Dedi Darmawan, Soundman Kenamaan yang Tertawan Pesona Papua

Dedi Darmawan bersama Metta, istrinya

Demonstrasi anti-rasisme yang berujung rusuh di Jayapura dan beberapa tempat lainnya pada 29 Agustus 2019 mengantar artis reggae asal Jamaica, Nikolas Anson Moray, datang ke Papua.

Read More
iklan

Nikolas yang punya nama panggung Concarah hendak menggelar konser damai untuk Bumi Cenderawasih yang sedang terkoyak.

Di belakang panggung, Concarah sedianya didukung oleh seorang soundman bernama Dedi Darmawan. Dedi tergolong punya nama, berpengalaman menangani artis dan band papan atas tanah air, seperti Dewa-19, The Virgin, Dewi Persik, Lobo, Ras Muhammad, hingga Erie Suzan. Dedi datang atas permintaan Jhon Pelupessy, bos sebuah event organizer yang ada di Jayapura.  

Tapi apa lacur, konser Concarah yang direncanakan digelar 20 September 2019 di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, batal terlaksana, setelah gagal memperoleh izin dari pihak keamanan.

Namun, kegagalan ini malah jadi awal cerita bagi sang soundman, Dedi Darmawan. Dedi tak merasa kecewa. Setidaknya,  ia telah menginjakkan kaki di Papua, dan melihat langsung keindahan daerah yang kerap dijuluki kepingan surga ini.

Cerita berlanjut, Dedi memilih tinggal lebih lama, berbaur dengan masyarakat, mengenal seni dan budaya lokal. Ia kemudian menetap di Arso, Keerom, pada keluarga angkatnya, seorang transmigran dari Jawa Barat.

“Kebetulan anaknya juga crew sound kami,” bebernya kepada Fokus Papua, akhir pekan lalu.

***

Lahir di Cileuya, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, 39 tahun lalu, Dedi merintis karir di dunia entertaiment tepat ketika ia menyelesaikan bangku pendidikan menengah atas.

Ia berkisah, awalnya, ia bermain musik dengan mendirikan sebuah band, namun tidak berlanjut. “Bandnya enggak laku-laku,” kenangnya.

Dedi kemudian memutuskan banting setir, menjadi soundman. Ia belajar autodidak.

“Saya mulai dari tukang panggul peralatan, gabung di EO (event organizer).”

Lama-lama, ia naik pangkat mengisi posisi soundman yang lowong. Seiring kemampuannya yang semakin mumpuni, ia sering diajak ke beberapa stasiun televisi nasional, juga terlibat pada sejumlah event-event besar.

Dari sini, popularitasnya sebagai soundman menanjak, hingga jasanya dilirik oleh manjemen artis dan band-band besar di Tanah Air.

Hidup dalam dunia glamour bersama artis ini yang kemudian mengirim Dedi ke jurang kelam dalam fase hidupnya. Ia terjerat narkoba jenis sabu.

“Tahun 2012, waktu itu saya belum nikah, dan di dunia itu, “nyabu” memang sangat sulit dihindari, gampang banget kita dapat. Kalau tidak kuat, pasti terjerumus.”

Hingga suatu ketika, temannya, seorang wartawan, mengingatkannya untuk berhenti.

“Teman itu dari Republika, dia kasih saran rajin  jalan kaki untuk menghilangkan ketergantungan.”

Sejak itu, Dedi berkomitmen untuk jalan kaki, ke manapun ia pergi. Memilih tidak naik pesawat, ia berkelana dari satu daerah ke daerah lain.

“Kalau saya sudah kehabisan amunisi (uang), saya kerja jadi tukang panggul sound, tapi tak pernah bilang saya mantan soundman, meskipun akhirnya ada juga yang mengenali.”

Usahanya berhasil, ia tak lagi ketergantungan terhadap narkoba, dan memutuskan menikahi pujaan hatinya, Metta, yang asal Padang, Bukittinggi, Sumatera Barat, tahun 2014.

***

Dedi Darmawan sedang “bertapa” di Jayapura ketika ia dikontak oleh temannya di Jakarta. Dedi ditawari menangani sound system band Noah yang manggung di Jayapura, 19 Desember 2019. Ia menyanggupi. Itulah kolaborasi terakhir Dedi dengan band besar.

Memasuki tahun 2020, Dedi Darmawan sempat pulang ke Jakarta, namun ia masih penasaran dengan Papua, lalu memutuskan kembali lagi. Pandemi virus Corona yang berujung penutupan akses keluar Papua membuat Dedi harus bertahan di Jayapura.

Beberapa waktu kemudian, ia dimintai bantuan seorang temannya yang mau membuka café di sekitaran kawasan wisata pantai Hamadi. Dedi berperan sebagai desain interior café.

“Saya juga bantu datangin barista, teman juga, dari Kolaka,” beber Dedi yang pernah dipercaya menangani sound system untuk pertemuan para pemimpin negara ASEAN di Bali ini.

Sebelumnya, ia punya pengalaman mengelola café saat berada di Kolaka, Sulawesi Tenggara. “Kita bikin café, Cafe Teras Bambu Kolaka, dan Mr Coffee House, namanya.”

Konsep yang ditawarkan Dedi sebenarnya mengadopsi café-café yang ada di Bali.

“Jadi saya pernah datang ke Bali, lihat, di dalam benak saya pengen cafe yang menjunjung kebudayaan. Ada galeri dan pertujukan tari. Di pantai Hamadi kan belum ada yang begitu. Setidaknya di cafe-cafe gitu masih bisa orang datang lihat, ini loh kebudayaan Papua,” ungkap Dedi.

Sayang, konsepnya itu tidak terwujud. Akhirnya, ia nekat membuka kafe sendiri di Arso 6, Kabupaten Keerom, di lahan pemberian orang tua angkatnya.

Salah satu sudut dari Kafe Soetijah Rock milik Dedi Darmawan di Arso, Keerom

Untuk café baru ini, nama “Soetijah” dipilih untuk menghormati sang nenek yang mengasuhnya dari kecil. Lengkapnya Soetijah Rock Café.

“Kebetulan saya penggemar musik rock dan blues,” katanya tersenyum.

“Tapi saya mulai menyukai reggae ini setelah di Papua,” sambungnya.

Tak punya banyak biaya menuntut Dedi berkreasi. Bahan-bahan untuk mendirikan cafenya diambil dari benda-benda tidak terpakai. Sebagiannya sampah, boleh disebut.

“Ada kayu hanyut, kayu bekas terbakar, pot bekas, botol minuman, akar bakau buat gantungan lampu, tinggal dicat sama vernis. Kita soft opening 16 Februari kemarin,” tuturnya.

Gerbang Cafe Soetijah yang dibuat dari kayu bekas

Keunikan desain serba natural ini disempurnakan oleh pesona bunga morning glory dan moon flower yang menghiasi seantero cafe. Pengunjung serasa tamasya dalam kebun bunga. Suasana café yang terbuka, sejuk, dikelilingi tumbuhan pohon pinang, menambah kesan asrinya.

Beberapa komunitas juga mendatangi café Dedi untuk pengambilan gambar. “Gratis, apalagi kalau untuk anak Papua, saya dukung penuh,” tambahnya.

***

Ada lagi yang menarik dari aktivitas Dedi. Di luar kesibukannya mengelola café, ia juga menyempatkan diri membantu menyetel sound system gereja di GBI Kotaraja. Padahal, Dedi sendiri seorang muslim. Tapi ia sendiri tidak merasa terbeban, sekalipun ia sering mendapat protes dari keluarga juga teman-temannya.

“Saya kan sering live dari gereja, mereka tanya, kamu apa-apaan? Tapi gue cuek aja, toh bukan mereka yang nentuin gue masuk surga apa enggak.”

Karena kemampuannya itu, oleh pihak gereja, ia sering diajak ke beberapa tempat di Papua, seperti Wamena, Oksibil, dan Nabire.

“Saya tidak pernah pasang tarif, tidak minta biaya, cukup tiket saja,” akunya.

Pertimbangan Dedi, gereja tidak seperti artis yang punya sponsor.

“Uang gereja kan dari persembahan jemaat, malah ada (anggota jemaat) yang memberi dari kekurangan.”

Di tempat-tempat tadi, Dedi juga berupaya berbagi ilmu. Dia mengajari pemuda gereja menyetel sound system.

“Kan repot juga kalau saya harus bolak-balik ke sana hanya untuk sound, kasihan juga mereka harus bayar tiket.”

Selain itu, ia juga memberi tips kalau mau membeli pelengkapan sound.

“Saya lihat, di Papua, sering amat diboongin sama orang Jakarta. Jadi saya ngajarin nomor seri, mana yang kw (palsu) dan ini yang ori (asli).”

Lalu apa rencananya ke depan? Rupanya, keinginan Dedi Darmawan untuk mendirikan café bernuansa budaya belumlah pupus. Dan kesempatan itu datang lagi setelah ia diminta oleh relasinya dari Dubai, Uni Emirat Arab, untuk merancang café di sekitaran pantai Hamadi.

Dia bermimpi, café yang nantinya bernama Numbay Beach itu dilengkapi dengan galeri untuk memamerkan karya para seniman, dari seni ukir, pahat, hingga noken hasil kerajinan mama-mama.

Dia juga mendaku, para seniman itu tidak perlu membayar untuk menitip karyanya. Prinsipnya, ia ingin membantu, dan mengangkat budaya Papua.

“Tapi harganya jangan juga gila-gilaan agar tidak mentok di situ (tidak laku-red),” saran penggemar paduan celana pendek dan sandal jepit ini.

Harapan lainnya? “Saya mau ketemu sama Abang Charles Toto!” ujarnya spontan.

Charles Toto adalah chef kenamaan asal Jayapura yang punya resep masakan unik karena selalu memakai bahan yang langsung diambil dari alam. Charles memproklamirkan diri sebagai jungle chef.

“Selama di sini, sangat banyak cerita-cerita tentang beliau yang saya dapat, sangat ikutin juga di sosmed-nya. Pokoknya, saya fans banget sama Jungle Chef Chato. Sebuah kebanggaan kalau saya bisa bertemu,” pungkasnya. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *