Hari Anak Nasional di Tengah Krisis: Mengatasi Peningkatan Kekerasan Seksual di Papua

dok Penulis Rani Yanti Ngabalin Fungsionaris Kohati PB.

Peringatan Hari Anak Nasional di Papua menghadapi latar belakang yang mengkhawatirkan dengan lonjakan kasus kekerasan terhadap anak. Angka-angka yang tinggi dalam kekerasan fisik, psikis, dan seksual menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya akut tetapi juga semakin meresahkan. Peningkatan jumlah kasus menunjukkan perlunya tindakan segera dan kolaboratif dari berbagai pihak untuk mengatasi dan mencegah kekerasan terhadap anak.

Presentase kekerasan pada anak di Papua 2024

Read More
iklan
  1. Kekerasan Fisik: Kekerasan fisik terhadap perempuan dan anak di Papua mencakup 27,20 persen dari total kasus kekerasan yang dilaporkan
  2. Kekerasan Psikis: Kekerasan psikis mencakup 28,50 persen dari total kasus kekerasan yang dilaporkan
  3. Kekerasan Seksual: Kekerasan seksual mencakup 34,80 persen dari total kasus kekerasan yang dilaporkan

Data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan bentuk kekerasan yang paling tinggi di Papua pada tahun 2024, diikuti oleh kekerasan psikis dan fisik.

Pada tahun 2024, peningkatan tajam dalam kasus kekerasan pada anak di Papua, khususnya menunjukkan adanya masalah struktural yang lebih dalam. Faktor-faktor seperti ketidakstabilan sosial, ekonomi, dan krisis lokal yang mengganggu kesejahteraan keluarga dapat berkontribusi pada lonjakan kasus ini. Ketidakmampuan masyarakat dan sistem untuk menangani kasus-kasus ini secara efektif memperburuk situasi.

Penanganan kasus kekerasan seksual sering kali terhambat oleh kekurangan dalam fasilitas dan sumber daya. Kurangnya pelatihan untuk aparat penegak hukum, keterbatasan dalam sistem dukungan, dan stigma sosial yang kuat memperburuk situasi. Stigma ini sering membuat korban dan keluarga enggan untuk melapor, sehingga menghambat proses pencarian keadilan dan pemulihan.

Faktor Penyebab

  1. Ketidakstabilan Ekonomi: Dampak Krisis ekonomi dengan inflasi tinggi dan pengangguran meningkatkan ketegangan dalam keluarga. Ketidakmampuan ekonomi sering kali memicu stres dan frustrasi yang dapat berubah menjadi kekerasan domestik, termasuk kekerasan seksual. Ketidakpastian ekonomi menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan meningkatkan risiko kekerasan.
  2. Dampak Kesehatan Mental Pasca-Pandemi: Kesehatan Mental dan Kekerasan, Pandemi COVID-19 memperburuk kondisi kesehatan mental, dengan meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi. Kurangnya dukungan psikososial membuat individu lebih rentan terhadap perilaku kekerasan. Kesehatan mental yang buruk meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.

Kasus kekerasan seksual tersebar di berbagai kabupaten di Papua, dengan insiden yang signifikan di Kabupaten Mimika dan Merauke. Di Mimika, ada peningkatan tajam dalam kasus asusila dengan banyak korban anak-anak, sementara di Merauke, kasus melibatkan pelaku dari kalangan terdekat korban. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan seksual melintasi batas administratif dan memerlukan pendekatan yang holistik untuk penanganannya.

Peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Papua mencerminkan masalah sistemik yang melibatkan kemiskinan, kekurangan pendidikan, dan norma sosial yang permisif terhadap kekerasan. Ketidakcukupan mekanisme perlindungan yang ada menunjukkan perlunya perbaikan sistemik yang menyeluruh. (Rani Yanti Ngabalin) Penulis adalah Fungsionaris Kohati PB.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *