Perhelatan Pekan Olahraga Nasional di Papua membawa berkah tersendiri bagi para pengrajin noken dan aksesoris khas Papua lainnya. Mereka yang biasa mangkal di emperan-emperan toko dan pusat perbelanjaan kini punya “pasar baru”, di sekitaran venue pertandingan olahraga.
Minggu, 30 Oktober lalu, Fokus Papua menyambangi salah satu venue yang cukup mengundang konsentrasi massa yaitu Stadion Mandala Jayapura. Apalagi, hari itu, bertanding tim tuan rumah Papua menghadapi tim Nusa Tenggara Timur untuk cabang olahraga sepak bola.
Di sini, setidak nya ada tiga tenda khusus yang disiapkan pemerintah bagi produk UMKM.
Di antara pedagang itu, ada Mama Yane Nari, dagangannya macam-macam, namun ia punya kerajinan tangan sendiri berbahan baku tempurung kelapa. Di tangannya, benda yang selayaknya jadi sampah itu diolah menjadi hiasan ruang tamu yang artistik, kalung, gelang, asbak rokok, pot bunga hingga tas unik.
Mama Nari mengaku, usahanya itu sudah digeluti sejak lam. Awalnya dikerjakan secara manual, menggunakan peralatan seadanya. Barulah pada 2019 ia mendapatkan bantuan dari salah satu perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara.
“Dulu masih manual, cuma, saya lihat, macam dengan mesin dan manual itu beda, jadi saya menghadap Pertamina.”
Lalu, dari Pertamina kirim saya dari bulan Maret 2019 untuk ikut pelatihan selama tujuh hari ke Jogja, kembali dari Jogja lalu mereka bangunkan saya punya rumah produksi. Satu bulan kemudian mereka datangkan mesin-mesin untuk saya pakai buat bentuk-bentuk dari pot bunga, asbak rokok dan lainnya,” bebernya.
Mama Nari mengaku, lantaran sakit, baru tiga hari dia berjualan di Mandala. Karya-karyanya itu dibandrol tergantung tingkat kesulitan dalam membuatnya. Paling mahal miniatur perahu phinisi, dihargai tiga juta rupiah.
Ia mengaku, selain dijual sendiri, karya-karyanya juga dipamerkan di galeri souvenir Papua binaan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Papua di bilangan Abepura.
Sayangnya, hingga tiga hari berjualan, omzet penjualan Mama Nari belumlah seberapa. Tapi Mama Neri tak hilang akal. Ia juga menjual minuman dingin, pinang, juga kuliner sperti ikan saos dan keladi.
Berbeda cerita dengan Nari, Mama Yohana Douw, yang seorang pengrajin noken. Ia tergabung di dalam sanggar noken Anniya yang besutan Mama Merry Dogopia. Mereka ada sepuluh orang dan tersebar di beberapa venue PON di Kota dan Kabupaten Jayapura.
Sudah seminggu Mama Douw menempati stand di Mandala itu. Sebelum itu, ia berjualan di trotoar di depan kantor Pusat Bank Papua, Kota Jayapura. Selain noken anggrek khas suku Mee yang punya harga tinggi, ia juga merajut ikat kepala dari bulu kasuari, noken kulit kayu dan noken benang bertuliskan PON XX Papua. Mama Douw juga mahir merajut yato, yaitu pakaian perempuan suku Mee yang dirancang tak hanya menutupi badan tetapi juga bagian kepala. Bahannya berupa benang dan kulit kayu. Dari bahan alami itu pula ia membuat anting-anting.
Dalam sehari, pendapatannya tidak menentu, berkisar antara 100 ribu hingga satu juta rupiah. Katanya, yang paling diminati pengunjang adalah noken kulit kayu.
Lilis Hartini, asal Jakarta, mengaku sangat menyukai noken kulit kayu. Sudah dua kali ia mendatangi tempat Mama Douw, berburu ole-ole. Benda-benda itu nantinya akan dibagikan kepada teman-temannya.
“Saya suka banget, apalagi yang etnic-etnic gini, saya suka. PON di sini meriah, Papua mantap,” ujarnya bersemangat.
Di Mandala ini pula mangkal Jumahri, seorang perajin “dompet Papua”. Dompet buatan Jumhari terbuat dari kulit buaya. Ia mendaku, bahan baku kerajinannya diperoleh dari masyarakat di sekitar aliran sungai Mamberamo.
Selain dompet, ia juga memproduksi tas tangan (clutch) pria/wanita, tas pria (briefcase), pouch wallet dan tas wanita (kelly bag).
Tiga hari berjualan, nasib baik belum berpihak padanya. “Produk yang laku baru satu itu, dompet saja,” keluhnya.
Namun, produk Jumhari tidak hanya dijual di tempat ini, ia juga menitipkan karyanya di sejumlah tempat semisal Bandara Sentani juga di kediamannya di bilangan Dok V.
Ia juga mengaku, sebelum ini, ia dan rekan-rekannya mendapat pembekalan dari Pemerintah Kota Jayapura.
Dari stadion Mandala, kami juga mengunjungi venue pertandingan olahraga cabang dayung yang terletak di teluk Youtefa Holtekamp, Kota Jayapura. Di sini, kami menemui Mama Temmy Hababuk. Sebenaranya, Mama Temmy seorang aparatur sipil negara pada salah satu dinas Provinsi Papua, namun, ia memilih mengisi masa liburnya untuk mencari penghasilan tambahan. Ia berjualan anting-anting yang terbuat dari kerang, kotak tissue, sarung botol minum dan sarung handphone dari benang rajut. Ada pula noken berbahan kulit kayu.
Tetapi, Mama Temmy tidaklah berdiri sendiri, ia tergabung dalam kelompok Usaha Kecil Menengah Mikro Ikatan Perempuan Tobati, binaaan pemerintah Kota Jayapura. Direkrut bersama dengan seratusan kelompok UMKM lainnya, mereka menjalani pelatihan selama tiga hari.
Seminggu berjualan, omzet yang didapatkan Mama Temmy tergolong lumayan, berkisar antara satu hingga dua juta rupiah dalam sehari. Katanya, sarung handphone cukup banyak diminati tamu dari luar Papua.
Bahkan, kelompoknya sudah mendapat pesanan khusus dari beberapa kontingen.
“Kami ada dapat request beberapa ukuran noken dari Provinsi Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, dan itu katanya mereka mau kasih ole-ole untuk teman-temannya di sana, juga keluarga mereka,” ujar Mama Temmy.
Bagi yang memesan dalam jumlah banyak itu, Mama Temmy memberi diskon. “Kalau ada yang membeli lebih dari satu, kami kasih kurang harga,” tutupnya. (*)