“Saputangan biru,
Kini basah sudah,
Berpisah lewat pandangan,
Bertemu dalam doa.”
Penggalan lirik di atas, diambil dari tembang berjudul Saputangan Biru yang dipopulerkan oleh grup vokal asal Maluku bernama Nanaku. Tembang ini yang mengantarkan kedua kaki Paulus Waterpauw menuju gerbang keluar Markas Kepolisian Daerah Papua.
Di bawah payung berwarna hitam, Paulus Waterpauw berlindung dari guyuran hujan yang turun tidak begitu deras. Tubuhnya tetap tegap mengucapkan salam perpisahan kepada seluruh anggota kepolisian di jajaran Polda Papua. Meski di luar telinga, ia mendengar lirih para anggotanya menahan tangis.
Kaka Besar, begitu ia akrab disapa, sudah tahu betul kalau hari ini, Senin, 8 Maret 2021, adalah hari terakhirnya berkantor di Kepolisian Daerah Papua sebagai Kapolda. Selayaknya seorang pemimpin ulung, Paulus Waterpauw pamit dengan cara patriotik.
Waterpauw tentu saja sulit untuk menerima perpisahaan ini. Ia kepalang cinta dengan tanah di mana ia dilahirkan. Tetapi, apa boleh buat, ia telah bersumpah untuk selalu setia menjalankan tugas sebagai abdi negara.
Dua tahun terakhir masa bhaktinya sebagai Kapolda Papua membuat Kepala Kepolisian RI menganugerahinya kenaikan satu pangkat dari Inspektur Jenderal Polisi menjadi Komisaris Jenderal Polisi untuk mengisi satu kursi sebagai Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri. Sekaligus menjadikannya sebagai putra Papua pertama yang berhasil meraih bintang tiga di institusi kepolisian.
Paulus Waterpauw lahir di Fakfak, Papua Barat, 57 tahun silam atau lebih tepatnya pada 25 Oktober 1963. Pada tahun 1987, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Akademi Kepolisian dengan pangkat Letnan Dua dan ditempatkan di Polres Surabaya Timur. Tiga tahun pertama bertugas di jajaran Polda Jawa Timur atau lebih tepatnya pada tahun 1990, Waterpauw menerima kenaikan pangkat pertamanya menjadi Letnan Satu.
Pada tahun 1992, berkat keahliannya di bidang intelijen, ia dipercaya menjabat sebagai Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Mojokerto. Setahun bertugas sebagai Kasat Intelkam, pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Ajun Komisaris Polisi.
Sekitar tahun 1996, Waterpauw memutuskan untuk mengikuti pendidikan Dasar Perwira Intelijen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Setahun menimba ilmu di PTIK, Waterpauw diberi tugas sebagai Kepala Satuan Operasi Pusat Komando Pengendalian Operasi Polda Kalimantan Tengah.
Tahun 1998, Waterpauw kembali dianugerahi satu pangkat tambahan menjadi Komisaris Polisi. Menggunakan pangkat Komisaris Polisi, Waterpauw kemudian melanjutkan karir kepolisiannya di Ibu Kota Jakarta dengan bertugas di Mabes Polri dan Polda Metro Jaya.
Pada tahun 2002, tanah kelahiran memanggilnya pulang untuk menduduki jabatan sebagai Kapolres Mimika dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi. Tiga tahun di Mimika, Waterpauw terbang ke Jayapura untuk menjabat sebagai Kapolres Jayapura Kota.
Pangkatnya dinaikkan menjadi Komisaris Besar Polisi setelah pengabdiannya selama kurang lebih empat tahun di Bumi Cenderawasih. Sebelum akhirnya Mabes Polri tertarik untuk kembali memakai jasanya.
Waterpauw sendiri baru mendapat bintang pertamanya di kepolisian sebagai Brigadir Jenderal saat ia menjabat sebagai Wakapolda Papua pada tahun 2011 menemani Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian yang saat ini menjadi Menteri Dalam Negeri.
Tahun 2014, Waterpauw mendapat kehormatan tambahan satu bintang menjadi Inspektur Jenderal dengan menduduki kursi pertama Kapolda Papua Barat. Selanjutnya, Waterpauw ditunjuk sebagai Kapolda Papua di tahun 2015 dan Kapolda Sumatera Utara di tahun 2017, serta bertugas di Mabes Polri di tahun 2018.
Pada tahun 2019, situasi di Papua memanas lantaran kasus rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Demonstrasi hingga berujung kerusuhan seketika pecah di berbagai wilayah di Tanah Papua. Tito Karnavian yang saat itu masih menjabat sebagai Kapolri melakukan rotasi di sejumlah Kepolisian Daerah, salah satunya adalah mengutus Paulus Waterpauw sebagai Kapolda Papua untuk kedua kalinya.
Selain keahliannya di bidang intelijen, Waterpauw memang cukup terkenal sebagai sosok pemimpin kepolisian yang selalu mengandalkan pendekatan secara persuasif dan dialogis. Ia sangat fasih menjalankan perannya sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat.
Sebagai pemegang tongkat komando di wilayah hukum Polda Papua, Waterpauw terlihat selalu berada di lapangan. Ia tak canggung untuk memaksa tubuhnya yang gagah itu kerja keras mengeluarkan keringat lebih banyak lagi karena berjalan kaki hanya untuk memantau situasi keamananan wilayah yang di berada di bawah tanggungjawabnya.
Padahal, ia punya ribuan anak buah yang selalu siap untuk melakukan hal remeh seperti itu, bahkan tanpa diperintah sekalipun. Tetapi, ia memilih untuk melakukannya secara mandiri. Waterpauw seakan menaruh fasilitas mewah yang seharusnya ia nikmati itu di urutan paling bawah.
Waterpauw tahu betul bahwa ia seorang pemimpin; ia seorang Komisaris Jenderal Polisi; ia putra Papua pertama yang mendapat anugerah tiga bintang kepolisian. Tapi lebih jauh daripada itu semua, ia sadar kalau dirinya juga adalah orang biasa yang dengan dada terbuka akan selalu mencintai negara dan seluruh masyarakatnya secara sukarela.
“Semoga sukses!”
Itu adalah pesan penutup paling singkat dari seorang anggota kepolisian berpangkat Komisaris Jenderal. Tapi, mungkin saja, pesan yang singkat itu adalah suluran doa paling panjang dan baik yang keluar dari mulut seorang putra Papua pertama berpangkat Jenderal Bintang Tiga. (Ray)