Kisah Rini “Orien” Pratiwi, Mace Polwan dari Tanah Anim Ha

Iptu Rini Dian Pratiwi ketika mendampingi anak-anak korban bencana

Inspektur Satu Rini Dian Pratiwi, begitu nama lengkapnya, merintis karir sebagai polisi di tahun 2017, usai menyelesaikan pendidikannya di SIPSS Batalyon Adiguna Laksana Yuwawira, dengan pangkat Inspektur Dua (Ipda).

Read More
iklan

Lepas pendidikan, tanpa disangka, ia langsung dipanggil ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) , ditempatkan di Assessment Center Biro Sumber Daya Manusia (SDM).

Dua tahun di Trunojoyo, sebutan lain Mabes Polri, medio 2019, tanah kelahiran memanggilnya. Ia diplot mengisi satu posisi lowong di bagian psikologi Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Markas Kepolisian Daerah Papua. Di sini, ia seperti menemukan dunianya. Maklum, latar pendidikan Orien, begitu ia disapa, memanglah seorang psikolog. Pendidikan terakhirnya adalah magister profesi psikologi yang ia gondol dari Universitas Mercu Buana, Yogyakarta.

Berselang setahun setelah mutasi itu, ia diganjar kenaikan pangkat satu tingkat. Bagi Orien, mengenakan seragam coklat khas Korps Bhayangkara terhitung barulah seumuran jagung. Namun jangan ditanya soal sepak terjangnya. Tugasnya sebagai polisi psikologi membuatnya harus sering berada di lapangan ketimbang duduk di belakang meja. Ia lebih akrab dengan peluh dan terik matahari di kala menjangkau masyarakat yang tertimpa bencana.

Menempuh medan berat sudah jadi bagian hidupnya, malah dijadikan pemompa semangat. “Dinamika di Papua itu seru banget, loh, lebih kepada yang nggak bisa harus bisa. Jadi aku tertantang banget,” tuturnya kepada penulis, Kamis, pekan lalu.

Sebelum ke Papua, ia punya pengalaman menangani trauma para korban tsunami di Palu-Donggala, tahun 2018. Secuil pengalaman ini kemudian dibawa sebagai bekal ke Papua, seperti ketika mendampingi para korban banjir bandang Sentani (2019), kerusuhan Wamena (2019), dan yang teranyar bersama pengungsi banjir Keerom.

Kepada penulis, ia buka-bukaan soal metode yang biasa dipakai. “Pendekatan metode trauma healing,” sebutnya. Ia menjelaskan, metode ini cukup sederhana, namun efektif: seperti bermain dan belajar bersama anak-anak.

“Aku lebih suka pendekatannya ke anak-anak, karena mental dan psikologi mereka masih rentan banget. Takutnya, trauma yang dialami itu terbawa dalam proses pendewasaannya. Biasanya, sih, aku suruh mereka menggambar. Karena itu bisa mewakili perasaan atau kondisi psikologi yang sedang dialami.”

Tidak hanya korban bencana alam, Orien pernah juga mendamping korban pemerkosaan, seperti yang dialami 14 orang yang terdiri dari tenaga guru dan medis di Mapenduma, Kabupaten Nduga, Papua, tahun 2018 silam. Mereka dijadikan budak seks oleh tujuh anggota Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) pimpinan Egianus Kogoya, secara bergantian.

Orien tak bisa melupakan situasi kala bertemu dengan para korban ini. Ia mengaku merasa sedih jika mengingatnya. Menurutnya, itu perlakuan sangat brutal dan keji yang pernah ditemui. “Aku dampingi korban, berusaha mengembalikan psikologis mereka yang sudah terlanjur hancur karena peristiwa itu. Mereka trauma sekali, sangat trauma,” kenangnya.

Dalam dunia ilmu psikologi, kondisi yang dialami korban ini disebut Post-Traumatic Stress Disorder, sering disingkat PTSD. Istilah ini, kata Orien, tergolong baru, merujuk pada gangguan kondisi psikologi seseorang paska mengalami atau menyaksikan sebuah kejadian yang mengerikan. Korban akan mengalami ini dalam waktu yang lama; berbulan-bulan hingga hitungan tahun.

“PTSD bisa dipicu dari kondisi seseorang yang secara sengaja atau tidak, terpaksa mengingat kembali kejadian mengerikan yang pernah dialami atau disaksikan itu dengan reaksi yang emosional. Oleh sebab itu, pendampingan psikologi memang sangat diperlukan.”

Kurang lebih tiga bulan Orien bersama mereka, selama itu pula ia melihat bagaimana para korban mengalami trauma yang luar biasa, bahkan untuk sekadar bertemu orang saja sudah ketakutan.

“Aku bantu dan dekati psikologinya, sambil coba ajak mereka menerima realita hidup,” ungkapnya.

Tak hanya soal medan yang harus ditempuh dan memulihkan trauma korban yang jadi tantangan Orien. Tak jarang, di lokasi tugas, ia mendapat penolakan berujung intimidasi.

“Aku tuh pernah sempat diancam pakai parang juga, loh,” akunya.

Tapi ia mafhum, itulah risiko dari pekerjaannya. Namun, ia selalu berharap, peristiwa semacam itu tak lagi ditemui dalam menjalankan misinya.

Tugas Orien memanglah tidak mudah, apalagi, mental dan psikologis adalah dua hal paling rentan dari tubuh manusia.

Hal ini diakui atasan Orien, Ajun Komisaris Besar Polisi Penri Erison, Kepala Bagian Psikologi Biro SDM Polda Papua. Penri tak segan menyanjung anak buahnya itu.

“Menjalankan tugas sebagai Polisi Psikologi itu bukan perkara mudah. Banyak kesulitan yang harus dihadapi, dan dia (Orien) membuat semuanya seakan-akan menjadi sedikit lebih mudah,” ujar Penri saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat, pekan ini.

Penri melanjutkan, sikap Orien merupakan murni sebuah ketulusan, lebih dari sekadar tugasnya sebagai polisi. “Dia, kalau ketemu anak-anak kecil dan Ibu-Ibu, itu senang sekali, seperti sudah jadi bagian dari keluarga sendiri,” cerita Penri tentang Orien.

Kinerja Orien yang kategori “A plus” ini pun diakui Penri sangat membantu tugasnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab di divisinya.  “Kerjanya dia sangat cepat dan disiplin sekali,” puji Penri.

***

Sejatinya, cita-cita Orien kecil bukanlah menjadi seorang anggota kepolisian. Ia punya mimpi menjadi seorang akademisi, kalau tidak jadi pengusaha. Malahan, setelah dewasa, berbekal paras yang menawan, pernah pula ia berpikir menekuni dunia modeling. Padahal, ia sendiri lahir dari keluarga Korps Bhayangkara.

“Papaku seorang anggota Brimob (Brigade Mobile), dan beliau yang kemudian mengarahkan saya masuk kepolisian,” kenangnya.

Mengikuti saran sang ayah, Orien pun mendafar di Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS), Semarang, Jawa Tengah. “Padahal, di tahun itu, aku punya peluang lanjut pendidikan ke Australia. Tapi karena Papaku juga anggota kepolisian, jadi, ya, arahin aku ikut jejaknya juga,” tuturnya sembari tertawa.

Setelah sekian waktu menjalani tugas sebagai polisi, ia mengaku senang, dan tidak pernah menyesali keputusan itu. Melayani masyarakat di tanah kelahirannya dianggap sebagai sebuah kebanggaan.

Di luar pekerjaannya, Orien juga membentuk komunitas bernama Papua Orbit Indonesia (POIN) yang misinya tak jauh-jauh dari lingkungan tugasnya di kepolisian. POIN adalah sebuah gerakan bantuan layanan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pendampingan psikologis.

Seluruh aktivitasnya di kepolisian mau pun POIN ia bagikan di kanal YouTube bernama Mace Polwan. Ngomong-ngomong soal “Mace Polwan”, ia punya cerita sendiri. Sepengakuannya, nama ini merupakan pemberian dari Tri Suswati, istri dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Papua di tahun 2012-2014.

Nama itu ia dapatkan ketika ia bertugas di Mabes Polri, di mana Tito Karnavian masih menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Gampang ditebak, “Mace Polwan”, oleh Tri Suswati, sebagai terma identitas Orien yang terlahir dan besar di Merauke, Papua, 30 tahun silam. (Ray)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *