Pernah nonton film Di Timur Matahari? Di film produksi Alenia Picture ini, Anda akan menemui karakter seseorang bernama Mama Hanna. Mama Hanna diperankan oleh seorang figuran bernama Suryani Yigibalom. Tapi, Suryani sendiri bukanlah seniman film, ia merupakan pegawai negeri sipil di Kabupaten Lanny Jaya.
Pun, jika Anda mendengar nama depannya dan menebak ia berdarah Jawa, juga keliru. Suryani adalah seorang perempuan Papua tulen. Tapi ia tak menampik, namanya memang “berbau Jawa”. Seperti pernah diceritakan almarhum ayahnya, Pato Yigibalom, kepadanya, nama itu memang diberikan oleh Kepala Dinas Koperasi Jayawijaya (1982) asal Kudus, Jawa Tengah.
“Kata Bapa, saat apel pagi, ia menghadap (atasan), ditanya anaknya laki-laki atau perempuan, sudah diberi nama?”
“Jadi dikasih nama Lilis Suryani Yigibalom, berikut uang Rp50 ribu, suruh daftar di Dukcapil. Tapi karena (namanya) kepanjangan, ditulis saja Suryani Yigibalom,” tuturnya kepada Fokus Papua tengahan Mei ini.
Begitulah, ibarat pepatah, apalah arti sebuah nama. Lebih menarik mengulas sosok perempuan kelahiran Wamena, 11 Februari 1982 ini dari sisi prestasi akademik dan kecemerlangan karir birokrasinya. Di usia yang masih tergolong muda ini, dia sudah menyandang gelar doktor. Jabatan di pemerintahan pun bukan main, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Lanny Jaya!.
***
Suryani Yigibalom menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Wamena tahun 2001 sebelum diterima di Universitas Cenderwasih jurusan Ekonomi Pembangunan.
Di Jayapura, Suryani tinggal di asrama Yan Mamoribo, Padangbulan. Namun, ia hanya bertahan dua tahun, lalu memilih indekos.
“Waktu itu kuliah semakin padat, sementara di asrama itu kan kita harus kerja, masak, ada pembagian tugas, sedangkan saya mau fokus belajar, akhirnya saya putuskan untuk keluar,” kenang alumni SMP Negeri 2 Wamena ini.
Suryani tipe cewek mandiri, ia tak mau sepenuhnya bergantung kepada orangtuanya. Beberapa kali dalam seminggu, ia bangun pagi, sarapan, lalu naik angkot ke pasar Yotefa. Ia membeli pinang untuk dikirim kepada mamanya, Martha Kogoya, di Wamena untuk dijual lagi. Bisnis pinang itu cukup membantu biaya kuliahnya hingga selesai pada 2005.
“Saya lulus S1 (strata satu-red) itu hasil pinang,” ujarnya.
Nasib baik berpihak pada Suryani, hanya dua minggu lulus kuliah, ia mengikuti tes calon pegawai pegawai negeri sipil di Kabupaten Jayawijaya, dan dinyatakan lulus.
“Saya penempatan pertama kali di distrik Malagaineri,” tutur jebolan SD YPPK Santo Yusuf Wamena ini.
Medio 2007, Kabupaten Jayawijaya dimekarkan menjadi beberapa kabupaten, di antaranya Lanny Jaya dan Nduga. Ayahnya, Pato Yigibalom, saat itu sudah punya jabatan lumayan sebagai Kepala Distrik Wosak, yang belakangan jadi bagian dari Kabupaten Nduga.
“Waktu itu masa transisi, mau pemekaran sa pu bapa bilang, lanjut sekolah lagi sudah.”
“Beliau siapkan uang untuk saya lanjut sekolah. Waktu itu biaya sampai tamat S2 (strata dua) di Uncen itu sekitar 35 Juta. Beliau bayar lunas, saya tinggal kuliah saja,” lanjutnya.
Singkat cerita, dalam usia 26 tahun, Suryani telah mengantongi ijazah magister yang secara otomatis mendongkrak posisinya di birokrasi. Dari staf kantor distrik naik ke jenjang eselon IV dengan jabatan kepala seksi fisik dan prasarana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lanny Jaya.
Tahun 2014 menjadi kenangan manis namun juga pahit bagi Suryani. Di tengah euforia promosi jabatannya sebagai Kepala Bidang Statistik Bappeda Lanny Jaya, ia harus mengikhlaskan kepergian mamanya, berpulang ke pangkuan Ilahi. Saat itu, ia merasa sungguh kehilangan motivator hidupnya.
“Mama saya pernah bilang, cukup mama saja yang jualan. Mama punya anak-anak perempuan tidak boleh jualan.”
***
Di rumah, Bapa Pato punya tiga panggilan khusus buat anak perempuannya itu. Suryani, Lisbeth, dan Ani. Masing-masing punya arti.
“Kalau Bapa panggil saya Suryani itu ada sesuatu yang dia senang, kalau Lisbeth ada kabar baik yang dia mau sampaikan ke saya. Beda lagi kalau dia panggil saya Ani, itu dia mau minta sesuatu,” ungkap Suryani tersenyum.
“Lisbeth,” kata Suryani menirukan panggilan ayahnya suatu pagi di tahun 2017.
Suryani dengan riang gembira menghampiri ayahnya di ruang tamu, sembari membayangkan kabar baik apa yang akan dia dengar.
“Uang insentif yang kemarin kamu terima itu kasih keluar sekarang!,” kata Suryani menirukan perintah ayahnya ketika itu.
Spontan saja Suryani kaget, ia tak menyangka akan ditodong seperti itu.
“Sudah, sa su tahu, ko jang tipu, kasih keluar sekarang!,” kata Bapa Pato lagi.
“Jadi, saya ke kamar, ambil uangnya, Bapa suruh taruh di meja. Di meja itu, di balik pot bunga, sudah ada Bapa pu uang sendiri,” kisah Suryani.
“Bapa bilang: Kaka pu uang itu, ini bapa punya uang, sekarang ko pegang, hari ini turun ke Jayapura, pergi daftar S3!.”
Ia tak mau membantah ayahnya, namun ia juga tak mau konyol. Ia tahu, biaya yang diperlukan untuk program doktoral tidaklah sedikit, sekitar 145 juta rupiah. Ia pun mengungkapkan kerisauannya itu.
Bapa Pato pun meyakinkannya, dan berjanji akan membantu biaya sisa. Terbukti kemudian, Bapa Pato tak hanya membantu dengan gaji, ia juga rela mengambil kredit untuk biaya kuliah Suryani.
Juni 2021, Suryani berhasil menyelesaikan Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih dengan disertasi berjudul: peran wanita karir dalam pemenuhan ekonomi keluarga studi gender pada keluarga ASN Papua di Kabupaten Lanny Jaya. Dengan begitu, ia tercatat perempuan pertama pemegang titel doktor dari wilayah Lapago.
Selaras dengan itu, karir birokrasi kian moncer, setelah sempat menjabat Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Lanny Jaya, ia mendapat promosi sebagai Pelaksana Tugas Kepala DPMPTSP Lanny Jaya. Namun, lagi-lagi, di tengah kegembiraan itu, ia harus kembali merasakan duka mendalam setalah ditinggal sang ayah. Bapa Pato Yigibalom harus menghadap penciptanya.
Dan, sejak Maret 2022, Suryani mendapat kepercayaan untuk jabatan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Lanny Jaya defenitif, hingga sekarang.
“Saya baru mengerti kenapa Bapa mau saya harus sekolah, saya harus tanggung jawab ade-ade, itu pesannya setelah pension,” tutupnya dengan penuh haru. (*)