Dalam kehidupan sosial dan adat istiadat masyarakat Enggros, sebuah kampung yang berada di kawasan Teluk Youtefa, hutan bakau (mangrove) dianggap sebagai ibu (mama) yang memberi kehidupan. Dalam bahasa lokal disebut Tonotwiyat. Kerap juga disebut hutan perempuan. Dengan makna itu, mengikuti aturan adat setempat, hutan perempuan tabu dimasuki oleh kaum pria. Jika seorang pria kedapatan masuk ke sana (hutan perempuan), sanksi adat menantinya.
Tradisi ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Enggros hingga kini. Di dalam hutan bakau, para perempuan dapat melakukan aktifitas dengan bebas, mencari hasil laut seperti kerang (bia), ikan, cumi dan lain-lain. Dan ini yang unik: saat beraktifitas itu, mereka tak mengenakan busana. Barangkali, itu juga alasan mengapa hutan bakau terlarang untuk kaum pria.
Tak sekadar mencari bahan makanan, rupanya, para perempuan Enggros juga menjadikan hutan bakau sebagai tempat untuk berdiskusi, berbagi cerita. Hal ini erat kaitannya dengan posisi kaum hawa yang tidak mempunyai hak suara dalam tatanan adat. Seorang perempuan bahkan tidak dibolehkan berteriak, tertawa pun secukupnya. Di kampung ini, ada 15 aturan adat mengikat bagi perempuan, yang menurut tokoh masyarakatnya, Orgenes Meraudje, justru ditujukan demi menjaga kehormatan perempuan.
“Pendidikan kampung itu luar biasa, kamu (perempuan-red) tidak dikasih ruang, perempuan di sini bukan perempuan yang (boleh) teriak-teriak, ketawa-ketawa. Jadi, eksistensi perempuan itu kami jaga sekali, maka di sanalah (hutan bakau) kamu bicara apa saja, adat kasih itu untuk perempuan berdiskusi,” tutur Orgenes Meraudje yang juga mantan Kepala Kampung Enggros.
Konon, hutan bakau di teluk Youtefa, khususnya di dua kampung, Enggros dan Tobati, dulunya sangat luas dan tebal. Saking tebalnya, sebuah sumber mengatakan bahwa matahari baru terlihat di sana pada jam sepuluh pagi ke atas. Sayang, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan, hutan bakau tergerus. Kerusakan diawali pada masa Perang Dunia II, sekitar tahun 40-an, disusul oleh kerusakan akibat massifnya pembangunan yang masih terus berlangsung hingga sekarang.
Fenomena inilah yang menyita keprihatinan seorang srikandi Enggros bernama Petronela Merauje. Keinginan kuat Mama Nela, panggilannya, untuk menyelamatkan “rumahnya” itu muncul sejak tahun 2010 silam. Ia memulainya dengan melibatkan diri pada kegiatan penanaman mangrove yang diinisiasi Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG), besutan seorang aktivis lingkungan bernama Fredy Wanda. Berikutnya, Nela rutin mengikuti kegiatan serupa bersama Komunitas Rumah Bakau Jayapura di kawasan Teluk Youtefa secara swadaya.
Di tahun 2017, Nela berinisiatif menyediakan bibit (anakan) bakau memanfaatkan botol plastik dan ember bekas. Ia menggalang mama-mama lainnya untuk berpartisipasi. Maka terkumpulah 6.000 bibit bakau yang seluruhnya ditanam di kawasan Teluk Youtefa. Setahun berselang, didampingi Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Nela dan kawan-kawan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Ibayauw yang kemudian melaksanakan rehabilitasi hutan seluas 5 hektar di sekitar area hutan perempuan. Di tahun itu juga mereka berupaya menyiapkan puluhan ribu bibit untuk mendukung kegiatan kelompok pemerhati lingkungan lainnya.
Tahun 2023 ini Mama Nela mendapat kabar gembira, dia dinominasikan untuk dianugerahi penghargaan Kalpataru, sebuah penghargaan bergengsi level Nasional untuk seseorang yang dianggap berjasa dalam menyelamatkan lingkungan. Ia dinominasikan untuk kategori pembina lingkungan.
Kategori pembina lingkungan adalah penghargaan yang diberikan kepada pejabat, pengusaha, peneliti, atau tokoh masyarakat yang berhasil dan punya prakarsa untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan memberi pengaruh untuk membangkitkan kesadaran lingkungan serta peran masyarakat guna melestarikan fungsi lingkungan hidup, dan atau berhasil menemukan teknologi baru yang ramah lingkungan.
Mama Nela sendiri mengaku tidak bekerja untuk sebuah penghargaan. Ia bahkan tak pernah membayangkan tentang Kalpataru.
Satu-satunya motivasi dia yakni menjaga warisan leluhur. Jika kemudian namanya masuk bersama nominator lainnya, itu hanyalah bonus dari dedikasinya.
Dalam rangka itu, Sabtu 6 Mei 2023, tim verifikasi dan validasi yang dipimpin Wezia Berkademi datang di Enggros untuk melakukan penilaian atas hasil kerja Mama Nela. Kata Wezia, di tahun 2023, ada sejumlah tokoh yang dinominasikan sebagai penerima penghargaan, salah satunya Petronela Merauje dari Provinsi Papua.
“Kami ke sini bersama tim dalam rangka verifikasi lapangan kepada Mama Nela sebagai salah seorang nominator Kalpataru kategori Pembina,” ujar akademisi dari Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan (PSIL) Universitas Indonesia ini.
“Kami berharap, tidak hanya ada satu Mama Nela tapi ada “Mama Nela” lainnya yang menyelamatkan Hutan Perempuan di Enggros ini. saya yakin Mama Nela tidak bisa sendiri, Mama Nela butuh mama-mama yang lain karena hutan mangrove atau hutan perempuan itu tidak bisa dipeluk oleh Mama Nela sendiri. Maka, harapan kami, semakin luas semakin besar pembinaan yang Mama Nela lakukan, dan kami berharap ada atau tanpa Kalpataru pun ini tetap berjalan.”
“Kehadiran kami di sini membawa harapan, akan tetapi kami tidak dapat menjanjikan apa-apa. Karena semua keputusan itu ada di Dewan Pembina tentunya. Yang dapat kami lakukan hari ini adalah memotret apa yang sudah kami lihat di lapangan,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Kepala UPTD KPHP Kota Jayapura Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Rosella Manobi mengatakan, sejauh ini pihaknya melakukan kolaborasi pada wilayah kerjanya di Kota Jayapura termasuk melakukan reboisasi pada kawasan hutan tak terkecuali hutan perempuan di Teluk Youtefa.
“Semangat Mama Nela mendorong kami untuk terus memberikan dukungan dan pendampingan.”
Rosella mengingatkan masyarakat agar semangat menjaga lingkungan tidak dimotivasi oleh penghargaan.
”Tetapi itu jadi kebutuhan dan impian kita semua, karena kalau lingkungan ini bersih maka kita yang ada tinggal ini akan nyaman untuk bekerja dan melakukan aktivitas. Harapan saya, Ibu Nela dapat menjadi contoh dan motivasi untuk yang lainnya di Tanah Papua” ujar Rosella.
Kepala DLHK Kota Jayapura Dolfina Jece Mano yang turut hadir mengapresiasi Pemerintah Provinsi Papua atas koordinasi yang terjalin dengan pihaknya.
“Walaupun pembinaan selama ini lebih banyak dari KPHP Provinsi namun kami sangat berterima kasih karena kami juga dilibatkan lantaran koordinasi kami yang baik sehingga hal ini akan kami laporkan ke Pejabat Wali Kota supaya beliau mengetahui ada nominasi Kalpataru dari wilayah Kota Jayapura,” katanya.
Dolfina pun mengapresiasi mengapresiasi pencapaian Mama Nela dan kawan kawan dan juga dukungan masyarakat setempat
“Semoga ini bukan saja nominasi tapi dapat menjadi penghargaan Kalpataru untuk Provinsi Papua dan menjadi semangat bagi kita semua masyarakat Kota Jayapura untuk terus berupaya menyelamatkan hutan dan lingkungan tempat kita tinggal dan hidup,” tutupnya. (*)