Kisah Maxi Kemesrar, Seorang Seniman Muda yang Mengawali Kiprahnya dari Event Nasional

Yafet Maxi Kemesrar saat ditemui di Arso awal pekan ini.

Sebuah tarian kolosal yang mengisahkan persatuan lima suku adat Papua mengawali opening ceremony Peparnas (Pekan Paralimpik Nasional) XVI Papua, medio 2021 silam. Momen itu sudah dua tahun berlalu, namun masih lekang dalam ingatan setiap orang yang menyaksikannya. Selain koreografi yang benar-benar memukau seisi stadion Mandala Jayapura dan penonton layar kaca, keindahan tarian itu juga tak lepas dari busana yang dikenakan 2000 penari, yang tampil dengan lima corak busana, masing-masing mewakili lima wilayah adat: Mamta, Lapago, Meepago, Saireri, dan Animha.

Maxi (baju hitam) berpose bersama tim penari yang mengenakan kostum kulit kayu yang dikerjakan oleh Maxi pada Peparnas XVI 2 tahun lalu. Foto : dok pribadi.

Nah, awal September ini, kru Fokus Papua menemui salah satu sosok di balik layar pada pertunjukan megah ini, Yafet Maxi Kemesrar, seorang seniman muda dari Arsopura, Keerom. Bagi Maxi, acara pembukaan Peparnas itu punya makna lain, sebab dari sinilah dia menuliskan sejarahnya sendiri di dunia seni.

Read More
iklan

Ketika itu, Maxi bertugas khusus melukis 300 buah kostum bermotif adat Saireri. Dibantu istrinya, ia juga menganyam rumbai-rumbai dari enceng gondok. Ia mengaku harus berjibaku selama sebulan penuh untuk menyelesaikannya. Namun, peran Maxi tidak cukup sampai di situ, bersama rekan-rekannya, ia masih harus merias dan mengukir motif Papua di hampir sekujur badan para penari sebelum pentas.

Maxi saat memotong pola di kulit kayu untuk kostum penari medio 2021 lalu/ foto :dok pribadi.

Keterlibatan Maxi dalam mega proyek itu berawal ketika dia direkrut oleh Akbara Alwin, seorang seniman sekaligus fashion designer. Akbara adalah penanggungjawab untuk busana penari pembukaan ajang akbar tersebut.

Di dunia seni pertunjukan di Jayapura Akbara bukanlah nama yang asing. Bakatnya dalam mempertegas karakter para pemeran film atau yang dikenal sebagai make up karakter membawanya terlibat dalam film Tikam Polisi Noken.

Maxi berkisah, ketika proyek itu mulai digarap, Akbara membuat postingan di sosial media dengan maksud mencari seniman yang akan direkrut ke dalam timnya. Maxi yang merasa punya bakat seni kemudian memberanikan diri mengadu keberuntungan. Jauh-jauh, dia datang dari kampung tempat tinggalnya di Arsopura distrik Skanto, Keerom untuk menemui Akbara di Entrop, Jayapura.

Begitu ketemu, oleh Akbara, Maxi disodori selembar kertas dan diminta menunjukkan kemampuan melukisnya. Maxi kemudian menggambar sebuah motif dan rumbai-rumbai. Sesingkat itu, Maxi sah melengkapi tiga seniman rekrutan Akbara sebelumnya. Dan ia satu-satunya putra asli Papua di tim itu.

Maxi sungguh berterima kasih kepada Akbara yang telah bersedia menerimanya. Untuk itu, ia juga berjanji bekerja sebaik mungkin. Hasilnya, pertunjukan tersebut sukses membuat seluruh penonton berdecak kagum, termasuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Maxi dan timnya pada gelaran Peparnas XVI yang lalu. foto: dok pribadi

Bagi Maxi, Akbara adalah senior dan mentor yang baik. “Sebelum Pak Akbara pulang, dia kasih saya semua bahan baku, mesin jahit, mesin cuci, sampai beliau punya baju juga dia kasih untuk saya,” kenang Maxi terharu.

Akbara berpesan agar semua bahan baku yang diberikan dapat dimanfaatkan dengan baik. Akbara berharap, suatu waktu Maxi menjadi seorang seniman hebat dari Keerom yang membanggakan Papua. Akbara juga memberi sebuah wejangan yang selalu Maxi ingat.

“Maxi, kamu jangan jadi anak Papua yang malas. Jangan ikut-ikutan mabuk, kamu harus bisa buktikan kalau orang Papua juga bisa,” tutur Maxi menirukan nasihat Akbara.

Berbekal bantuan peralatan tadi, saat ini Maxi telah fokus menggeluti dunianya sebagai seniman di Keerom. Ia mengerjakan pesanan mahkota dari bulu kasuari dan mambruk yang didapatnya dari hutan. Dia juga mendesain kostum yang selain dipasarkan juga dikoleksi untuk disewakan. Ia bahkan telah memiliki sanggar sendiri yang diberi nama Trifan Papua.

Rumbai-rumbai (rok perempuan) berbahan enceng gondok

Meskipun terbilang telah mandiri, komunikasi Maxi dengan Akbara tidaklah putus. Menurut Maxi, Akbara baru saja menjanjikan bantuan berupa bulu ayam untuk dibuat souvenir seperti gantungan dinding, tusuk konde, dan mahkota. Ia juga membuat imitasi burung cenderawasih berbahan sabut kelapa yang merupakan ikon dari sanggarnya.

Gantungan dinding berbahan bulu ayam, tali eceng gondok dan kulit kerang

Ada pula rumbai-rumbai dari enceng gondok, tas berbahan kulit kayu. Ia mengaku cukup kewalahan mendapatkan bahan baku untuk tas, belum lagi dia masih harus mengolahnya secara manual. Belakangan, ia juga membuka jasa painting wajah.

Sebagai tempat promosi untuk karyanya, Maxi punya lapak sendiri di jejaring internet yang diberi nama Galeri Online Nadlakem Wol. Meskipun begitu, ia masih bermimpi memiliki galeri di dunia nyata yang bisa dikunjungi.

Menurut lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Ottow Geissler Jayapura ini, seni bukan sekadar profesi tapi juga bentuk ekspresi. Itu sebab, ia tak berniat meraup untung banyak dari setiap karyanya. Paling mahal 500 ribu rupiah untuk mahkota kasuari dan mambruk.

Selain di sanggar, saban hari Maxi berkebun, menanam singkong, ubi jalar dan sayur-sayuran serta pinang. Hasil kebunnya dijual ke para pedagang di Pasar Hamadi, Kota Jayapura. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *