SENTANI,FP.COM – Krisis sampah makanan menjadi isu global yang semakin mendesak, tak terkecuali di Kabupaten Jayapura. Data dari Sistem Informasi hingga Nasional yang dikeluarkan oleh KLHK menunjukkan bahwa jumlah sampah dari kategori sampah organik atau sisa makanan merupakan yang tertinggi, mencapai sekitar 40 persen untuk Kabupaten Jayapura. Angka ini berada di atas rata-rata nasional sekitar 39 atau 38 persen.
“Tanpa kita sadari, sampah organik atau sisa makanan ini yang seharusnya kita tangani selain sampah plastik,” ujar William Iwanggin, Act Project Leader Papua Selatan kepada awak Fokus Papua, (13/2) saat ditemui di kantor WWF program Papua.
“Ini adalah informasi baru bagi pemerintah daerah tentang bagaimana menangani sampah organik dari tiap rumah tangga, sektor swasta, atau komunitas, hingga bagaimana cara pengelolaannya secara baik sehingga tidak merugikan salah satu pihak.”
Lebih lanjut, Iwanggin menekankan pentingnya program GMH ini bagi perubahan iklim di Papua. “Sampah organik atau sisa makanan adalah salah satu penyumbang gas metan. Gas metan ini salah satu juga yang menyumbang terjadinya pemanasan global termasuk efek gas rumah kaca,” ungkapnya.
WWF melalui program GMH menawarkan solusi inovatif melalui biokonversi lalat BSF (Black Soldier Fly). Metode ini memanfaatkan larva magot lalat BSF untuk mengolah sampah organik menjadi kompos dan pakan ternak. “Perbandingan kecepatannya melalui lalat BSF ini bisa 20 kali lebih cepat dibandingkan pengomposan, jadi jauh lebih efisien dan jauh lebih cepat,” jelas Doni Kristiawan, fasilitator pengelolaan sampah project WWF-GMH ( Global Methane Hub ).
Lalat BSF dewasa akan bertelur di media yang lembab dan kaya akan bahan organik. Telur-telur ini kemudian menetas menjadi larva atau magot dalam waktu sekitar 4-5 hari. Magot ini kemudian diberi pakan berupa sampah organik yang telah dikumpulkan.
Magot BSF sangat memiliki nafsu makan yang tinggi pada tahap pertumbuhan dan mampu mengurai hingga 80 persen sampah organik yang diberikan. Hasil dari penguraian sampah organik oleh magot menghasilkan kasgot (kompos) yang dapat digunakan sebagai pupuk.
Selain itu, magot BSF juga memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak alternatif.
Doni mengklaim keamanan magot sebagai pakan telah teruji dan terbukti aman untuk berbagai jenis hewan ternak seperti ayam, bebek, lele, dan ikan lainnya. Magot BSF juga tidak mengandung zat berbahaya atau patogen yang dapat membahayakan hewan ternak.
Sebagai bagian dari upaya ini, WWF berencana menyiapkan fasilitas untuk biokonversi sampah organik melalui lalat BSF di Holey Narey. “Kami akan membangun fasilitas untuk biokonversi sampah organik melalui lalat BSF,” lanjut Kristiawan. “Nantinya setelah fasilitas sudah ada dan berjalan, akan kami buka untuk umum supaya banyak orang bisa belajar secara langsung dan bisa diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya.”
Dengan pengelolaan sampah yang baik dan inovasi biokonversi lalat BSF, diharapkan dapat mengurangi emisi gas metan dan berkontribusi pada penanggulangan perubahan iklim. Selain itu, program ini juga dapat meningkatkan ketahanan pangan dan menciptakan peluang ekonomi baru melalui produksi kompos dan pakan ternak.
Melalui upaya kolaboratif antara pemerintah daerah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, masalah sampah makanan di Papua dapat diatasi dan memberikan kontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat. (AiWr)