BCN 1963: Sang Pengawal dari Tribun Utara

Kelompok suporter Persipura, Blackpearl Curva Nord 1963 (BCN 1963)/Istimewa

JAYAPURA, FP.COM – Sebuah klub sepak bola dan supporter merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Nyanyian supporter dari bangku-bangku stadion tak bisa dipungkiri adalah penyulut semangat bagi pemain di lapangan. Itu sebab, supporter lazim disebut sebagai pemain keduabelas, melengkapi sebelas pemain yang tengah berjibaku.

Demikianlah dengan Persipura Jayapura, klub yang bermarkas di Kota Jayapura ini punya banyak kelompok supporter. Kelompok-kelompok ini punya andil besar mengawal perjalanan Mutiara Hitam hingga menjadi klub tersukses di Liga Indonesia, berkaca pada koleksi gelar juara.

Read More
iklan

Namun, entah apa sebab, belakangan markas Persipura, Stadion Mandala, tak lagi sesesak dulu. Bisa jadi karena prestasi Persipura yang melorot beberapa musim terakhir. Belum lagi, fans kebanyakan memilih menonton pertandingan lewat layar kaca.

Fenomena ini memantik keresahan sejumlah supporter fanatik. Mereka kemudian bersepakat mendirikan sebuah kelompok baru yang kemudian dinamai Blackpearl Curva Nord 1963, dengan akronim BCN 1963.

Unsur-unsur dalam nama ini mengandung sejumlah makna. “Blackpearl”, mengacu pada julukan Persipura (mutiara hitam), lalu “Curva Nord” yang dalam bahasa Italia berarti tribun utara, adalah posisi duduk mereka di stadion Madala. Sedangkan “1963” merujuk pada tahun kelahiran Persipura Jayapura.

Resminya, BCN didirikan pada 3 Juli 2017. Sesuai namanya, kiblat BCN sangat jelas, yakni kelompok supporter Ultras di Italia. Tentu bukan dalam hal anarkis atau tindakan brutal, tapi lebih pada semangat dan militansi anggotanya, sejalan dengan misi mengembalikan semangat mendukung Persipura dari sisi utara tribun Stadion Mandala.

Saat memberikan dukungan bagi tim kesayangannya, BCN dipimpin oleh seorang capo. Ia mengomando setiap aksi teatrikal mengikuti irama chant. “Forza Persipura, Milisi Ultras, Alle Persipura Alle”, demikian beberapa nyanyian favorit mereka.

Anggota BCN 1963 selalu dituntut untuk berpegang teguh pada azas “tidak ada yang lebih besar dari sebuah lambang di dada”. Bagi mereka, Persipura adalah segalanya, dan medukungnya adalah harga yang tak bisa ditawar.

“Kami ingin dan akan selalu mengawal Persipura secara total dari sisi utara tribun, termasuk mendukung hal yang positif dan mengkritik hal yang negatif,” tutur Angky, Capo BCN 1963 kepada Raymond Latumahina, Sabtu (26/09/2020).

Menurut Angky, kelompoknya ini tak punya struktur organisasi. Boleh dikata, semua personil punya hak suara setara. “Hal ini dilakukan agar segala keputusan terkait BCN 1963 bisa dirumuskan dan didiskusikan secara bersama-sama tanpa terpengaruh jabatan struktur kepengurusan,” ungkap Angky.

Memasuki usia tiga tahun, saat ini BCN 1963 telah memiliki sekitar 219 anggota. Angka ini belum termasuk anggota yang tidak terdata dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

“Setelah kompetisi Liga 1 2020 selesai, kami akan menggelar jambore nasional untuk membuat korwil (koordinator wilayah) di daerah lain, seperti Bogor, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya,” akunya.

Selain koreografi dan chant, loyalitas BCN 1963 juga ditunjukkan dalam hal kewajiban membayar tiket, seperti halnya penonton biasa. Ya, tak ada pengecualian, potongan, dispensasi, subsidi, atau semacamnya.

“Kami selalu beli tiket pertandingan dengan harga normal, sesuai dengan inisiatif anggota keluarga tribun utara. Tidak ada kompensasi dan subsidi tiket pertandingan.”

Ada lagi yang menarik, sekalipun beralabel kelompok garis keras, BCN justru kerap melakukan gerakan gerakan sosial. Misalnya saja, menggelar aksi seribu lilin dan membuat koreografi yang melambangkan lima agama di Indonesia di tribun utara Stadion Mandala sebagai bentuk kepedulian terhadap korban insiden Bom Surabaya pada tahun 2018.

Tak hanya itu, kelompok yang bermarkas di Abepura ini juga menunjukkan kepedulian dengan penggalangan donasi untuk bencana tsunami di Palu tahun 2018 dan bencana longsor dan banjir bandang di Sentani tahun 2019.

Bagi Angky dan kawan-kawan, stigma negatif terhadap kelompok supporter yang identik dengan anarkisme harus dihapuskan. Namun demikian, tak lantas BCN bersih dari gesekan antarsuporter. Angky bahkan mengaku kerap mengalami perlakuan kurang menyenangkan saat bertandang. Sekalipun jumlahnya sedikit, personil BCN tak ciut nyali.

“Kami pernah diintimidasi saat menemani Persipura bermain di Stadion Kanjuruhan, dan juga terlibat bentrok dengan kelompok suporter lawan di Stadion Maguwuharjo dan Stadion Mandala Krida,” kenangnya.

Tapi, insiden-insiden itu ibarat bumbu bagi personil BCN, tak ada kata mundur untuk terus mengawal tim kebanggaannya, baik di kandang sendiri maupun di kandang lawan. (Ray)

 

 

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *