JAYAPURA,FP.COM,- Hutan Tanah Papua di Persimpangan, itulah judul video pendek berdurasi 8 menit 16 detik yang baru saja (2022) dipublikasikan Cornell Lab of Ornithology Cornell University. Video ini dengan sangat jelas memperlihatkan fakta kondisi hutan papua saat ini dan ancamannya dalam 20 tahun terakhir.
Dalam video ini, kita akan melihat bagaimana perubahan-perubahan tutupan hutan yang terjadi dalam periode waktu tertentu akibat pembangunan jalan Trans-Papua dan ancaman perluasan perkebunan industri, khususnya kelapa sawit.
Editor film pendek ini berhasil menggabungkan data hasil kajian Gaveau,D.L A.,et al.2021. Forest loss in Indonesia New Guinea (2001-2019 ); Trends,drivers and outlook. Biol Cons 261 : 109225, Nusantara Atlas (David Gaveau, TheTreeMap) dan Indonesia Nature Film Society (INFIS) dalam bentuk animasi, sehingga memberikan gambaran yang sangat jelas bagi penonton, khususnya masyarakat adat papua, bahwa hutan papua dan masyarakat adat papua dalam ancaman serius.
Melalui deskripsi video itu dijelaskan, bahwa Pulau New Guinea adalah rumah bagi salah satu sistem hutan terbesar dan paling beragam yang tersisa di bumi. Hutan-hutan ini, yang mencakup lebih dari setengah hutan utuh di kawasan Indo-Pasifik, memberikan banyak manfaat bagi manusia, termasuk solusi berbasis alam untuk iklim dan krisis alam. Pemerintah Provinsi Papua Barat di Indonesia New Guinea (Tanah Papua) pada tahun 2018 menyatakan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi dan berkomitmen untuk melindungi 70% hutannya, menetapkan cetak biru untuk konservasi dan pembangunan berkelanjutan di seluruh wilayah.
Namun hutan berada di bawah ancaman pembangunan infrastruktur skala industri (termasuk jalan raya seperti Jalan Raya Trans-Papua), ekstraksi kayu komersial, dan konversi permanen untuk komoditas pertanian seperti kayu pulp dan kelapa sawit. Bagian ini menggunakan penelitian dan data dari Nusantara Atlas untuk menunjukkan deforestasi selama 20 tahun terakhir dan memprediksi risiko masa depan terhadap hutan yang tersisa, terutama risiko yang ditimbulkan oleh jalan. Skenario “bisnis seperti biasa” akan menghasilkan peningkatan enam kali lipat kehilangan hutan selama 15 tahun ke depan. Meskipun jalan dapat memberikan akses ke pembangunan berkelanjutan, jalan tersebut harus direncanakan dengan koordinasi dengan tujuan keberlanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan hutan dan masyarakat Tanah Papua.
Namun belum habis satu ancaman, datang ancaman lain yang mengerikan di awal April 2022, ketika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan RUU Pemekaran Tiga Provinsi di Tanah Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Pegunungan Tengah Papua dan Provinsi Papua Tengah.
Melalui video ini, kita diberikan informasi, bahwa Pada tahun 2018, Gubernur dari dua provinsi di Tanah Papua berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan yang akan memperkuat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adat dan melindungi setidaknya 70 % hutan di Papua.
Hutan Tanah Papua lebih dari sekadar bentang alam yang dipenuhi pepohonan. Hutan tersebut merupakan jaringan dari unsur hayati dan non hayati yang mendukung flora, fauna dan budaya yang tidak ditemukan di tempat lain. Hutan ini menopang kehidupan dengan menjaga ketahanan pangan dan ketersediaan air, dan sekaligus melindungi manusia dari bencana alam dan perubahan iklim.
Pembangunan jalan besar-besaran sedang dilakukan melewati hutan papua ini dengan panjang hampir 4000 kilometer. Jalan trans-papua merupakan bagian dari rencana nasional untuk menghubungkan dan melayani masyarakat Tanah Papua.
Meskipun demikian, pembangunan tersebut mengancam keberadaan hutan papua; dari hutan perawan menjadi ekosistem yang terpecah dan beresiko membawa dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat papua, keanekaragaman hayati dan angka emisi karbon.
Penelitian menunjukan bahwa keberadaan jalan membawa resiko perluasan, penebangan liar dan penggundulan hutan di banyak lokasi. Sebagai contoh, perluasan jalan di Sumatera dan Kalimantan selama 20 tahun terakhir memegang peranan penting atas hilangnya 25 % persen habitat hutan yang sebagian besar diubah secara permanen menjadi perkebunan komersial seperti kelapa sawit.
Di Tanah Papua hanya 2% lahan hutan yang terkena dampak pembangunan jalan Trans-Papua dalam jangka waktu yang sama. Tetapi dengan hampir selesainya pembangunan jalan ini, angka kerusakan hutan kemungkinan besar akan berubah. Jalan Trans-Papua melewati beberapa bentang alam paling terjal di Indonesia, mulai dari pantai, hutan hingga pegunungan tinggi.
Pada tahun 2009, Kenyam adalah sebuah kampung tanpa jalan yang dikelilingi oleh hutan di sepanjang Sungai Pomats. Dari rekaman satelit menunjukkan bahwa pembangunan jalan awalnya dari arah Selatan desa. Pada 2013, pembangunan telah menyeberangi sungai ke Taman Nasional Lorentz, sebuah lokasi dilindungi yang termasuk ke dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Jalan raya tersebut membela ekosistem pegunungan Taman Nasional Lorentz yang rapuh guna terhubung dengan kota-kota di Utara.
Pada tahun 2020, pembangunan lain yang datang dari arah Timur hampir selesai. Seiring dengan bertambahnya pembangunan jalan, begitu pula dengan pembangunan di Kenyam. Dan kampung-kampung lain di sepanjang rute tersebut. Sejak Tahun 2020, pembangunan jalan baru dan berkembangnya kota telah menyebabkan 15 % dari hilangnya lahan hutan di Tanah Papua. Totalnya lebih dari 115.000 hektar.
Dalam periode waktu yang sama, sebanyak 120.000 hektar hutan ditebang untuk industri di Semenanjung Bomberai. Jaringan penebangan hutah di pedalaman telah menyebabkan hilangnya lahan hutan lebih dari 52.000 hektar. Meski banyak dari jaringan ini yang bersifat sementara, tetapi cakupannya sangat luas. Dan sisa hutan besar yang belum ditebang di dalam lahan yang sudah direncanakan untuk ditebang, beresiko besar mengalami penurunan atau hilangnya hutan.
Satu-satunya pendorong terbesar konversi hutan secara permanen selama periode 20 tahun ini adalah pertanian industri, khususnya kelapa sawit. Seperti yang terlihat di Sumatera dan Kalimantan ada hubungan yang jelas antara pembangunan jalan dan perluasan perkebunan.
Saat ini seluruh industri kelapa sawit di Tanah Papua terletak dalam jarak 35 kilometer dari jalan raya. Perkebunan kelapa sawit menyumbang 27 persen dari total konversi hutan. Pada tahun 2010, jalan yang dibangun di dekat kota Timika telah membuka jalan untuk pembangunan perkebunan baru. Pada tahun 2014, perkebunan di dekat jalan raya sudah sangat luas. Tetapi tanpa jembatan, tidak ada akses ke sana dan hutan di sebelah Barat tetap utuh. Dua tahun kemudian, dengan adanya jembatan, lahan yang dulunya hutan hampir seluruhnya berubah menjadi kelapa sawit.
Di tempat lain, perubahan hutan menjadi perkebunan industri mencakup wilayah yang lebih besar. Lebih dari 100.000 hektar perkebunan sawit berada di Papua Tenggara, termasuk beberapa proyek kelapa sawit terbesar di Indonesia.Lebih dari 1 juta hektar hutan telah diberi ijin untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit atau hutan industri kayu pulp di masa mendatang.
Hutan Tanah Papua dan masa depan ekonomi berkelanjutannya berada di persimpangan. Pada tahun 2021, hilangnya lahan hutan selama 20 tahun terakhir telah dibatasi. Namun, seperti yang terlihat di bagian lain Indonesia, pembangunan jalan yang tidak dikelola dengan baik, telah menyebabkan hilangnya hutan.
Jika Tanah Papua mengikuti cara yang sama, maka hilangnya lahan hutan dapat meningkat enam kali lipat selama 15 tahun ke depan. Model analisa data yang memperhitungkan faktor-faktor seperti topografi, jalan dan ijin penggunaan lahan yang telah ada, telah mengidentifikasi daerah-daerah beresiko paling tinggi untuk terjadinya kehilangan hutan.
Secara keseluruhan, lokasi penggundulan hutan tersebut diperkirakan akan lebih dari 4,5 juta hektar, sebuah daerah yang lebih luas dari negara Swiss. Hilangnya lahan hutan ini akan melemahkan komitmen untuk melindungi warisan hayati dan budaya Tanah Papua yang unik dan akan datang waktunya dimana laju penggundulan hutan tropis tidak hanya harus diperlambat di seluruh dunia tetapi harus dipulihkan untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim.
Inisiatif pembangunan seperti jalan Trans-Papua dapat menguntungkan masyarakat setempat dengan menyediakan akses ke peluang pembangunan baru. Namun, semua pembangunan yang terjadi sekarang telah membuka Tanah Papua dengan cepat untuk proyek industri skala besar yang bertentangan dengan komitmen internasional dan lokal pada pembangunan berkelanjutan dan pemulihan lahan hutan yang hilang.
Dengan koordinasi dan perencanaan yang cermat, pembangunan jalan dan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus memajukan tujuan keberlanjutan dan meningkatkan kesejahteraan hutan dan masyarakat Tanah Papua.
Sekadar diketahui, pada tahun 2021, pemerintah Papua Barat menarik izin konsesi perkebunan minyak sawit yang mencapai hampir 300.000 hektar, sebagai bagian dari komitmennya dalam pembangunan berkelanjutan dan perlindungan hutan.
Pada tahun 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan pembatalan izin lebih dari 3 juta hektar konsesi perkebunan kelapa sawit, perhutanan dan pertambangan di Indonesia, sebagai bagian dari usaha negara untuk mengurangi tingkat penebangan hutan dan upaya membantu penyerapan karbon untuk mengurangi gas rumah kaca. Dan 40 % dari jumlah itu adalah lahan di Tanah Papua.
Perubahan penggunaan lahan ini mengarah ke komitmen bersama guna mencapai target pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan komunitas lokal dan masyarakat adat Tanah Papua.*)