Dewasa ini, kerajinan batik di Papua cukup berkembang, terutama dalam dua dasawarsa terakhir. Kekayaan budaya berupa motif yang berasal dari ratusan suku di Papua turut memberi andil bagi kemajuan itu. Para pengrajin punya banyak pilihan untuk berekspresi. Di lain pihak, batik Papua mulai merambah pasar nasional dan internasional.
Walaupun tidak bisa dipastikan kesahiannya, beberapa narasumber yang ditemui Fokus Papua mengatakan, kerajinan batik masuk ke Papua sekitar tahun 80-an, diprakarsai oleh badan dunia The United Nations Development Programme (UNDP). Ketika itu, UNDP membentuk sebuah perusahaan bernama The Irian Jaya Joint Development Foundation (IJJDF). Tahun 1982, IJJDF mendirikan anak perusahaan bernama Batik JDF yang memperkenalkan batik cap dan batik tulis.
Disebutkan, seseorang bernama Zainal Arifin, seniman batik asal Solo, yang pertama kali yang didaulat menjadi mentor di perusahaan itu. Karyawannya, banyak putra-putri Papua.
“Jadi kita kumpul gambar dari daerah-daerah di Irian Jaya, baru Bapa Zainal yang masukkan motif itu ke dalam besi cap itu,” ungkap Niko Wanggai, pria yang pernah jadi bagian manajemen Batik JDF Irian Jaya.
Selang dua tahun kemudian, tepatnya 1984, batik printing mulai diperkenalkan. Sayangnya, setelah beroperasi lebih dari 10 tahun, tepatnya 1997, perusahaan itu harus dilikuidasi dan seluruh karyawannya diberhentikan.
“Padahal, hampir semua dari mereka sudah menggantungkan hidupnya dari perusahaan itu,” ujar Niko kepada Fokus Papua di kediamannya, di Hamadi, beberapa bulan lalu.
Hal ini diamini oleh Yosepus Marani, yang juga mantan karyawan Batik JDF bagian printing. “Pasca dilikuidasi, sebagian dari karyawan Batik JDF kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan. Waktu itu, batik ini sangat menolong kita orang Papua, menjadi sumber pendapatan per keluarga, kita produksi batik di Waena ini di atas lokasi 10 hektar dengan tempat yang ditata baik, sampai menarik wisatawan masuk ke Irian Jaya,” kisah Yosepus saat ditemui di rumahnya di Waena.
Lanjut Yosepus, aset tanah bekas JDF yang terbengkalai selama 15 tahun itu telah dikembalikan ke pihak adat.
Kurang lebih sepuluh tahun batik Papua tampak mati suri hingga muncul seseorang bernama Blandina Ursula Ongge. Blandina mendirikan sanggar batik Phokouw Faa pada 18 September 2009.
Seperti Niko dan Yosepus, Blandina juga ekskaryawan Batik JDF tahun 1990-1999. Saat jadi pekerja di JDF, Blandina punya spesialisasi batik tulis.
Sanggar Phokouw Fa berdiri di lahan seluas kurang lebih 35 meter persegi di kawasan Kampwolker, Jayapura. Blandina dan enam pekerja lainnya mengerjakan batik tulis dan batik cap.
Masing-masing pekerja punya tugas, seperti Dominikus yang menghandle batik cap, Risni Rerey dan Hendrik Awanbon di bagian desain juga gambar, serta Ishak Osbabur untuk pewarnaan.
“Saya sendiri memegang semua bidang,” kata Mama Blandina tersenyum.
Blandina rupanya masih ingat betul ilmu yang didapatnya semasa bekerja di Batik JDF namun ia sadar, itu tidaklah cukup. “Dulu, di Batik JDF Kami perempuan ada enam orang, tapi instruktur yang didatangkan tidak mengajarkan apa yang harus kami tahu tentang proses pewarnaan,” beber alumni SMP Korpri Yoka tahun 1983 ini.
Bertekat memperdalam ilmu, tahun 2011, Blandina berangkat magang ke Yogyakarta.
“Saya pergi ke home Industry saya ke sana, bilang saya ingin belajar membatik, mereka membolehkan,” lanjut istri almarhum Irianto Suhara ini.
Pelajaran penting yang Blandina dapat dari Jogja adalah soal takaran warna yang tidak diperolehnya selama di JDF.
Mentornya di sana mengajarinya menakar warna dengan satuan dan juga banyaknya air sebagai campuran.
“Zat warna itu ditimbang pakai gram terus airnya itu sudah ada ukurannya, dengan begitu, tingkat kelunturan warna tidak lari, sama rata,” jelasnya.
Belum puas, tahun 2013, Blandina balik lagi ke Jogja. Ia mengasah keterampilan di Balai Besar Batik Jogja. Sayangnya, setelah merasa cukup mumpuni, ia tak punya banyak modal usaha. Belum lagi ia harus berjuang di tengah gempuran batik tekstil yang mendominasi pasar di Jayapura. Untung saja, Pemerintah Kota Jayapura lewat Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi masih melirik sanggarnya, dan memberikan bantuan.
“Jadi selama sepuluh tahun itu Mama jalan sendiri dengan modal kecil, yang penting saya bisa beli bahan baku, yang penting saya bisa ajarkan anak-anak Papua untuk bisa membatik karena dorang itu generasi penerus dari pada saya mati bawa ilmu itu,” kisah alumnus SMEA Hamadi tahun 1986 ini.
Hasil karya Sanggar Batik Phokouw Faa punya ciri khas yang ditandai dengan motif seperti perahu Sentani, buah pinang, pinang satu mayang. Ada pula motif tujuh pinang tujuh sirih yang menyimbolkan tujuh wilayah adat, lalu motif siput dan kura-kura dari Kimaam Kabupaten Merauke. Bahkan, Blandina punya hak paten untuk semua motif tadi.
“Di sini saya jual kain saja karena kita belum ada penjahit dan mesin jahit” , terang Mama Blandina.
Usaha Blandina tidak sia-sia, kini ia punya beberapa pelanggan tetap. Ia menyebut beberapa organisasi dan juga pesohor. Sering pula dapat pesanan dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Koperasi.
Saat ini juga, sanggar Mama Blandina sedang menjalankan amanah dari Dinas Perindagkop & UKM Kota Jayapura sebagai pendamping beberapa kelompok batik, yakni Batik Ibrani Kelurahan Kota Baru Distrik Abepura, Batik Asasi Kampung Nafri, Batik Halfing, dan Batik Wanggo di Kampung Koya Koso.
**
Boleh dikata, proses membatik cukup rumit dan membutuhkan ketelitian ekstra. Diawali dengan membuat gambar motif di atas kain putih, lalu ditulis lagi dengan canting, baru diwarnai. Setelah pewarnaan, kain didiamkan hingga dua hari agar kering. Tahap berikutnya adalah menerakan malam (lilin batik). Kain kemudian digantung selama dua hari sebelum direbus untuk melepaskan lilin. Tahap akhir, setelah kering, kain dicuci lalu diseterika sebelum siap jual.
Lain lagi dengan batik cap yang motifnya sudah paten di canting. “Kita siapkan kain putih, dilipat kotak-kotak. Meja adalah yang utama di sini, lalu kompor untuk memanaskan lilin batik.”
“Meja dibasahi dengan air dan ditutupi dengan plastik kaca. Hal ini agar pada saat meletakkan canting cap di atas kain, kain itu tidak terbakar,” ulasnya.
Proses selanjutnya dari batik cap ini yakni kain dipasang pada bingkai sebelum dicolet warna motif, lalu didiamkan dua hari.
“Setelah dua hari baru kami masuk ke proses penembokan atau penutupan lilin pada motif, dari situ baru kita kasih warna dasar, lalu kami pasang kembali lagi ke bingkai yang tadi, kita diamkan lagi selama dua hari agar warna lebih meresap lagi ke pori-pori kain, lalu dilanjutkan dengan proses perebusan atau lorot kain batik itu terakhir kita cuci, jemur dan di setrika lalu finishing untuk dijual,” jelasnya.
Menurut Blandina, sekarang ini minat generasi muda terutama dari kalangan pelajar untuk mengenal seni batik sudah tinggi. Sayangnya, hal tersebut belum didukung ketersediaan bahan baku.
“Bahan baku di Jawa cukup murah, namun ongkos kirim ke Jayapura yang mahal. Di Jayapura ini tidak ada ketersediaan bahan baku, kami harus pesan ke Jawa lalu kami harus tunggu dalam waktu yang lama, kadang sampai satu bulan baru sampai di Jayapura.”
“Jadi saya sudah usulkan beberapa kali ke pemerintah supaya ada pengusaha yang punya toko di sini, produsen bahan baku, supaya pengrajin batik baru, anak sekolah, mahasiswa bisa mencoba,” akunya.
Ia mencontohkan, di siswa SMK 5 Jayapura dan mahasiswa ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) di Tanah Papua yang sangat terkendala dengan bahan baku untuk praktik di sekolah dan kampusnya.
“Jadi harus ada ketersediaan bahan baku dari pemerintah untuk Kota Jayapura atau Provinsi Papua. Kita punya anak-anak muda nih pencinta seni, mereka punya kreatifitas yang tinggi tapi dong mau tuangkan itu ke mana kalau terkendala dengan bahan baku. Batik ini kan sudah go internasional seharusnya itu setiap sudut kota ada pengrajin batiknya,” harapnya.
Demi niat melestarikan motif budaya dan mengembangkan batik di Papua, Mama Blandina membuka diri bagi sekolah-sekolah atau pihak lain yang ingin mengenal bahkan menekuni dunia seni membatik.
“Di sini sebagai pusat pembelajaran batik, anak-anak mau belajar mari ke sini. Mama tidak kasih tarif, berapa yang dianggarkan sekolah buat magang itu cukup untuk Mama,” kata perempuan 57 tahun ini mengakhiri perbincangan dengan Fokus Papua. (*)