Mama Paulina Wadi baru saja pulang dari kebun ketika kami memarkir kendaraan di halaman rumahnya. Ia tidak terlalu terkejut, maklum, kami sudah bikin janji sebelumnya lewat anaknya, Ariance Wadi.
Spontan, ia bergegas membersihkan tangannya sebelum menjabat tangan kami. “Anak silakan duduk, Mama ganti baju dulu,” sambutnya.
“Sebenarnya Mama mau turun ke Abe, tapi karena Anak mau datang, Mama tunggu,” ujarnya sembari merapikan baju batik motif tifa dan cenderawasih yang baru dikenakannya.
Mama Wadi adalah seorang pengrajin batik Papua yang tinggal di Kampung Sumbe, Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura. Kami mengenal karya-karyanya yang diunggah oleh Ariance di media sosial.
Awal mula mengenal batik ketika ia bergabung dengan sebuah sanggar bernama Lembah Grime yang beranggotakan 20 pengrajin, tahun 2006.
Empat tahun berjalan, sanggar itu tidak lagi aktif menyusul satu per satu anggotanya keluar. Padahal, sanggar ini sudah masuk binaan Dinas Perindustrian dan Koperasi Provinsi Papua.
Paska bubar, semangat Mama Wadi tidak lantas memudar. Ia merasa menyesal jika keterampilan yang telah didapatnya terbuang percuma. Apalagi, ia harus menafkahi hidup sendiri setelah ditinggal sang suami, Soleman Waicang, 15 tahun lalu.
Itu sebab, dari tahun 2018 hingga 2020, dalam setiap Musyawarah Rencana Pembangunan Kampung (Musrenbang), ia gigih menyuarakan agar kerajinan membatik diakomodir dalam Alokasi Dana Kampung (ADK).
“Saya juga sudah ke kantor bupati, Dinas Pemberdayaan Perempuan, tapi dijawab dana itu ada di kampung. Di sini (kampung) juga sama, belum direspon,” ungkap perempuan berusia 63 tahun ini.
Tapi Mama Wadi tidak menyerah, ia kembali lagi ke Gunung Merah (sebutan kompleks perkantoran Kabupaten Jayapura di Sentani).
Akhir April 2020, usaha dan doanya berbuah. Ia diminta membawa contoh karyanya ke kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan.
Penuh semangat, ia memenuhi permintaan itu. “Mama turun bawah kain 2 meter yang sudah mama batik untuk dilihat.”
Hasil pertemuan sungguh menggembirakan. Bersama 16 orang lainnya, Mama Paulina dibawa mengikuti pelatihan membatik selama dua pekan di Gunung Merah.
“Mama punya teman-teman yang lain dari 20 orang ini sudah ada yang meninggal dunia, jadi kami sisa 16 orang saja,” katanya dengan nada sedih.
Bukan hanya ilmu yang didapat, dari pelatihan itu, Mama wadi dan koleganya dibekali bahan baku, seperti pewarna sintetis dan lainnya.
“Canting kita buat sendiri, sesuai kebutuhan.”
Enam bulan sudah kerajinan batik di Sumbe hidup. Motif kain batik Mama Wadi memiliki ciri khas tersendiri yang merupakan identitas masyarakat setempat atau nilai-nilai yang dianut oleh orang lembah grime.
“Mama pakai tifa karena umum, di sini kami pakai tifa untuk segala macam hal terutama pesta adat, motif lain ada tapi karena adat ini tidak bisa sembarang mama kita buat”.
Nah, kalau pembaca berniat memiliki kain batik Mama wadi, cukup merogoh kocek Rp. 600.000, Anda sudah memiliki kain batik sepanjang dua meter berbahan cotton.
Tapi, harap bersabar, Mama Paulina hanya buka penjualan sampai minggu ketiga Desember. “Lagi tidak terima pesanan, nanti lagi, awal Januari tahun depan.”
Sekarang ini, Mama Wadi dipercaya mengetuai kelompok ibu-ibu pengrajin batik di Sumbe. Tetapi ia punya kerinduan lain; memiliki sanggar sendiri. Tujuannya mulia.
“Mama ini mau punya sanggar sendiri, supaya bisa ajar orang cara membatik terutama anak-anak kami supaya besok mereka bisa lanjutkan barang ini,” harapnya. (*)