Kisah Hidup Mena Robert Satya: Kecanduan Narkoba, Insaf, Lalu Jadi Penginjil

Mena Robert Satya

Nasib para pecandu, bandar narkotika dan obat terlarang (narkoba) tak selalu berakhir miris. Ada banyak cerita di mana mereka bangkit lalu berkarya, menginspirasi dan berguna untuk banyak orang.

Read More
iklan

Salah satunya Mena Robert Satya, yang kini justru mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Tidak jauh-jauh dari dunia lamanya, Mena terlibat dalam komunitas untuk merahabilitasi orang-orang yang bermasalah dengan narkotika, juga melayani kaum pinggiran.

Kisah tentang Mena berawal di Kota Bandung, Jawa Barat, 22 tahun silam. Mena memutuskan hijrah ke Kota Kembang usai menamatkan pendidikan menengah atas di Jayapura, tahun 1999. Tujuannya mulia; ia hendak berkuliah.

Modal nekat, boleh dibilang. Orang tua Mena waktu itu sudah memasuki masa pensiun, jadinya tak memiliki banyak biaya. 

“Bapak saya sudah pensiun, jadi berpikir kalau harus pergi kuliah itu kan butuh biaya, cuma saya bersikeras untuk pergi,” ungkap pria berdarah Serui ini kepada Fokus Papua, awal bulan lalu di ruang kerjanya, di Lantai IV Pasar Mama Papua, jalan Percetakan, Kota Jayapura.

Benar saja, sekian lama di tanah rantau, ia mulai kewalahan, hidupnya morat-marit. Jangankan biaya sekolah, untuk sekadar makan pun ia harus mengencangkan ikat pinggang, hidup super hemat.

Menghadapi situasi ini, Mena dipaksa memutar otak. Terdesak kebutuhan hidup, dunia hitam pun jadi pilihan setelah menerima tawaran sebagai pengedar obat-obat terlarang. Saban malam, ia menjajakan barang haram itu dari diskotik ke diskotik.

Hidup Mena bak roller coaster, dari miskin, kini bergelimang uang. Dari pekerjaan itu, ia bisa membeli apa saja yang diinginkannya. Ia pun larut dalam euphoria, bahkan lebih jauh lagi ia mengonsumsi narkorba hingga jadi pemadat. Statusnya kini lengkap; pengedar sekaligus pecandu.

Tetapi, sepandai-pandai tupai melompat, jatuh juga. Suatu ketika, ia terjaring razia polisi. Mena tak dapat mengelak. Ia pun digelandang ke sel tahanan.

Rupanya, itu bukanlah akhir petualangan Mena. Jaringan mereka punya “orang dalam”. Begitu pengakuannya. Mena pun bebas lagi dan melanjutkan bisnis haramnya.

“Saya masuk penjara tidak lama, saya ingat masih jadi bandar.”

“Mengapa narkoba bisa eksis sampai hari ini? Karena ada orang-orang berpangkat yang bermain. Dua puluh tahun lalu Indonesia hanya daerah transit peredaran (narkoba), tetapi hari ini Indonesia menjadi wilayah produksi terbesar di Asia Tenggara, karena memang ada orang-orang yang punya pengaruh yang mem-back up masuknya narkoba,” tuturnya.

Sekalipun bebas dari jerat hukum, namun ada konsekuensi yang harus dibayar Mena. Ia tak kuasa menanggung malu. Malu sama keluarga dan teman-temannya. Tak hanya itu, kampusnya, Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB) menerbitkan surat drop out, ia diberhentikan. Alhasil, ijazah sarjana yang diimpikannya pun melayang.

Dalam kekalutannya, saat itu, hanya ada dua pilihan: berakhir di penjara atau mati. Ia memilih yang kedua dengan cara menenggak narkoba hingga over dosis.

“Beberapa kali saya coba untuk minum (narkoba) sampai over dosis tapi saya tidak mati-mati.”

Di situasi kritis itu, seorang kawan memperkenalkannya pada sebuah lembaga pelayanan. Namanya Victory Outreach Ministry International. Lembaga yang dimaksud ini berpusat di California, Amerika Serikat. Didirikan pada  tahun 1967 oleh Pastor Sonny Arguinzoni, seorang mantan pecandu narkoba. Kebetulan saja Outreach Ministry baru saja masuk ke Indonesia, berpusat di Bandung, tahun 2000.

Kata kawan tersebut, ia punya pilihan lain selain penjara dan mati over dosis. Rehabilitasi. Namun, Mena tidak serta merta percaya dengan saran sang kawan. Ia butuh waktu untuk merenung, memikirkan tawaran itu sebelum mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Mena ikut apa kata kawannya.

Di komunitas barunya itu, Mena menemui fakta yang justru meruntuhkan kepercayaannya.

“Staf pengajarnya semua bertatto, dan mantan pengedar dan pecandu, ada yang testimoni kalau ibu bapaknya juga pecandu, bagaimana bisa?,” ujarnya.

Pikir Mena saat itu, bagaimana mungkin orang-orang seperti ini mampu mengubah dirinya?. Tetapi, Mena memutuskan bertahan. Mumpung ada rehab gratis. Menurutnya, panti rehabilitasi yang dia tahu di Indonesia serba bayar.

“Sembuh-tidak sembuh, bayar. Delapan puluh persen bisnis,” terangnya.

Singkat cerita, anak keempat dari enam bersaudara ini pun mulai menjalani program rehabilitasi. Bulan pertama terasa begitu berat. Aturan begitu ketat, sementara keinginan untuk memakai narkoba terasa begitu kuat, batinnya tersiksa, ia kalah. Beberapa kali kabur dari panti, namun kembali lagi.

“Tuhan selalu membawa saya kembali,” kenang pria 42 tahun ini.

Kurang lebih enam bulan menjalani pemulihan, dan berhasil. Ia pun ditarik menjadi staf, lalu dipercaya menjadi direktur rehabilitasi.

Empat tahun kemudian, terjadi transisi pada organisasi Outreach Ministry. Misionaris asal Amerika dan Filipina ditarik ke negaranya masing-masing. Orang-orang Indonesia mengambil alih pelayanan. Jadilah Mena didaulat sebagai salah satu pimpinan Victory Outreach Internasional Indonesia, juga untuk Asia.

“Saya pikir, kalau Tuhan punya rencana dalam hidup saya, kalau mau bilang mati mungkin dulu saya sudah mati ditembak, itu berapa kali ada kejadian, tapi Tuhan selalu hindarkan. Saya baru mengerti hari ini,” akunya.

Dari Bandung, Mena pernah mendapat penugasan untuk sebuah gereja rintisan di Depok. Di sana, Mena bertemu rekan kerja baru dari Belanda, pasangan suami istri yang latar belakang keduanya kurang lebih sama dengannya. Mantan pecandu, bahkan pengedar kakap. Konon, mereka sanggup menyelundupkan heroin dari Eropa ke Indonesia. Seperti halnya Mena, mereka diselamatkan Victory Outreach International setelah menggelandang akibat hartanya disita pemerintah Belanda.

Kebersamaan Mena dengan pasangan itu tidak lama. Satu tahun berselang, Mena ditarik kembali ke Bandung, masih di posisi sama, direktur rehabilitasi. Kali ini ia lebih sering menjangkau pelayanan ke sel-sel tahanan dan lembaga pemasyarakatan.

Lantaran kegigihannya dalam menangani rehabilitasi para pecandu itu, Mena pernah mendapat tawaran dari BNN (Badan Narkotika Nasional) untuk dipekerjakan di Balai Besar Rehabilitasi Lido di Pelabuhan Ratu. Tetapi ditampiknya. Ia malah berniat kembali mengabdi di tanah kelahirannya, Papua.

Keinginannya itu kemudian terkabul, ketika suatu waktu, seorang rekannya mengundangnya datang berkhotbah di Jayapura.

“Dari 2009, 2010, itu saya dapat undangan khotbah, jadi pulang balik Jayapura. 2011, setelah menikah, baru menetap di Jayapura.”

Di Jayapura pula, barulah Mena melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Mengambil jurusan manajemen di USTJ (Universitas Sains dan Teknologi Jayapura).

Mena tidak langsung membuka pelayanan Victory Outreach. Mula-mula ia bergabung di sebuah gereja lokal, Gereja Bethel Indonesia (GBI), bersama temannya, Pendeta Deda, Di gereja ini, Mena menjabat sebagai sekretaris salah satu jemaat selama enam tahun. Di sela tugasnya, ia aktif menjangkau kaum marginal, baik yang ada di jalanan, juga lembaga pemasyarakatan. Pastori gereja, kediamannya, disulap jadi panti rehabilitasi, apa adanya.

“Saya menggunakan rumah pastori gereja untuk menampung mereka yang saya bawa. Cuma, karena tidak selamanya mereka harus ada di rumah pastori, akhirnya beberapa anak-anak yang saya sudah bina saya kembalikan kepada keluarganya,”  (Bersambung)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *