Sampari Si Cenderawasih

Cover buku cerita Sampari Si Cenderawasih/Istimewa

Pulau Papua memiliki kekayaan alam berupa flora dan fauna endemik. Dari deretan daftar itu, yang paling kesohor tentu saja burung cenderawasih, yang dijuluki burung surga (bird of paradise). Karena keunikan dan keindahannya itu pula, cenderawasih bahkan telah dikenal di Eropa awal tahun 1500-1800-an. Hal ini terungkap dari literatur seperti buku “Birds of Paradise” karya Tim Laman & Ed Scholes.

Laman dan Scholes menulis bahwa kapal Victoria, milik Kerajaan Spanyol, yang telah mengelilingi dunia selama tiga tahun, sekembalinya ke Spanyol membawa burung-burung cenderawasih yang sudah mati dan diawetkan: tanpa kaki dan sayap.

Read More
iklan

Burung cantik ini kemudian dipersembahkan kepada Raja Spanyol sebagai hadiah. Kru Victoria mencatat jika burung itu hasil pemberian Sultan Bacan dari Kepulauan Tidore-Maluku yang merupakan tujuan jalur rempah Spanyol.

Menariknya, dari literatur tua ini, ditemukan bahwa penggunaan kata “paradise” dipakai karena orang-orang Eropa yang diberikan burung ini tidak pernah melihatnya terbang. Malahan, di lingkungan Kerajaan Spanyol, burung cenderawasih disebut tidak mempunyai sayap, tidak terbang kecuali ketika ditiup angin.

Kembali ke Papua, saat ini, persebaran cenderawasih merah berada di sekitar Kepulauan Raja Ampat-Sorong, terutama di daerah Waigeo. Sementara, greater bird of paradise dapat ditemukan di daerah Kepulauan Aru dan sekitar Pegunungan Papua Tengah ke Selatan.

Sayangnya, cenderawasih kini dalam dalam intaian kepunahan akibat perburuan massif. Generasi mendatang boleh jadi hanya mewarisi cerita tentang satwa ini tanpa pernah bisa melihat fisiknya. Beberapa species yang terancam punah seperti cenderawasih kuning besar/greater bird of paradise dan cenderawasih merah/red bird of paradise.

Berangkat dari pemikiran inilah yang kemudian menginspirasi Floranesia Lantang bersama sang suami Michael “Idol” Jakarimilena menulis sebuah buku cerita berjudul Sampari Si Cenderawasih yang diluncurkan pada Oktober 2022 lalu. Buku setebal 32 halaman ini berisikan 12 jenis cenderawasih yang dijadikan karakter dan yang utama adalah cenderawasih merah (Sampari). Kata sang penulis, pada dasarnya, buku ini ditujukan untuk usia pelajar.

Penulis buku, pasangan suami istri Michael Jakarimilena dan Floranesia Lantang/Istimewa

“Saat ini, anak-anak, baik pada level SD-SMA mungkin lebih mengenal jenis-jenis dinosaurus dibandingkan jenis-jenis cenderawasih. Mengapa demikian? Alasannya sederhana, informasi dan gambar-gambar dinosaurus tersedia dalam dalam berbagai bentuk. Kita bisa melihat jenis-jenis dinosaurus dan beragam karakternya di media sosial, TV, mainan, dan bahkan dalam lagu-lagu anak dengan begitu mudah,” tulis Floranesia lewat pesan WhatsApp kepada Redaksi Fokus Papua, Kamis (26/1/23).

“Berbeda dengan dinosaurus, informasi dan jenis-jenis cenderawasih memang masih jarang dijumpai dan diakses dengan mudah oleh anak-anak di Papua. Berangkat dari realita ini, kami pun berpikir bahwa anak-anak perlu dikenalkan dengan jenis-jenis cenderawasih dan satwa endemik Papua,” sambung Flo yang juga pengajar di jurusan Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan.

Alur dalam seri 1 ini mengisahkan perjalanan Sampari (Sam), bersama adiknya bernama Gege (greater bird of paradise) serta teman-temannya yaitu Ogel (vogelkoop bird of paradise) dan bilu (blue bird of paradise). Mereka melakukan petualangan dari hutan sagu (tempat tinggal mereka) menuju hutan matoa (tempat leluhur Sam) untuk mencari buah matoa terbaik. Singkat cerita, perjalanan yang melelahkan itu berbuah pahit dan menyedihkan karena mereka mendapati hutan matoa telah rusak. Sam dan teman-temannya berusaha menghibur diri dengan menabur benih pohon matoa di hutan yang sudah rusak itu.

“Buku ini kami buat agar banyak anak Papua yang mulai mengenal keberagaman species cenderawasih serta satwa lokal Papua. Kearifan lokal Papua dalam unsur budaya juga kami tuangkan sehingga anak- anak dapat mengenal Papua dengan membaca buku ini.”

Salah satu halaman dalam buku: satwa endemik Papua dalam karakter.

“Harapan terbesar kami adalah anak-anak dan ketika mereka sudah dewasa nanti, dapat turut menjaga alam dan melindungi satwa-satwa endemik Papua, terutama burung cenderawasih,” tambah Flo. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *