 ribu, dapatnya 30 juta untuk satu perahu. Belum lagi kalau pakai tiga sampai empat perahu, bisa sampai ratusan juta habis untuk beli bensin,” urai Nikanor.
Itu baru Kampung Papasena yang tergolong dekat, bagaimana dengan kampung-kampung yang lebih jauh, seperti Tayai, Bareri, Kustra, Noyadi yang butuh BBM di atas 600 liter untuk sekali jalan. Miris.
Pahit, tapi itulah realitasnya. Sungai Mamberamo yang keruh menjadi saksi bisu kondisi ini selama bertahun-tahun, seakan menjadi misteri terpelihara tanpa ada niat untuk menyelesaikannya. Lalu, di mana para pemangku kebijakan berada? (Abe)