JAKARTA, FP.COM – Memasuki era new normal, berbagi sektor mulai bergerak kembali dengan beradaptasi terhadap situasi, begitupun dunia investasi yang mulai bergerak ke arah positif.
Sejumlah investor saham di pasar modal yang di awal pandemi Covid-19 mengalami potensi kerugian, perlahan mulai kembali menghasilkan return. Terutama para investor yang berani mengambil posisi membeli saham di saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) berada di titik terendah, yaitu di sekitar bulan Maret sampai dengan April 2020.
Bagaimana dengan investor pemula yang ingin mulai berinvestasi? Nah, ini saat yang tepat di saat harga saham masih mengalami diskon akibat penurunan harga dibanding masa sebelum wabah Covid-19.
Apa sih saham itu? Saham adalah bukti kepemilikan atas suatu perseroan (perusahaan). Dengan berinvestasi melalui pasar modal atau membeli saham di BEI, maka investor menjadi pemilik bersama sebuah perusahaan. Minimal pembelian saham di BEI bagi setiap investor adalah sebanyak 100 lembar saham yang lazim disebut satu (1) lot.
Hanya dengan memiliki 1 lot saham saja, seorang investor ikut menjadi pemilik perusahaan dan memiliki hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bayangkan, perusahaan sebesar PT. Unilever Indonesia Tbk, PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya bisa dimiliki dengan membeli 1 lot saham saja.
Harga 1 lembar saham bervariasi, ada yang di bawah Rp100 hingga di atas Rp100 ribu per lembarnya. Pada intinya, menjadi pemilik perusahaan terbuka dengan cara ini relatif murah dibandingkan harus mendirikan perusahaan sendiri.
Reputasi setiap perusahaan yang tercatat di BEI juga relatif baik, karena mereka wajib menjaga tata kelola perusahaan yang baik dan benar (good corporate governance), serta menjunjung azas transparansi. Dengan demikian, para pemegang saham juga bisa memantau kinerja perusahaan secara berkala dan informasi material terkait perusahaan tersebut melalui keterbukaan informasi perusahaan.
Konsep dasar dari kepemilikan saham bisa diilustrasikan secara sederhana. Sebut saja Pak Ahmad, ingin membuka kios bakso yang memerlukan modal Rp10 juta. Namun, ia hanya memiliki Rp1 juta saja. Ia mencari bantuan. Ada Sembilan (9) temannya yang kemudian memberinya masing-masing Rp1 juta. Terkumpullah Rp10 juta yang dibutuhkan, kios bakso Ahmad berdiri.
Setiap bulannya, 50 persen dari keuntungan penjualan (deviden) kemudian dibagikan ke rekan-rekannya (pemilik modal) secara merata. 50 persen sisanya digunakan untuk menambah modal dan mengembangkan usaha.
Dengan begitu, dalam setahun, kios Bakso Ahmad bisa membuka 1 cabang lagi. Nilai usaha yang tadinya Rp10 juta praktis naik jadi Rp20 juta. Masing-masing pemilik modal punya saham senilai Rp2 juta.
Dalam perjalanannya, rekan-rekan Ahmad boleh memilih; tetap memiliki saham dalam usaha dan tetap menikmati deviden atau menjual saham tersebut kepada orang lain.
Ada kemungkinan, orang lain (investor baru) akan tertarik membeli saham tersebut di atas Rp2 juta karena melihat potensi kemajuan usaha. Pilihan di tangan pemilik modal.
Kira-kira begitulah analogi sederhana saat investor membeli saham di BEI. Harga saham akan naik seiring dengan kenaikan nilai buku saham, dan berdasarkan hukum permintaan. Semakin banyak investor yang ingin membeli saham tersebut, karena misalnya, brand perusahaan atau pengelolanya bagus, makin tinggi harga sahamnya. Sebaliknya, jika kinerja perusahaan menurun, dan banyak investor mau menjual sahamnya, otomatis harga saham juga akan turun.
Lalu, mengapa memilih membeli saham dibanding membangun usaha sendiri? Jawabannya, membeli saham itu mudah, terjangkau dan menguntungkan, asalkan tahu caranya.
Mudah, karena setelah calon investor membuka rekening efek di perusahaan sekuritas, akan diberikan informasi saham-saham yang direkomendasikan untuk dibeli beserta analisa-analisa yang dapat dipelajari oleh investor. Sistem perdagangannya juga mudah karena saat ini ada fasilitas online trading, bisa di mana saja ketika hendak membeli dan menjual saham. Teknologinya juga tidak sulit-sulit amat.
Disebut terjangkau, karena banyak saham yang dijual dengan harga relatif rendah. Cukup bermodalkan Rp100.000 sudah bisa membeli 1 lot saham, bahkan lebih. Berpotensi menguntungkan, jika investor melakukan pembelian secara berkala dan dalam jangka waktu panjang.
Contohnya, tahun 1993 harga 1 unit motor Honda Tiger Rp7,8 juta. Jika di tahun itu, nilai uang sebesar itu dibelikan saham PT Astra International Tbk (kode saham ASII), produsen mobil-mobil terlaris di Indonesia, yang kala itu harga per lembar sahamnya sekitar Rp16.000, maka akan mendapatkan 487 saham ASII. Jika menghitung efek dilusi dari aksi korporasi perusahaan, harga saham ASII tahun 1993 ini sama dengan Rp155.
26 tahun kemudian (2019), berapa harga motor Tiger keluaran tahun 1993? Sementara harga saham ASII tahun 2019 sudah menjadi Rp6.925 per lembar saham. Jika membeli pada harga IPO yang terdilusi atau Rp155, maka harga saham ASII mengalami kenaikan 4367 persen dalam 26 tahun (16 % per tahun). Mana yang lebih menguntungkan?
Mari kita ambil satu contoh lagi. PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) menawarkan saham perdana (pertama kali) pada tahun 1982. Saat itu, UNVR menjual 9,2 juta lembar saham seharga Rp3.175 per lembar. Sehingga total kapitalisasi sahamnya (jumlah lembar saham dikali harga) menjadi Rp29,21 miliar. Jika kita ambil periode yang sama dengan contoh di atas, yakni tahun 1993, harga saham UNVR setelah memasukkan efek dilusi menjadi Rp73 miliar.
Dalam kurun waktu 26 tahun, pada akhir 2019, jumlah sahamnya sudah bertambah menjadi 7,63 miliar lembar dengan harga Rp8.560 per lembar saham. Sehingga kapitalisasi pasar saham UNVR senilai Rp326,56 triliun (sudah memasuki efek dilusi saham). Dalam 26 tahun, harga saham UNVR mengalami kenaikan 11.600 persen atau rata-rata sebesar 20 persen per tahun. (*)
*Penulis: Kresna Aditya Payokwa, Kepala BEI Papua dan Papua Barat