Berburu Ulat Sagu Sampai Kampung Yoboi

Pengunjung festival sedang menikmati hidangan papeda dengan lauk ulat sagu bakar.

JAYAPURA, FP.COM – Dari Kota Jayapura, kami butuh waktu kurang lebih satu setengah jam untuk sampai di dermaga Yahim, Kabupaten Jayapura. Sayangnya, cuaca enggan bersahabat, awan gelap menyelimuti seantero Sentani, hingga sang raksasa Cycloop pun tak nampak. Rasanya hujan tinggal menunggu waktu.

Dengan tekat bulat, dari Yahim, menumpang perahu motor, kami tetap meneruskan perjalanan, menuju kampung Yoboi, yang berada di sebuah pulau mungil di tengah danau Sentani. Cukup dengan sepuluh ribu rupiah, sepuluh menit berselang, tiba jugalah kami di dermaga Yoboi. Dasar nasib lagi baik, cuaca di Yoboi sangat cerah, masih terhitung pagi, tapi panas matahari cukup terik.

Read More
iklan

Dermaga Yoboi akhir-akhir ini jadi buah bibir di sosial media. Alkisah, suatu ketika, anak-anak muda di kampung ini berembuk, mereka bertekat berbuat sesuatu agar kampungnya dikenal dan dikunjungi orang luar.

Rencana pun disusun, dermaga Yoboi akan disulap jadi tempat wisata. Tapi niat baik itu terhambat, apa lagi kalau bukan biaya. Mereka tak putus asa, dikomandoi tokoh pemuda bernama Billy Tokoro, mereka masuk hutan mencari sagu. Di lain waktu, mereka turun danau berburu ikan. Hasilnya dijual, hingga terkumpul uang sekira dua juta rupiah.

Berbekal kuas, cat, disokong bakat seni warisan leluhur, para pemuda ini mulai berkreasi menghias dermaga Yoboi yang kemudian kesohor dengan nama Dermaga Warna-warni.

***

Dermaga Warna-warni bukanlah tujuan utama kami ke sini. Hari itu, Kamis, 26 November 2020, kampung Yoboi akan menggelar pembukaan Festival Ulat Sagu, untuk pertama kali.

Sang Surya sudah di atas ubun-ubun ketika acara dimulai. Kepala Kampung Yoboi Sefanya Wally tampil di depan, dan secara resmi membuka kegiatan festival yang ditandai dengan tabuhan tifa. Sefanya Wally mengatakan, Pemerintah Kampung Yoboy saat ini tengah mengarahkan program kerja pada pengembangan wisata.

“Dalam musrenbang nanti akan kami rancang sepuluh jenis festival,” katanya di hadapan tetamu.

Tak lupa, Sefanya mengingatkan para pengunjung agar senantiasa menerapkan protokol kesehatan Covid-19 sepanjang mengikuti acara.

Usai pembukaan, pengunjung disuguhi hidangan papeda panas, ulat sagu, gratis! Hal ini sebagai simbol sambutan masyarakat kampung bagi tamunya.

Selanjutnya, para tamu dipersilakan berkeliling menyambangi setiap stand yang menyediakan aneka kuliner, mulai dari fi (sagu-papeda) dan hem (ulat sagu). Ada pula papeda  bungkus yang dalam bahasa lokal disebut finuku. Satu paket finuku dengan lauk ulat sagu bakar dan ikan mujair saos dibandrol Rp.50.000. Sekotak sagu bakar (ouw) dijual sepuluh hingga lima belas ribu rupiah. Sedangkan hem laris dengan harga Rp.50.000 per kotaknya.

Jika ingin menghilangkan dahaga, warga kampung juga menyiapkan jajanan es buah yang salah satunya hasil olahan dari ulat sagu.  

Sepulangnya, pengunjung bisa membawa ole-ole berupa kaos bergambar Dermaga Warna-warni dan kaos Festival Ulat Sagu yang bisa ditebus dengan harga Rp.200.000 hingga Rp.250.000.

Salah satu pengunjung, Brian Ibo, mengaku sangat bangga dengan terobosan pemuda kampung Yoboi yang sangat menginspirasi, terutama bagi generasi muda.

“Saya senang karena banyak orang akan belajar dari kita orang Sentani punya budaya, ini juga baik untuk kita anak-anak muda dalam menjaga kita punya budaya,” ungkapnya.

“Ini sangat menarik, karena namanya festival ulat sagu dan semua yang disajikan di sini dari ulat sagu,” sambungnya.

Novriani Monim, pengunjung lainnya, mengatakan, semua pengorbanan untuk tiba di Yoboi terbayar lunas.

“Tidak percuma buang ongkos ke sini, saya juga sangat senang karena mama-mama dan masyarakat kampung sangat ramah, ada banyak cerita yang bisa kita bawa pulang,” tuturnya.

***

Ide awal untuk menggelar Festival Ulat Sagu Yoboy ini sebenarnya tak lepas dari kunjungan ke Dermaga Warna-warni yang kian membludak setiap harinya.

Billy Tokoro dan kawan-kawan ingin agar pengunjung tak hanya disuguhi pesona dermaga. Bagi Billy dan rekan-rekan, hutan sagu yang dalam filosofi masyarakat kampung dimaknai sebagai sumber kehidupan harus dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dan lahirlah gagasan untuk menggelar Festival Ulat Sagu.  

“Festival ini sebagai cara kami memulihkan ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat terjangan pandemi virus Corona,” ungkap Billy Tokoro, yang mendapat amanah sebagai ketua panitia festival.

Lagi-lagi, uang jadi kendala. Harapan mereka terhadap Pemerintah Kabupaten Jayapura ditampik. “Kami sudah bersurat ke pemkab, tapi tak direspon,” aku Billy.

Di tengah itu, tetiba, suatu hari, kampung Yoboy kedatangan tamu istimewa, Jan Jap Ormuseray, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua.

Maksud kedatangan Jan Ormuseray tidak lebih dari sekadar piknik di Dermaga Warna-warni yang lagi viral itu. Siapa sangka, lewat bincang-bincang dengan Billy, Ormuseray tergerak untuk membantu

“Waktu itu saya baca postingan di media sosial tentang dermaga Yoboi, pas waktu senggang, saya jalan-jalan ke sana. Saya kemudian bertemu Billy dan bercerita tentang rencananya dengan teman-teman,” cerita Jan Ormuseray ketika dijumpai di ruang kerjanya, Jumat (27/11/2020).

“Saya lihat mereka pasang kotak di dermaga, dan pengunjung memberi dengan sukarela, jadi saya tanya, mau bikin apa, dan Billy bilang mau bikin festval tapi tak ada biaya. Akhirnya saya respon, saya bilang saya bantu, lalu lapor ke Pak Gubernur.”

“Terima kasih kepada Gubernur dan Wakil Gubernur sehingga melalui dinas kehutanan bisa memberikan bantuan sebesar 250jt.” lanjut Jan Ormuseray.

Lalu apa yang membuat Jan Ormuseray tertarik dengan ulat sagu? Rupanya, itu tidak jauh-jauh lingkungan kerjanya, soal pelestarian hutan. Menurutnya, kegiatan masyarakat menebang pohon sagu yang tidak produktif justru diperlukan untuk kelestarian hutan sagu itu sendiri.

“Jadi jangan ditafsirkan mereka membabat dan merusak, tetapi justru memberi ruang baru bagi tumbuhnya pohon sagu baru,” jelasnya.

Jan Ormuseray sendiri berharap, ke depan, tak hanya ada festival ulat sagu di Yoboi, tapi banyak hal lain yang bisa dikembangkan, semisal lomba perahu hias, tracking sagu, juga jamur sagu lewat kelompok sadar wisata.

“Ini yang sedang kita laksanakan, sehinggga implementasi dari Visi “Papua Bangkit Mandiri Sejahtera dan Berkeadilan” nyata  dalam masyarakat. Kita harus dorong masyarakat agar tidak menggantungkan hidupnya dari proposal,” pungkasnya. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *