SENTANI, FP.COM – Sebuah diskusi bertajuk “berinvestasi pada perempuan, mendorong persatuan dan konsolidasi gerakan untuk kemajuan perempuan di berbagai ruang penghidupan demi perubahan yang adil di Tanah Papua” digelar dalam rangkaian Women’s Day. Diskusi ini digagas World Wide Fund for Nature (WWF) Papua bersama West Papua Feminist Forum (WPFF) dan Papua Courses, dihelat di Holey Narey Learning Center Sentani, Jumat (8/3/24).
Sejumlah tokoh Papua didaulat jadi pembicara di diskusi ini. Mereka adalah Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3KB) Provinsi Papua Elsye Rumbekwan, Beatrix Wanane (Mantan Komisioner KPU), tokoh perempuan dan pemerhati lingkungan dari Enggros Petronela Meraudje, Ev. Ester Haluk (Koordinator WPFF dan Sekretaris Departemen Perempuan Sinode Kingmi) serta Novilia Aru (Ketua Kelompok Perempuan Inger Wewal).
Sesi yang dipandu influencer kenamaan, Jeni Karay, itu mengulas peran perempuan di bidang pemerintahan, politik, gereja, lingkungan dan masyarakat adat. Kelima narasumber mendorong upaya berbagai pihak mendukung eksistensi perempuan dalam berbagai bidang untuk kemajuan bersama.
Salah satu topik yang menarik adalah peran perempuan di kampung-kampung dan masyarakat adat. Novilia Aru yang datang mewakili masyarakat Sawesuma, sebuah kampung yang terletak di perbatasan Kabupaten Jayurapura dan Sarmi, tampak terharu ketika dia mendapat kesempatan berbicara. Novilia berharap banyak pihak memerhatikan penguatan kapasitas perempuan di kampung agar memiliki skill serta pengetahuan dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera.
Ia mencontohkan dukungan bagi usaha mikro kecil dan pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat adat.
“Saya berjuang untuk perempuan di kampung saya, untuk itu jarak dari kampung ke sini bukanlah penghalang. Ilmu yang hari ini saya dapat akan saya bagi di kampung. Saya duduk di sini untuk mereka, bagaimana kaum perempuan di kampung bisa dilihat, diberikan ruang dan kesempatan yang setara dengan perempuan lain di luar komunitas kami di kampung,” ujar Novilia.
Tokoh lainnya, Ester Haluk, dalam pemaparannya berpendapat, perspektif budaya selama ini di Papua seolah mengekang dan membatasi peran serta ruang gerak perempuan dalam ruang-ruang publik. Konstruksi budaya patriarki membuat peran perempuan tidak begitu kuat di masyarakat. Belum lagi ketika seorang perempuan di tengah keluarga sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Kami berharap pemerintah dan pihak terkait lainnya menjamin terpenuhinya hak-hak dasar dan partisipasi perempuan, kelompok disabilitas, kelompok dengan keberagaman seksualitas dan gender, serta kelompok rentan lainnya secara inklusif dan setara dalam pembangunan dan di ruang-ruang publik,” tekan Haluk.
Petronela Meraudje, peraih Kalpataru 2023, sebagaimana konsentrasinya, mendorong partisipasi perempuan untuk menjadi leader bagi penyelamatan lingkungan. Seperti yang dilakukannya di kampung Enggros.
Lain lagi dengan Beatrix Wanane yang mengharapkan peran perempuan saling bahu-membahu mendorong partisipasi perempuan di dalam dunia politik. Kuota keterwakilan tidaklah menjadi sebuah syarat semata, akan tetapi keterwakilan perempuan membawa warna dalam organisasi atau lembaga perwakilan rakyat untuk memajukan komunitasnya.
Mewakili pemerintah, Elsye Rumbekwan, lewat instansi yang dipimpinnya, akan berupaya memajukan kaum perempuan dengan program, terutama peningkatan kapasitas di segala bidang. (*)
1 comment