JAYAPURA, FP.COM – Semangat. Kira-kira begitu kesan pertama yang tertangkap jika berjumpa dengan sosok satu ini. Bukan saja dari gaya bicara yang blak-blakan, lugas, tapi juga mobilitasnya yang super padat, seperti penuturannya.
“Kemarin di Merauke, besok saya harus ke Mappi,” ungkap Christian Sohilait, yang sudah tujuh bulan ini menjabat Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Papua ketika ditemui awak Fokus Papua, Rabu pekan ini.
Kegemaran berkeliling mengunjungi wilayah tugas bagi dia amatlah penting. Apalagi kalau bukan ingin melihat langsung kondisi riil di lapangan. Blusukan, pinjam istilah Jokowi.
Dari blusukan itu ia punya banyak cerita. Di Genyem misalnya, ia menemukan seorang guru yang tidak punya tempat tinggal. “Guru itu tiap hari bolak-balik Sentani-Genyem untuk mengajar. Bayangkan, waktunya habis hanya di perjalanan,” kisah putra pasangan Gerson Sohilait dan Yohana Saiya ini.
Apa yang dilakukan Sohilait? “Saya bicara sama kepala distrik, saya pinjam salah satu rumah dinas yang kosong, lengkapi perabotan, dan dia sudah tinggal di sana,” akunya.
Usia yang tergolong muda dengan fisik yang enerjik cukup mendukung kesibukannya. Dalam biografinya yang berjudul Beta Papua, Sohilait berujar, baginya, istirahat itu ya kerja.
Nah, jika ingin tahu seberapa gila kerjanya dia, silakan baca “Beta Papua” karya Alex Japalatu dan Wahyu Joko Susilantoro. Di buku itu, sampai ada nara sumber yang menjuluki Sohilait sebagai “Ahok-nya Papua”. (Ahok panggilan dari Basuki Tjahaya Purnama, mantan Gubernur DKI Jakarta).
Sikapnya yang “tak bisa diam” itu bukan baru sekarang. Ia masih sama seperti Sohilait yang dulu, sejak kecil hingga menduduki sejumlah posisi penting, mulai dari Kepala Bappeda Lanny Jaya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Lanny Jaya, Sekda Lanny Jaya. Sebelum jadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua, ia juga sempat menjabat pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lanny Jaya.
Melihat deretan jabatan yang pernah diembannya di Lanny Jaya sudah cukup menggambarkan seberapa percayanya Bupati Befa Yigibalom terhadap pria berdarah Maluku kelahiran Abepura, 51 tahun lalu ini.
Berbicang dengan Christian Sohilait tentang pendidikan Papua seakan tiada ujungnya. Tapi, persoalannya bukan itu. Dari paparannya yang mengalir sanggup membuka cakrawala kita lebih luas soal defenisi pendidikan dan seluk beluknya. Bahwa pendidikan tidak hanya soal sekolah dengan proses belajar mengajarnya. Banyak hal terkait di dalamnya.
Belasan tahun mengabdi sebagai aparatur sipil negara di wilayah pedalaman tentu menjadi bekal Sohilait mengenal dan mengindetifikasi persoalan pendidikan di Papua, hingga yang paling pelik sekalipun. Nun jauh di balik gunung sana, pendidikan bukan semata miskin sarana dan prasarana. Ia mencontohkan, bagaimana kebiasaan masyarakat yang turut memengaruhi kualitas pendidikan.
“Pas musim panen buah merah, anak-anak semua ada di hutan, begitu pun jika ada acara gereja, ada yang meninggal, semua libur, aktivitas belajar berhenti,” tuturnya.
Dalam pandangannya, persoalan pokok dari semua ini adalah tidak meratanya pembangunan, khususnya pendidikan. Fakta paling dekat nampak pada penerimaan siswa baru, di mana ada sekolah yang berjubel peminatnya, sementara yang lainnya nihil.
“Mengapa? Karena sekolah-sekolah itu murah, fasilitasnya lengkap, SDM (sumber daya manusia) gurunya bagus, diprioritaskan sama pemerintah,” ujarnya.
“Ini tidak boleh terjadi. Tidak boleh ada sekolah yang unggul dan lainnya tertinggal. Kalau kualitas output satu sekolah dan lainnya jomplang, kita harus malu,” sambungnya.
Sohilait punya mau semua sekolah di Papua setaraf. Untuk hal ini, ada beberapa hal yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Dimulai dari pembenahan sarana dan prasarana. Kata Sohilait, hampir semua sekolah bergelut dengan hal ini. Ironisnya, pihak sekolah sendiri yang dipaksa menyelesaikannya, akhirnya fungsi utama sebagai lembaga pendidikan dikesampingkan.
Kedua, faktor lingkungan. “Ada sekolah yang dipalang, kepala sekolah yang harus berhadapan dengan pemilik hak ulayat. Sama halnya dengan kebiasaan anak-anak libur di musim panen buah merah.”
Ketiga, soal guru. Guru-guru itu harusnya dipermudah, selain fasilitas, tetapi juga untuk urusan administrasi. “Masa untuk naik pangkat saja urusannya berbelit-belit? Belum pikir rumah tinggal seperti kasus guru di Genyem tadi itu.”
Lalu, regulasi. Sohilait mencontohkan banyaknya anak usia sekolah yang menggelandang di jalanan, jadi anak aibon. Jumlah mereka tidak banyak, tapi seperti sebuah persoalan besar.
“Ini ada di depan mata, tapi kok tidak bisa diselesaikan? Itu karena regulasi dan anggaran tidak mendukung, ini yang saya sedang diskusikan dengan legislatif. Sama halnya dengan persoalan buta huruf. Kita suka membanggakan anak-anak kita yang sukses, jadi pilot, dokter, dan lain-lain, tapi lupa sama anak-anak kita yang di bawah.”
Tak kalah pentingnya adalah efisiensi dan efektifitas. “Saya melihat di banyak tempat, ruang kelas SMK itu berupa bengkel semua. Kursi-kursi ditempel di dinding, kalau butuh untuk belajar baru diturunkan. Saya ingin seperti ini,” jelasnya.
Christian Sohilait punya mimpi besar, suatu ketika semua orang, bicara tentang pendidikan. “Kita ke pasar, mama-mama sedang diskusi tentang sekolah. Kita ketemu tukang ojek, lagi bicara soal prestasi anak. Jadi, ketika akar rumput sudah bicara tentang pendidikan maka itu salah satu indikator pendidikan kita sudah maju,” pungkasnya. (Jpatading)
123456