Taman Mesran. Bagi generasi kelahiran tahun 2000-an ke bawah di Jayapura tentu tahu persis seperti apa kehidupan dunia malam di taman ini dulu. Taman ini pernah identik dengan para waria (wanita pria) yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial, istilah yang belakangan bersalin nama menjadi PSP (pekerja seks perempuan).
Saban sore beranjak malam, lampu taman yang menyala remang menandai keberadaan puluhan waria di taman legendaris yang terletak di jantung Kota Jayapura itu. Namun, di waktu-waktu demikian, mereka baru sekadar mangkal, bersenda gurau sembari menghabiskan berbatang-batang rokok. Transaksi seksual barulah dimulai di saat kehidupan kota telah redup. Dengan dandanan mencolok, mereka berdiri berjejer di pinggir jalan, menggoda lelaki hidung belang yang lalang.
Adalah Lolita, waria yang kini mengelola sebuah salon kecantikan di bilangan Waena, Jayapura, terang-terangan mengaku sebagai alumni Taman Mesran. Kurang lebih empat tahun ia bertualang di sana, dari 2006 hingga 2010.
Lolita tak memungkiri, alasan ia dan teman-temannya terjun ke dunia kelam ini semata demi memenuhi kebutuhan finansial. Penghasilan yang mereka peroleh juga lumayan. Rupanya, era itu, pekerja seks perempuan di jalanan masih jarang dijumpai di Jayapura.
Tarif yang dipatok para waria bervariasi, tergantung kesepakatan layanan.
“Ada standarnya, oral berapa, anal berapa, ada persetujuan. Ada fantasi-fantasi lain, itu juga ada tarifnya. Kompleks di lapangan,” ungkap Lolita.
“Secara keuangan, kami pekerja seks waria dapat untung besar saat itu secara offline.”
Belakangan, ada waria yang memasang tarif mahal setelah menjalani operasi kecantikan dan sebagainya.
“Karena ada yang operasi ke Thailand, jadi harga mereka sudah jutaan, bukan ratusan (ribu) lagi.”
Tahun 2011, situasi berubah, saat Pemerintah Kota Jayapura mengubah kawasan Taman Mesran menjadi ruang terbuka hijau. Dunia esek-esek di sana perlahan menghilang.
“Terakhir, kita sudah tidak ada tempat untuk “kontak fisik”, itu pele (tutup) pakai kain di Mesran,” kenang Lolita dengan senyum dikulum.
Kemajuan teknologi ketika itu cukup menolong Lolita dan kawan-kawan. Mereka tak lagi harus mangkal atau berjejer di jalan. Dengan gadget, mereka tetap bisa menawarkan jasanya.
“Akhir 2011, setelah sudah ada pembangunan di Mesran sehingga teman-teman ini sudah berpencar. Ada juga yang sudah meninggal. Angkatan saya banyak yang sudah meninggal. Offline masih sampai sekarang, ada beberapa teman-teman tapi kebanyakan itu yang sudah online.”
Hal ini diamini Mila (nama samaran) yang dihubungi Fokus Papua atas bantuan Lolita. Berbeda dengan Lolita, Mila tidak mau terbuka. Ia bahkan menolak bertemu langsung dengan kru Fokus Papua. “Lewat telepon saja, ya,” tulisnya lewat pesan singkat.
Mila mendaku, saat ini, ia masih bergelut dengan dunia lamanya sekali pun sudah bekerja di salon. Ia “berjualan” secara online dan offline.
Sekilas, kehidupan para waria ini tampak glamour, tak punya banyak masalah hidup. Padahal, di balik profesinya itu, mereka kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
“Orang cuma tahu laki-laki dan perempuan. Ketika ada sesuatu di luar itu, ya yang sering terjadi, kita diteriakin batang, bambu, bencong dilempari botol air kencing,” ujar Lolita dengan nada sedih.
“Di dunia malam, mereka (masyarakat) menganggap sampah lebih berharga dari kami. Sesuatu yang memang harus diganggu. Kita mau bikin baik model apapun tetap akan salah di mata masyarakat. Punya kemampuan sampai setinggi apapun, kau waria, bukan siapa-siapa,” sambung mantan ketua Rojali (Rombongan Jayapura Peduli) ini.
Stigma yang para waria alami tak hanya dari luar namun juga dari dalam. Ada banyak rekannya yang kurang menerima dirinya sendiri.
“Itu bertolak dari teman-teman belum menerima diri. Saya perempuan tapi berbatang, saya terjebak dalam dunia laki-laki. Akhirnya dia menstigma dirinya.”
Lalu, apakah hidup mereka hanya sebatas seks dan materi? Tidak! Mila misalnya, meskipun masih aktif sebagai PSP, ia juga terlibat di komunitas Iwaja (Ikatan Warna-Warni Jayapura). Seperti halnya Rojali, Iwaja adalah organisasi yang menaungi transpuan atau waria di Kota Jayapura.
Beberapa dari waria juga bergaul dekat dengan anak-anak jalanan, hingga mereka mendapat panggilan “bunda”. Waria-waria itu menjadi orang tua asuh anak-anak terlantar, aibon. atau apapun namanya, yang banyak berkeliaran di sudut-sudut kota.
“Kami coba menjadi teman mereka (anak-anak jalanan) atau sering kami disebut bunda bagi mereka. Hal-hal kecil coba kami lakukan di masyarakat itu untuk mengurangi stigma dan diskriminasi. Kami bukan kelompok marginal, tapi kami termarginalkan oleh konsep orang.”
Komunitas Rojali sering pula mengadakan aksi bersih-bersih di kawasan pantai dan kali yang ada di Kota Jayapura. Lewat aksi-aksi itu, selain bentuk kepedulian terhadap lingkungan, mereka ingin menggugah kesadaran masyarakat akan pandangan negatif terhadap waria. Di dua komunitas tersebut (Rojali dan Iwaja), lewat bantuan pemerintah, para waria mendapatkan edukasi kesehatan. Dampaknya cukup signifikan, diskriminasi secara verbal terhadap mereka berkurang.
“Kita ajarkan ke teman-teman komunitas bagaimana bermedia sosial. Teman-teman waria itu dari dulu punya solidaritas yang cukup tinggi karena meninggal, sakit, tidak ada orang yang lihat, kita yang urus diri kita sendiri.”
Lolita sadar, kesempatan hidup yang diberikan Tuhan baginya harus bermanfaat bagi banyak orang. Lolita yang kini fokus dengan usahanya punya mimpi mendedikasikan sisa hidupnya bagi anak-anak Papua.
“Saya bermimpi sekali untuk bisa mengajar di pedalaman Papua,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, Aura, Ketua Rojali Kota Jayapura mengatakan, saat ini komunitasnya beranggotakan 17 orang. Rojali memiliki beberapa program yang sudah dijalankan dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan keterampilan para anggota.
“Kami berupaya untuk selalu membuat program kerja agar komunitas bisa lebih berdaya, mandiri dan kreatif.”
Program yang dimaksud seperti pelatihan komputer, sexual orientation, gender identity, expression, sex characteristic (sogiesc), pelatihan manajemen, keamanan digital dan beberapa kegiatan lingkungan serta diskusi penguatan bagi keberlanjutan organisasi.
Aura dan anggotanya bersyukur, sekalipun tidak sering, namun masih ada kegiatan pemerintah yang melibatkan anggotanya.
Pendeta Ester Wanda, seorang rohaniawan yang sudah lama terlibat dalam aktivitas sosial, mendaku cukup mengenal komunitas Rojali dan Iwaja.
“Dari dulu saya sudah tahu, saya sudah kenal, mereka itu komunitas yang sangat bertanggung jawab dan membantu pemerintah menjalankan program peduli HIV-AIDS. Mereka ada di dalam pertemuan, mereka bicara tentang HIV agar jangan sampai ada yang terinfeksi dan lain sebagainya,” ungkap Ester.
Ia lalu menyindir oknum-oknum pejabat, tokoh agama dan sebagainya yang sama sekali apatis dengan HIV-AIDS.
“Kita yang sekolah hebat, yang pintar, yang punya kedudukan, jabatan, apa yang kita lakukan untuk kepedulian kita menangani HIV di tanah Papua?.”
Ester Wanda juga tahu persis bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami kaum waria, khususnya yang berprofesi sebagai pekerja seks. Bahkan itu datang dari kalangan religius.
“Pihak agama melihat bahwa ini adalah dosa yang paling besar, namun kapan kita memberikan jalan keluar, memberi solusi, memberi pembinaan dan juga memberikan kepada mereka pengertian-pengertian secara rohani. Kita buat terlalu banyak gedung gereja yang mewah, tetapi manusia banyak yang kita biarkan. Kita hanya lihat orang-orang baik saja.”
Masih menurut Ester Wanda, diskriminasi juga dialami waria di mana mereka kurang diberikan ruang dan waktu untuk bicara.
“Tidak ada komunikasi antara pemerintah setempat, rohaniawan atau gereja untuk duduk bersama dengan komunitas ini sehingga terjadilah diskriminasi,” sambungnya.
Selayaknya, kata Ester, semua pihak harus duduk bersama, termasuk komunitas waria. Biarkan mereka (waria) mengungkapkan persoalan hidupnya, lalu dicarikan solusi, adakan pembinaan.
“Hal-hal prinsip apa yang mereka harus lakukan di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka merasa diterima masyarakat,” jelasnya. (Ai)
1 comment