Setahun Belajar Dalam Jaringan: Problematika dan Efektivitasnya

Ilustrasi. Seorang siswa sekolah sedang mengikuti proses belajar secara online

Pada tahun 1918, dunia mengalami salah satu serangan virus paling mematikan sepanjang sejarah. Disebutkan, kematian akibat virus yang diidentifikasi dengan nama Flu Spanyol ini  mencapai jutaan jiwa dalam empat kali gelombang serangan. Ketika itu, istilah social distancing (pembatasan jarak), isolasi, hingga lock down (karantina wilayah), sudah pupoler diterapkan untuk menekan laju penularan.

Read More
iklan

Kurang lebih seabad kemudian, tahun 2019, masyarakat global kembali digegerkan dengan munculnya virus Corona di Wuhan, China. Virus yang kemudian dikenal dengan sebutan COVID-19 (Corona Virus Diesease 2019) telah menjangkiti ratusan juta orang dan menyebabkan lebih dari 2,4 juta kematian di seluruh dunia per Februari 2021. Sama dengan Flu Spanyol, sebelum hadirnya vaksin, cara yang paling efektif untuk menekan pernularan adalah dengan pembatasan jarak, isolasi, dan karantina wilayah.

Tetapi, COVID-19 tak melulu soal kesehatan, virus ini telah mengubah begitu banyak tatanan kehidupan, tak terkecuali di Indonesia. Ekonomi misalnya; pasar dibatasi jam bukanya, bahkan ada yang harus ditutup sementara. Rumah ibadah pun bernasib sama. Di bidang olahraga, event-event akbar semisal Olimpiade dan Pekan Olahraga Nasional (PON) harus ditunda, liga sepak bola dan cabang lainnya yang digelar tanpa penonton. Perkantoran, baik pemerintah mau pun swasta menerapkan sistem bekerja dari rumah atau dengan cara bergiliran (shift). Maka dikenallah rapat virtual, ibadah online, work form home, dan sebagainya. Jaringan internet sudah barang tentu sebagai kebutuhan pokok.

Di negara kita, Indonesia, sektor pendidikan merupakan salah satu yang merasakan dampak berkepanjangan dari pandemi virus Corona, setidaknya hingga kini. Sebagian besar kampus dan sekolah dipaksa atau terpaksa menerapkan sistem belajar dari rumah demi agar lingkungan pendidikan tidak menjadi klaster penularan.

Sejatinya, belajar secara online bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Ada jenjang pendidikan setingkat perguruan tinggi yang sejak lama menerapkannya. Adapula lembaga kursus dan bimbingan belajar yang menggunakan sistem serupa, lewat jaringan internet, tentu saja.

Namun, bagi warga sekolah, kampus, yang tidak terbiasa dengan model belajar jarak jauh ini tidak semulus yang diharapkan. Fenomena itu kemudian memunculkan semacam kepanikan, kalau tidak mau disebut shock culture (kejutan budaya). Mayoritas tidak siap menjalaninya.Situasi ini tak hanya dialami oleh guru dan siswa, namun juga dirasakan oleh orang tua siswa sendiri.

Harus diakui, masyarakat kita, khsusnya di Papua, masih awam dengan sistem belajar online. Sementara, guru, siswa, dan orang tua siswa dituntut untuk menyesuaikan kondisi ini dalam waktu singkat. Mulai dari harus menyiapkan perangkat semisal gadget/smartphone, atau komputer, lalu kemampuan mengoperasikannya. Singkatnya, melek teknologi jadi hal mutlak. Berkah tersendiri semestinya.

Tapi itu saja tidak cukup. Proses belajar model ini juga menuntut kesiapan finansial dalam hal ketersediaan kuota internet. Mahal tidaknya relative, tergantung keadaan ekonomi per individu. Untung saja, untuk yang satu ini, Pemerintah Pusat lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya kebijakan bagus. Pemerintah menyiapkan paket bantuan kuota internet bagi para pelajar dan mahasiswa (35 giga byte/bulan) dan kepada guru dan dosen (42 giga byte/bulan).

Persoalan tidak berhenti di situ. Pada kenyataannya, dari keterangan beberapa siswa, tidak semua dari mereka berhasil menerima bantuan tersebut. Alasannya beragam; nomor teleponnya tidak terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), hingga tidak tahu cara mengakses bantuan tersebut.

Masalah berikutnya, belum semua wilayah di Papua terjangkau jaringan internet. Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua pada akhir 2020 lalu merilis data; baru 34 persen wilayah berjuluk Bumi Cenderawasih ini yang memanfaatkan bantuan kuota internet dari pemerintah.

Angka riilnya, dari target 600 ribu pengguna, baru dinikmati oleh 157 ribu orang yang terdiri dari siswa, mahasiswa, guru dan dosen. Jika dipersentasekan, total pengguna barulah di kisaran 25 persen. Sebarannya pun tidak merata, mayoritas di daerah pesisir dan ibu kota masing-masing kabupaten.

Di balik kesenjangan itu, patut diapresiasi, beberapa wilayah pedalaman yang tidak terjangkau jaringan internet memanfaatkan sarana radio sebagai media pembelajaran, yakni Pro 2 Radio Republik Indonesia (RRI) dan Komunitas RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Tak ada radio, maka ada yang memilih menyelenggarakan kegiatan belajar tatap muka, di mana siswa masuk kelas secara bergantian.

Di perkotaan, seperti Jayapura, yang notebene telah terjangkau jaringan internet, pun tak luput dari problematika. Sekalipun pilihan aplikasi belajar cukup banyak dengan seabarek tawaran fasilitas menarik, namun acapkali kualitas jaringan internet yang tidak stabil mengganggu jalannya proses belajar mengajar. Padahal, sejak April 2020, Telkomsel sebagai penyedia layanan internet yang paling diminati di Papua telah menyiapkan kuota 100 tera byte demi mengantisipasi lonjakan trafik. Begitu pun untuk pelanggan IndieHome, Telkom memberikan tambahan kuota gratis 30 giga byte untuk mendukung proses belajar jarak jauh.

Terhentinya proses belajar bagi pemakai IndieHome juga sangat tergantung ketersediaan pasokan listrik. Bukan rahasia lagi jika pemadaman listrik masih sering terjadi, sekali pun tidak sesering masa lampau dan durasi yang lebih singkat. Di samping berupaya menjaga kehandalan, Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menunjukkan dukungan terhadap kegiatan belajar jarak jauh ini dengan bantuan stimulus kepada masyarakat tidak mampu, lewat penggratisan kepada meter 450 VA dan  subsidi bagi pelanggan meter 900 VA. Ada 121.394 pelanggan PLN di Papua dan Papua Barat yang menerima bantuan ini.

Penulis juga mencoba menggali informasi dari rekan guru dan juga siswa tentang pengalaman belajar dan mengajar di masa pandemi. Tanggapannya hampir seragam; lambatnya jaringan internet berikut keterbatasan kuota belajar, pemadaman listrik.

Namun, para guru punya masalah lebih kompleks dari soal di atas. Dengan belajar online, para tenaga pendidik ini merasa kesulitan mengenal karakter setiap siswa, terutama siswa baru. Begitu pun saat proses belajar mengajar berlangsung, aktivitas siswa tidak dapat terpantau, apalagi jika tidak menggunakan fasilitas audio visual dari aplikasi belajar.

Bukan itu saja, menurut pendapat dari beberapa orang guru, dalam belajar online,  sangat sulit untuk mengukur kemampuan setiap siswa secara objektif, apalagi yang kurang aktif (pasif). Misalnya, dalam sesi kuis, tidak ada garansi jawaban yang dilontarkan merupakan buah pikiran sendiri.

Tingkat kehadiran siswa juga menurun dibanding kelas tatap muka, hanya mencapai 75 persen per pertemuan. Juga, para guru tak bisa menerapkan punishment (hukuman) kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas, maupun yang terlambat “masuk kelas”.

Khusus pada mata pelajaran eksakta, seperti matematika, durasi belajar dianggap terlalu singkat. Sementara, untuk menyelesaikan sebuah soal perhitungan, membutuhkan waktu yang panjang, tergantung tingkat kesulitannya. Di sini, guru juga tidak maksimal dalam menjelaskan sebuah proses penyelesaian soal.

Namun, tak semua hal bersifat minus. Nyatanya, beberapa guru mata pelajaran noneksakta, justru meyukai menggunakan aplikasi belajar. Katanya, mereka bisa lebih kreatif dalam menyampaikan materi bidang studi lewat video yang diunggah, maupun referensi lewat tautan internet.

Pengalaman pribadi penulis sebagai salah seorang wali kelas, dari hasil evaluasi dua semester terakhir ditemui bahwa ada kecenderungan penurunan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) pada siswa sekitar 15 persen dari jumlah rata–rata 30 orang per rombel kelas.

Lalu bagaimana dengan orang tua siswa? Keluhan paling banyak justru dialami mereka yang anaknya berada di jenjang Sekolah Dasar (SD). Persoalan yang kurang lebih sama. Tambahannya, ada pada beban orang tua di rumah. Tidak seperti siswa SMA dan SMP yang lebih mandiri dalam belajar, siswa SD wajib didampingi orang tua kala belajar. Orang tua berperan untuk membantu mengoperasikan komputer/gadget atau bahkan lebih jauh lagi, bertugas sebagai “guru bantu”.

Orang tua siswa yang berlatar pendidikan memadai tentu tidak ada masalah. Tapi, bagi mereka (orang tua) yang awam dengan teknologi, dan berpendidikan rendah, tak dapat berbuat banyak untuk membantu anaknya. Ketika orang tua yang dimaksud mendampingi anaknya belajar, mereka kerap dipusingkan dengan tugas anak, terutama pada mata pelajaran yang membutuhkan kemampuan khusus seperti bahasa Inggris, komputer, atau matematika. Praktis, perannya sebagai “guru bantu” tidak berjalan.

Aktivitas orang tua mendampingi anak di rumah juga otomatis berdampak ekonomi. Banyak dari mereka yang terpaksa meninggalkan pekerjaan, atau sekadar melalaikan tugas, demi pendidikan buah hatinya. Ada pula kasus yang ditemui, di mana orang tua “masa bodoh”; semua tugas (pekerjaan rumah) anak dari sekolah diambil alih. Dengan begitu, nilai yang dihasilkan tidak menggambarkan kemampuan sang siswa sendiri (semu).

Itulah gambaran sekilas situasi dan kondisi belajar secara online yang dialami sendiri oleh penulis, rekan guru, dan siswa, serta orang tua murid. Namun, perlu diingat, bahwa berhubung nara sumber yang dipakai penulis sangat terbatas (hanya beberapa orang), maka tidak dapat menjadi gambaran umum kenyataan yang dialami oleh semua pihak yang menjalani proses belajar dan mengajar dalam jaringan di Papua. Besar kemungkinan, di tempat lain, mereka punya pengalaman berbeda, dan akan lebih baik jika dituangkan dalam karya tulis sebagai tambahan referensi untuk menciptakan sistem belajar jarak jauh dalam jaringan yang lebih baik dan efektif, setara dengan metode konvensional (tatap muka). Karena, bukan tidak mungkin, seturut perkembangan zaman dan teknologi, model belajar dalam jaringan akan lebih popular digunakan di masa mendatang, sekali pun kita tidak lagi berada dalam masa pandemi. (Natalia)

Penulis adalah Guru Bidang Studi Sejarah SMA Negeri 5 Angkasa, Kota Jayapura, Provinsi Papua

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *