Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang ramah Gender, Disabilitas, dan Sosial Inklusi (GEDSI) di pedalaman Papua, seperti di Kabupaten Mamberamo Tengah, bukan lagi sekadar gagasan, melainkan sebuah kebutuhan mendesak.
Ini adalah langkah awal yang krusial untuk membangun fondasi pendidikan inklusif yang adil bagi setiap anak. Menyatukan anak-anak laki-laki, perempuan, dan anak berkebutuhan khusus (ABK) sejak dini dalam satu ruang kelas akan menumbuhkan penerimaan terhadap perbedaan, jauh sebelum prasangka tumbuh.
Kisah Mince Kogoya, seorang anak tunanetra berusia lima tahun dari Kobakma, menjadi cerminan nyata dari tantangan ini. Lahir prematur pada 2020, Mince kini menghadapi kenyataan bahwa fasilitas pendidikan khusus (SLB) tidak tersedia di Mamberamo Tengah.
Ayahnya, seorang petani, tak mampu membiayai kepindahan ke Jayapura. Sementara ibunya, Sarce Jigibalon, seorang guru honorer, percaya bahwa hanya pendidikan yang akan membantu Mince mandiri di masa depan. Meskipun lingkungan seringkali menganggap pendidikan untuk anak perempuan, apalagi tunanetra, adalah hal yang sia-sia, semangat Ibu Sarce tetap membara. Ia termotivasi oleh kisah-kisah tokoh seperti Helen Keller, yang berhasil menaklukkan keterbatasannya melalui pendidikan.
Harapan keluarga Kogoya kembali muncul ketika mereka mendengar kabar tentang pembukaan PAUD inklusif di Kobakma, sebuah program kerja sama antara Pemda dan UNICEF sejak tahun 2024. PAUD inklusif ini membuka pintu bagi anak-anak dengan berbagai kondisi, termasuk disabilitas fisik, tuli, dan tunanetra seperti Mince.
Pendidikan Inklusif Sebagai Komitmen Universal
PAUD inklusif adalah pendekatan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai keberagaman sejak dini. Tujuannya adalah membangun empati, pemahaman, dan meningkatkan partisipasi anak-anak disabilitas dalam proses belajar.
Sederhananya, ini adalah PAUD yang membuka akses bagi setiap anak, apapun latar belakang atau kondisinya. Konsep ini sejalan dengan prinsip universal “No one left behind” sebuah komitmen untuk memastikan setiap individu memiliki akses setara terhadap pendidikan.
Mewujudkan pendidikan ramah GEDSI di Kobakma membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak: pemerintah, guru, orang tua, komunitas, tokoh adat, dan gereja. Berdasarkan data dari Kepala Bidang PAUD Kabupaten Mamberamo Tengah, Simon Jinggobalom, saat ini ada 13 PAUD/TK di kabupaten tersebut, dengan tiga di antaranya berada di Distrik Kobakma.
Meskipun data resmi baru mencatat satu kasus disabilitas netra seperti Mince, ada kemungkinan banyak anak lain dengan disabilitas yang masih “disembunyikan” oleh orang tua karena stigma atau ketidakpahaman. Operator PAUD Seprianus mengonfirmasi bahwa data ABK di tingkat PAUD belum tersedia, meskipun di tingkat Sekolah Dasar sudah ada.
Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah melalui Dinas Pendidikan, Bappeda, Dinas Sosial, DP3A, dan Dinas Kesehatan, kini berupaya membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD). Langkah ini penting untuk menjembatani antara kebutuhan anak disabilitas dan ketersediaan layanan.
Jalan Keluar dari Keterbatasan
Tantangan masih ada. Pandangan sebagian orang tua dan lingkungan yang meremehkan pendidikan bagi ABK, serta isu ekonomi, kerap menjadi penghalang. Namun, kehadiran PAUD/TK inklusif, baik negeri maupun swasta, menawarkan solusi konkret bagi keluarga seperti Kogoya di daerah terpencil.
Ini adalah jalan paling mungkin bagi generasi muda Papua dengan disabilitas untuk mendapatkan akses pendidikan sejak dini. Meskipun berat, mewujudkan pendidikan inklusif ramah GEDSI bukanlah sesuatu yang mustahil. Ini sangat mungkin terjadi, jika semua pihak memiliki visi dan komitmen yang sama untuk masa depan anak-anak Papua. (Roby Nyong, Penulis adalah Pegiat Hak-Hak Kaum Disabilitas di Papua)

