Dengan cara dipapah, seorang pria paruh baya berjalan memasuki lapangan Swakarsa siang itu. Ia lalu didudukkan di atas lembaran daun sagu. Tubuhnya ringkih, lemas. Konon, pria ini mengalami penyakit nonmedis, diganggu roh leluhur. Ia hendak menjalani ritual penyembuhan.
Langit Arso yang tadinya cerah tiba-tiba mendung, tak lama kemudian gerimis pun turun. Petir menggelegar tepat ketika empat pasang penari (laki-laki dan permpuan) memasuki tengah lapangan.
Penari-penari itu membawa noken berukuran besar, digantung pada bagian belakang kepala. Wajah, pergelangan tangan dan kaki mereka ditutupi dedaunan sejenis tanaman puring (Croton). Penari paling depan membawa yii, seruling tradisional suku-suku Keerom Sementara, yang berada di bagian belakang juga dengan kostum serupa, namun menggenggam busur dan anak panah.
Tak lama setelahnya, 12 pasang penari dengan kostum yang tak kalah unik memasuki lapangan. Bagian tubuh dari lutut hingga wajah ditutupi daun sagu dan kain. Sebuah mata kalung dari buah berwarna oranye menggantung di leher masing-masing, sekilas mirip sunkist. Tapi itu bukanlah sunkist, buah itu bernama yamula, banyak tumbuh di belantara Keerom.
Baca Juga : Melihat Surga Tersembunyi di Balik Lebatnya Hutan Sawe Suma https://fokuspapua.com/melihat-surga-tersembunyi-di-balik-lebatnya-hutan-sawe-suma/
Masih tentang aksesoris penari. Tangan dan kaki mereka diberi warna, kepala diberi hiasan menjulang, tingginya semeter lebih, di ujungnya menjuntai bulu cenderawasih, kakatua, kasuari, dan nuri. Benar-benar unik sekaligus rumit dijelaskan dengan kata-kata.
Tak ada musik pengiring, hanya ada suara hentakan kaki dan gemerincing yang dihasilkan oleh aksesoris mereka. Suasana sakral terasa menyelimuti seantero lokasi pertunjukan, cenderung menegangkan.
Hujan tak mengganggu jalannya ritual. Seseorang dari mereka yang bertindak sebagai tabib memukul-mukul tubuh si sakit dengan dedaunan. Sang tabib yang belakangan diidentifikasi sebagai kepala suku membaluri tubuh si sakit dengan tanah, penutup ritual.
Usai ritual, para penari membentuk formasi baru di mana setiap perempuan mengekor dan memegangi seutas tali yang terikat di belakang kepala penari laki-laki. Lagi, mereka menari dengan suara hentakan kaki, kali ini diiringi merdunya tiupan seruling yii.
Ini adalah tarian Kepala Panjang, dibawakan oleh suku Dra dari distrik Yaffi, dan merupakan bagian dari Festival Budaya Keerom ke VIII yang berlangsung selama tiga hari (24-26 November 2023) di lapangan Swakarsa, Arso.
Tidak semata oleh suku Dra, tarian ini menyebar di beberapa suku di perbatasan Keerom-Papua Nugini (PNG).
“Jenis tarian ini adalah tarian tipe masyarakat perbatasan sampai Papua Nugini,” kata Bupati Keerom Piter Gusbager usai pertunjukan, Kamis (24/11/23).
“We have similar type of traditional dance, not the same but similar. Ini rata-rata sama dengan Papua Nugini (Pasifik) sampai di sini masih satu akar budaya,” lanjut Gusbager menjelaskan kepada Mr. Geoffrey L. Wiri, Konsul Jenderal PNG, tamu kehormatan di festival tersebut.
Gusbager menambahkan, tarian ini tidak sembarang digelar, hanya pada saat-saat tertentu karena kental dengan nuansa mistik.
“Tarian jenis seperti ini di beberapa distrik part of mystical symbolism. Itulah sebabnya jarang keluar sembarangan. Tadi begitu mereka mau keluar, kan ada petir.”
Tidak sekadar ritual pengobatan, tarian ini punya filosofi: symbol perdamaian dan kesetaraan gender.
“Di sini kita bisa lihat adanya gender equality, penari pria dan wanita bersama-sama dalam tarian,” tambahnya.
Tamu istimewa lainnya, Direktur Musik, Film dan Animasi Kemenparekraf /Barekraf Republik Indonesia, Mohammad Amin, mengaku takjub dan terpukau atas pentas tarian kepala panjang.
“Bisa dilihat contohnya seperti tadi (tarian kepala panjang-red), Ini adalah salah satu kekayaan budaya kita yang belum keluar ya, saya kok baru lihat sekarang. Bayangkan kalau tarian ini tampil di Istana Negara, ini sih benar-benar luar biasa,” puji Amin. (*)
Baca Juga : JDF dan Phokouw Faa: Sebuah Cerita Membuminya Kerajinan Batik di Papua https://fokuspapua.com/jdf-dan-phokouw-faa-sebuah-cerita-membuminya-kerajinan-batik-di-papua/