JAYAPURA, FP.COM – Ada cerita turun temurun tentang asal muasal nenek moyang orang Lani, bahwa mereka keluar dari suatu tempat atau gua yang bernama Yalugari Ngekokme. Dikisahkan, mereka terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang wanita. Dari tempatnya, mereka membawa peralatan yang berupa alat kerja seperti pak dan bibit ubi, labu dan sejenisnya.
Mereka yang kemudian beranak pinak melahirkan suku Nayak dan suku Lani, yang tersebar di beberapa daerah pegunungan tengah, seperti Lanny Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua, Tolikara, Nduga, Mamberamo Tengah dan lain sebagainya.
Posisi perempuan bagi laki-laki suku Lani
Menurut Dr. Socratez S. Yoman, MA, perempuan Lani identik dengan keberhasilan seorang laki-laki, artinya, ada peran penting perempuan Lani untuk mengangkat martabat seorang laki-laki agar kemudian dinobatkan menjadi seorang pemimpin hebat yang dihormati oleh orang Lani dengan gelar “Ap Nagawan” atau “Ap Ndumma”. Ini sebutan laki-laki sebagai pengayom masyarakat, pelindung rakyat, pembawa damai, penutur kebenaran, keadilan, kasih dan kedamaian.
Perempuan Lani identik dengan pembawa damai. Ketika perempuan Lani tampil di medan perang dan menyatakan perang harus dihentikan, maka perang pun berhenti.
Perempuan Lani ditempatkan dalam ruang kehidupan lebih sentral sebagai sumber kekayaan dan kehidupan. Karena itu, orang Lani selalu menghormati perempuan sebagai roh dari keluarga dan masyarakat.
Perempuan Lani adalah jantung, urat dan darah orang Lani. Disebutkan, di tangan perempuan ada kekayaan dan kehormatan suku Lani dan lebih khusus dalam keluarga. Jangan heran, kalau dalam suku Lani sering terjadi perang besar karena masalah perempuan. Pada umumnya, perang terjadi disebabkan tiga masalah besar, yaitu: tanah, perempuan dan babi.
Laki-laki suku Lani sangat menghormati perempuan secara turun-temurun karena perempuan sebagai pembawa kesuburan. Perempuan juga dianggap sumber air yang harus dijaga, dilindungi dan dipelihara kejernihannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Dalam suku Lani, soal “mas kawin” perempuan, itu sesungguhnya bukan ditujukan untuk membeli atau membayar harga seorang perempuan. Ini pemahaman yang sangat keliru dan disalahartikan orang luar. Orang Lani tidak pernah “bayar atau beli” perempuan.
Beberapa ekor babi yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan itu dengan beberapa tujuan: (1) tanda bahwa perempuan itu sudah tidak muda (nona), dan sudah menjadi milik laki-laki, sehingga tidak ada laki-laki yang melirik atau menggoda gadis itu; (2) tanda membangun hubungan harmonis turun-temurun antara pihak laki-laki dan perempuan supaya terpelihara rasa saling hormat pihak laki-laki dan perempuan; (3) tanda ucapan terima kasih dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, karena kedua orang tua perempuan dan saudara-saudaranya telah memelihara dan membesarkan anak gadis perempuan. Singkat kata, laki-laki minta permisi dengan cara terhormat dan bermartabat untuk menyambut gadis itu sebagai teman hidupnya; (4) untuk menghindari supaya perempuan itu tidak merasa bebas dan tidak ada beban moril karena laki-laki belum atau tidak pernah berterima kasih kepada orang tua dan keluarga yang membesarkan perempuan Lani.
Dalam suku Lani, perempuan dilarang bekerja keras seperti membuat honai, membuat pagar, membuat kebun dan pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Perempuan Lani adalah wanita-wanita mulia dan terhormat dan surga bagi laki-laki suku Lani.
Jadi, jangan pernah marah atau memukul saudara perempuan. Jika terjadi begitu, seluruh keluarga bahkan kampungnya akan marah dan menyerang keluarga laki-laki yang telah meremehkan dan merendahkan harga diri saudara perempuan mereka. Memukul isteri itu bukan nilai hidup orang Lani.
Yang benar, laki-laki Lani sangat menghormarti istrinya sebagai pengganti mamanya dan selayaknya tunduk pada wibawa dan otoritas istrinya. Istri ditempatkan sebagai teman seumur hidup, sahabat dalam suka dan duka. Sekali lagi, istilah bayar mas kawin sebagai harga perempuan Lani adalah anggapan yang sangat menyesatkan
Honai, rumah suku Lani
Rumah suku Lani yang disebut honai, memiliki pola rancang bangun yang jelas untuk tiga fungsi. Rumah honai untuk laki-laki, perempuan dan ternak bersama dapur.
Honai laki-laki diperuntukkan bagi semua laki-laki dewasa dan pemuda untuk berdiskusi, berdemokrasi, berdialog dan berdebat tentang perang antar suku, berbagi pengalaman, dan strategi menjaga keamanan wilayah, menyimpan alat perang dan alat berburu, dan sebagainya.
Rumah honai laki-laki dibagi lagi atas empat fungsi. (1) rumah honai laki-laki yang sakral, hanya ditempati orang-rang tertentu; (2) rumah honai khusus untuk membahas perdamaian; (3) rumah honai khusus untuk membicarakan tentang perang; (4) rumah honai untuk membahas masalah ekonomi dan sosial.
Honai perempuan dikhususkan untuk ibu-ibu, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki yang masih kecil. Dalam rumah honai perempuan ini, proses pendidikan berlangsung secara terus-menerus untuk anak perempuan secara khusus. Seorang ibu selalu mengajarkan hal-hal khusus yang akan dihadapi oleh anak perempuan setelah sudah tiba saatnya untuk menikah atau kawin. Sementara, pendidikan bagi anak laki-laki yang masih kecil sifatnya umum.
Berikutnya, honai untuk kandang ternak dan dapur yang dipergunakanuntuk mengelola hasil kebun seperti ubi dan sayuran untuk konsumsi sekaligus memelihara ternak (umumnya babi).
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan kotoran ternak? Jangan kuatir, Orang Lani sangat piawai mengatur dan “mengajar” peliharaannya. Ketika hendak membuang kotoran, hewan/ternak akan mengeluarkan suara tertentu yang dimengerti oleh tuannya. Hewan ternak akan dilepas dan membuang kotoran di tempat jauh. Setelah mengeluarkan kotoran, ada dua kemungkinan, hewan pulang ke honai atau pergi mencari makan di padang rumput atau hutan.
Salah satu syarat kuat dalam membangun honai yaitu, lokasinya tidak boleh di tempat yang “terlarang”, misalnya rawan longsor, wilayah perkebunan, hutan lindung dan lainnya.
Orang Lani tidak pernah ceroboh, selalu mempertimbangkan secara dalam dan matang tentang berbagai risiko. Bahkan, leluhur dan nenek moyang orang Lani tidak pernah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka mengenal dusun mereka, tanah mereka dan segala-galanya.
Material diambil dari lingkungan sekitar dan menggunakan teknologi dan pengetahuan lokal. Kayu yang merupakan material utama dipilih dari jenis yang berbahan keras. Kayu besi jadi pilihan utama mengingat bahannya yang keras dan dapat bertahan dalam jangka waktu lama.
Bahan lainnya yang juga bersumber dari hutan yaitu jerami (alang-alang) sebagai atap dan rotan untuk pengikat. Bahan lentur (lunak ini) dipakai atas pertimbangan fleksibilitas, tahan terhadap gempa, menghangatkan ruangan sehingga melindungi penghuni dari suhu dingin yang kadang ekstrim.
Rumah honai berbentuk kerucut, dengan ruangan tergolong mini. Umumnya bertinggi 2,5 meter, di tengah ruangan terdapat tungku untuk perapian. Pintu masuk dirancang cukup pendek dan sempit, sehingga untuk masuk ke dalam honai seseorang harus membungkukkan badan.Posisi pintu honai bertepatan dengan arah matahari terbit dan terbenam.
Dinding honai sengaja dibuat dua lapis dari kayu kasar untuk menahan angin dan udara dingin. Pada honai laki-laki terdapat sebuah jendela kecil untuk mengintip tamu ataupun musuh yang memasuki halaman. Sementara, pada honai perempuan sama sekali tidak ada jendela.
Suasana dalam honai remang-remang bahkan gelap. Pada malam hari, hanya diterangi oleh nyala dari perapian.
Tahapan konstruksi pada proses pembangunan honai terdiri atas: (1) tahap pengukuran, pembersihan, perataan tanah. Tahap ini didahului dengan musyawarah antara anggota keluarga dan klan untuk menentukan lokasi. Penentuan diameter honai didasarkan pada ukuran tinggi badan anggota keluarga yang paling tinggi, dikarenakan masyarakat suku Lani tidur dengan tubuh membujur dari dinding dan kaki ke arah perapian (pusat honai); (2) tahap pemasangan tiang-tiang utama dan pembagian lantai atas dan bawah; (3) tahap pekerjaan rangka rumah; (4) tahap penyelesaian akhir.
Konstruksi rumah honai akan dibahas satu persatu detail konstruksi dan karakteristik dari masing-masing elemen. Honai terdiri dari dua lantai, lantai satu digunakan tempat bersantai sekeliling perapian, serta lantai panggung tempat menyimpan barang berharga dan tempat istirahat/ tidur.
Pada umumnya, konstruksi struktur bangunan terdiri dari tiga (3) bagian, yaitu; struktur bawah (sub structure), struktur tengah (middle structure), dan struktur atas (upper structure).
Struktur bawah adalah pondasi dan struktur lain yang berada di bawah permukaan tanah seperti susunan tiang dan sistem ikatan, dan konstruksi lantai.
Struktur tengah adalah bangunan yang terletak di atas permukaan tanah dan di bawah atap. Pada struktur tengah, rumah Honai terdiri dua lantai. Lantai pertama biasanya kamar-kamar dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua tempat beraktivitas: ruang santai dan lain- lain.
Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela bertujuan menahan hawa dingin pegunungan Papua. Tinggi bangunannya sekitar 2,5 meter. Lantai dasar dan lantai satu rumah Honai ini dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu balok.
Para laki-laki tidur di lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu. Terdapat 4 pohon muda berfungsi sebagai kolom penyangga utama diikat di atas dan vertikal ke bawah menancap ke dalam tanah. Pada lantai 1, ruang terbentuk di antara 4 kolom sebagai tempat meletakkan perapian menghangatkan Honai. Lantai Honai dialasi dengan rumput atau jerami yang diganti secara berkala jika sudah rusak atau kotor.
Lantai pertama biasanya dari kamar-kamar dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua tempat beraktifitas: ruang santai dan lain-lain.
Sedangkan struktur atas adalah bangunan terletak memanjang ke atas untuk menopang atap.
Rumah Honai memiliki ciri khas dari bentuk atap melengkung atau dome. Sebelum dilapisi alang-alang di bagian luar, terlebih dahulu bagian dalamnya dipasangi kulit kayu cemara. Ilalang atau alang – alang tak hanya sebagai atap semata, tetapi sekaligus memberikan kehangatan dalam ruangan honai secara keseluruhan. Bentuk atap honai seperti ini dirancang untuk menghindari cuaca dingin ataupun karena tiupan angin yang kencang. Selain itu, atap juga dirancang melindungi permukaan dinding dari air hujan.
Atap ilalang sarat makna, meski terlihat lemah, tapi ilalang sangat tajam. Ini adalah gambaran kekritisan dan akarnya dalam kuat menghujam bumi adalah gambaran atas keyakinan hidup tidak pernah mati. Sehingga ilalang bermakna mandiri, kuat, kritis dan dinamis.
Seperti rumah lain pada umumnya, bagian pelengkap dari rumah honai adalah pagar. Pagar pada rumah honai berfungsi mencegah binatang buas memasuki halaman rumah.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa kehidupan orang Lani tak hanya bermartabat, tetapi juga mengingatkan jika leluhur orang Lani telah memberikan pola hidup terstruktur, sehingga generasi penerus selayaknya menggali dan mengkaji teknologi lokal/tradisional, lalu berupaya melestarikannya di tengah gerusan teknologi modern. (*)
*Artikel ini ditulis oleh Christian Penus Tabuni, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Disunting oleh Redaksi Fokus Papua dari judul asli: Sejarah Perkembangan Kehidupan Suku Lani (Dani) dan Pelestarian Teknologi Lokal Khas Tradisional Papua.
Isi di luar tanggung jawab Redaksi Fokus Papua.