JAKARTA,FP.COM- Persoalan pengelolaan hutan seperti jam tangan, terlihat simpel dengan hanya tiga jarum yang berputar, tapi mesin di belakang yang tidak terlihat mata dengan komponen rumit dan kompleks yang menentukan ketika jarum itu bergerak.
Pernyataan ini disampaikan Gubernur Papua Barat, Drs. Dominggus Mandacan, M.Si melalui Wakil Gubernur Mohamad Lakotani,SH,M.Si ketika memberikan sambutan pada pembukaan pertemuan para pihak membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) terkait Dana Alokasi Umum (DAU) mempertimbangkan luasan luas wilayah hutan, di The Sultan Hotel Jakarta, Selasa (30/11/2021).
Ketiga jarum itu, kata Lakotani, mewakili leadership dan SDM yang tangguh, tata kelola yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dan yang terakhir pendanaan yang berkelanjutan. “Semoga komponen ini dapat kita perkuat sebagai salah satu solusi pembangunan kehutanan di provinsi-provinsi dengan tutupan hutan tinggi,” ujarnya.
Dijelaskan, menyusun undang-undang membutuhkan waktu dan pembahasan yang lama. Tantangan besar ini dapat dihadapi dengan bersatu meyakinkan bahwa melindungi dan pemanfaatkan hutan secara berkelanjutan didukung dengan pendanaan yang cukup dan berkelanjutan sehingga undang-undang ini akan memihak kepada keselamatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Mohamad Lakotani berharap, pertemuan ini dapat menghasilkan rumusan langkah-langkah bersama dalam upaya dukungan pendanaan kepada provinsi dan kabupaten berhutan melalui pembahasan RUU HKPD ini.
Adapun tiga tujuan pertemuan membahas RUU HKPD, yaitu pertama, menyampaikan kepada pemerintah aspirasi provinsi dan kabupaten dengan wilayah tutupan hutan tentang masukan untuk perbaikan RUU HKPD berkaitan dengan dana alokasi umum mempertimbangkan luas wilayah tutupan hutan daerah
Kedua, mendengarkan dan mendiskusikan pandangan pemerintah bersama Komisi XI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Komisi IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dan ilmuwan (Badan Riset dan Inovasi Nasional), tentang aspirasi provinsi dan kabupaten dengan wilayah tutupan hutan dari seluruh Indonesia untuk perbaikan DAU dalam RUU HKPD.
Ketiga, menghasilkan rekomendasi dan rencana tindak lanjut bersama untuk RUU HKPD.
Pada saat ini, DPR-RI tengah membahas RUU HKPD yang akan mengatur Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah ke depan, menggantikan pengaturan DAU saat ini. DPR RI akan merevisi UU terkait DAU termasuk merevisi rumusan, cara dan indikator penghitungan kemampuan fiskal, kebutuhan fiskal, dan celah fiskal daerah dalam DAU. RUU HKPD merupakan usulan pemerintah kepada DPR RI. Perampungan RUU HKPD melibatkan DPD RI dalam proses triparti.
Revisi UU HKPD ini adalah kesempatan baik bagi daerah yang memiliki wilayah tutupan hutan, seperti Provinsi Aceh, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat. Juga Kabupaten Kepulauan Mentawai (Sumbar), Pesisir Barat (Lampung), Kutai Barat (Kaltim), Murung Raya (Kalteng), Kapuas Hulu (Kalbar), Morowali (Sulteng), dan Kolaka (Sultra).
DAU dalam UU HKPD nanti berpeluang untuk memenuhi keadilan fiskal dan keadilan ekologis bagi daerah-daerah dengan tutupan hutan. Tentang keadilan fiskal, seperti ditunjukkan di atas, tutupan hutan dalam perhitungan DAU menurunkan ketimpangan fiskal antar daerah (baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota). Terkait keadilan ekologis, ini adalah bentuk pengakuan (recognition) atas sumbangan daerah dengan tutupan hutan bagi kebaikan kita bersama. Dengan DAU yang mempertimbangkan tutupan hutan, pengakuan tersebut dapat diwujudkan dengan menutup celah fiskal daerah-daerah dengan tutupan hutan tersebut melalui peningkatan kemampuan fiskal mereka dalam mengimbangi naiknya kebutuhan fiskal mereka untuk menjaga tutupan hutan.
“ Kalau komitmen kita kuat dan bersama kita dorong, maka bukan hal yang mustahil untuk diterima oleh Pemerintah Pusat. Ini penting, bukan saja dalam hal DAU, tapi juga untuk kelangsungan hidup generasi yang akan datang,” ujar Lakotani.
Sonny Mumbunan, Ph.D dari Research Center for Climate Change University of Indonesia (RCCC-UI) dalam pengantarnya mengakan, ada sejumlah problem yang dihadapi provinsi dan kabupaten dengan luas tutupan hutan, pertama, kemampuan fiskalnya cenderung menurun.
“Jadi semakin luas hutan, kemampuan fiskalnya menurun. Pada saat bersamaan, kebutuhan fiskalnya meningkat, terutama daerah dengan luas tutupan hutan sangat tinggi,” ujarnya.
Problem ketiga, celah fiskalnya melebar. Karena kebutuhan fiskalnya meningkat, sementara kemampuannya menurun. Daerah tidak bisa buka untuk sawit dan batubara misalnya. Ini yang perlu ditangkap untuk DAU ke depan.
Tapi kabar baiknya, lanjut Sonny, kalau tutupan hutan dipertimbangkan dalam DAU. “Ini hail simulasi kami, 100 persen sama dengan yang digunakan Kementerian Keuangan dalam empat-lima tahun, Kemudian kami gunakan data tutupan hutan KHLK, maka setiap penambahan proporsi tutupan hutan, ketimpang fiskal antar daerah, kabupaten/kota maupun provinsi turun. Ini menggunakan indeks Williamson yang biasa digunakan Kementerian Keuangan,” jelasnya.
Setelah pengantar dari Sonny Mumbunan, pertemuan dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan lima narasumber, diantaranya dari Papua Barat yang diwakili Wakil Gubernur Papua Barat, Mohamad Lakotani dan Provinsi Papua yang dwakili Asisten II Bidang Perekonomian dan Kesra Setda Papua mewakili Gubernur Papua, M.Musaad.
Sejumlah pihak yang hadir dalam pertemuan ini antara lain Bupati Tambrauw, Gabriel Asem, SE, M.Si, Gubernur Kalimantan Utara, Bupati Gayo Lues Aceh, Gubernur Aceh di wakili oleh Asisten 1, Wakil Ketua Komisi XI, Dirjen Pembangunan Daerah Kemendagri, Kepala Balitbangda Provinsi Papua Barat, Asisten II Bidang Perekonomian dan Kesra Setda Papua mewakili Gubernur Papua, Staf khusus kementerian keuangan, Bupati Kapuas Hulu di wakili oleh Asisten 2, Bupati Luwu Utara dan Senator Papua Barat, Filep Wamafma dan sejumlah pimpinan LSM nasional.*)