JAYAPURA, FP.COM – Pendirian Sekolah Tinggi Teologi Baptis Papua tak bisa dilepaskan dari lahirnya surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 77 dan 79 tahun 1978. SKB itu dengan terang mengatur pembatasan misionaris asing di Indonesia. Papua, kala itu masih bernama Irian Jaya, kena getahnya. Saat itu, ada kurang lebih 600 misionaris asing yang sedang menjalankan misi penginjilan di Bumi Cenderawasih, terbanyak dari seluruh pulau di Indonesia.
Praktis, situasi ini menjadi pergumulan semua denominasi gereja di Indonesia, tak terkecuali Gereja Baptis Irian Jaya (GBIJ) yang kini bernama Persekutuan Gereja Baptis Papua (PGBP). PGBP yang ketika itu baru berumur 13 tahun jelas masih sangat membutuhkan kehadiran misionaris asing mengingat sumber daya manusia lokal sangat terbatas untuk melanjutkan misi pelayanan.
Rencana Tuhan selalu indah. Justru, dengan berlakunya SKB tersebut, para tokoh baptis kemudian mulai berpikir untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan theologia.
Wacana untuk merealisasikan hal tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan antara Badan Pengurus Sinode GBIJ, badan pengurus wilayah-wilayah, dan Badan Pengurus Yayasan Pelayanan Baptis Irian Jaya (YAPELBAPIRJA).
Usulan mendirikan perguruan tinggi kemudian disetujui dalam pertemuan yang dihadiri sejumlah badan pengurus wilayah, dewan gereja dan utusan Australian Baptist Missionary Society (ABMS).
Pada malam 14 Februari 1979, ketika orang di belahan dunia lain sedang merayakan Valentine (hari kasih sayang), di Tiom, Lanny Jaya, sebuah peristiwa bersejarah tertoreh dengan dicanangkannya pendirian Institut Theologia Baptis (I.Th.B) Irian Jaya. I.Th.B mengambil motto yang diambil dari kitab Injil Efesus 4:12; “Untuk Memperlengkapi Orang-orang Kudus bagi Pekerjaan Pelayanan, bagi Pembangunan Tubuh Kristus”.
Dua intelektual Gereja Baptis, Pendeta Joseph I. Karetji dan R.D.F. Pangendahen, kemudian menyusun kurikulum sederhana dan anggaran dasar. Karetji yang juga Ketua BPP YAPELBAPIRJA didaulat menjadi rektor pertama I.Th.B sekaligus pengajar. Karteji dan Pangendahen dibantu oleh beberapa utusan Injil ABMS seperti Sharon Martin, David Groves, dan lain-lain. Belakangan nama David Groves diabadikan pada gedung perkuliahan.
Di awal, program studi diberikan dalam bentuk program kilat (crash programe). Masa studi dirancang 6 tahun yang terdiri dari pelajaran teori (2 tahun), praktek pelayanan (2 tahun), dan 2 tahun terakhir untuk penyelesaian studi. Kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan saat itu dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pelayanan di jemaat.
Kegiatan belajar I.Th.B dilaksanakan di Tiom hingga akhir Juli 1980 sebelum dipindahkan ke jalan Jeruk Nipis, Kotaraja, Jayapura. Kampus baru di Jayapura dibangun sederhana dengan konsep ramah lingkungan. Inilah yang kemudian mengilhami julukan “Kampus Hijau” bagi STTB Papua.
Tahun 1995, sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Teologia Baptis (STTB) Papua. Nama baru ini digunakan untuk menyesuaikan statusnya menurut aturan undang-undang dan sistem pendidikan nasional serta peraturan pemerintah RI tentang perguruan tinggi.
Setelah J.I. Karetji, dua dosen STTB, R.D.F. Pangendahen dan Carolis Huwae yang telah menjalani pendidikan di luar negeri berturut turut memimpin sekolah ini.
***
Tak berlebihan jika menyebut STT Baptis Papua lahir lewat aksi nekat. Mendirikan sekolah selevel perguruan tinggi kala itu bukanlah pekerjaan mudah.
“Bisa dibayangkan, Gereja Baptis Papua saat itu baru berusia 13 tahun, di mana sebagian besar berada di pedalaman, lingkungan sangat terbatas, minim informasi. Belum lagi tenaga pengajar yang juga belum memadai. Kami berjuang dengan segala keterbatasan. Sekolah ini sudah berjalan sejak Februari 1979, padahal belum ada gedung, belum ada dosen, belum ada anggaran dasar,” beber R.D.F. Pangendahen yang diwawancarai pada Dies Natalis ke 36 STTB tahun 2014 silam.
Belum lagi soal biaya. Sewaktu diputuskan untuk memindahkan kampusnya ke Kotaraja Jayapura, masalah muncul, tak ada uang untuk membeli lahan.
“Ketika itu (tanah) harganya 6.000.000 rupiah, dan itu jumlah cukup besar. Kami tak punya uang sebesar itu,” kenang Pangendahen.
Agustus tahun 1984, ketika R..D.F. Pangendahen diangkat sebagai Ketua Institut Theologia Baptis Papua menggantikan Pendeta J.I. Karetji, dimulailah program studi secara regular disesuaikan dengan program pendidikan theologi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama Republik Indonesia melalui standar kurikulum minimal yaitu program Diploma Teologia (80 sks), Sarjana Muda Theologia (120 sks). Selanjutnya dikembangkan Program Sarjana Theologia dengan 160 sks.
Tahun 1986, STTB mengukir sejarahnya dengan terlaksananya wisuda perdana yang menandai lahirnya alumnus pertama kampus ini. Dari 12 mahasiswa pertama, ada empat orang yang diwisuda. Salah satunya Nick Yigibalom, ayah dari Bupati Lanny Jaya saat ini, Befa Yigibalom.
Waktu berjalan, usia STT Baptis sudah menginjak 42 tahun, semakin berkembang, bahkan telah menyelenggarakan program pasca sarjana. Tak hanya dari kalangan Gereja Baptis, sejumlah denominasi lain juga mempercayakan kadernya dibina di kampus ini. JPatading
Syalom berita ini sangat baik maka terus update informasi baru,saya berharap lebih banyak
Siap Kakak. Terima kasih