Hallo Mister, good afternoon, may I help you please? Bring you to the hotel and can I help you to arange a your police of permit.
Ini deretan kalimat yang lazim diucapkan Simson Nick Mehue saat menawarkan jasa kepada para turis yang mendarat dengan pesawat fokker milik Garuda Indonesia setiap sore di Bandara Sentani. Masa itu sudah berlangsung lebih dari tiga dekade, persisnya tahun 1989, namun Nick masih mengingatnya.
Kala itu, Nick masih terhitung remaja, baru lulus sekolah menengah atas. Sebenarnya, di bandara, ia hanyalah seorang pengangkut barang (porter). Berbekal kemampuan bahasa Inggris yang digemarinya sejak SMP, ia nekat nyambi jadi guide dadakan setelah mendengar saran banyak orang.
Benar saja, banyak turis yang butuh jasanya. “Jadi, saya langsung antar ke hotel. Dulu hotel di Sentani hanya ada tiga: Mansapur Rani, Minang Jaya, dan Sentani Inn.”
“Habis dari hotel, kitong naik taksi urus surat jalan di Polres Jayapura, malam-malam jam sembilan atau jam sepuluh kitong pulang, nanti dong (mereka) kasih lima ratus, kadang-kadang seribu, bahkan sampai lima ribu rupiah. Itu su besar masa itu, nasi ayam saja masih seratus lima puluh rupiah.”
Bisnis ini terang saja menggiurkan. “Wah, ini antar dorang (turis), bicara-bicara saja su ada uang,” pikir Nick. Ia pun lebih bersemangat. Ia tak bakalan menyangka, dari sinilah karirnya sebagai seorang guide profesional berawal.
Ia sendiri mengaku, guide bukanlah cita-citanya. Usai menamatkan pendidikan di bangku sekolah menengah atas, ia bermaksud melanjutkan kuliahnya di jurusan Sastra Inggris Universitas Cenderawasih. Sayangnya, niatnya kandas setelah jurusan itu dinyatakan vakum akibat sebagian besar dosennya sedang menempuh pendidikan di luar. Nick yang enggan masuk jurusan lain kemudian memilih jadi pengangkut barang di bandara.
Ditemui Fokus Papua di kediamannya awal bulan ini, di Yabaso, tepat disamping run way bandara Sentani, pria asal kampung Putali ini bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya itu.
***
Stomu Nakahira San atau Tuan Nakahira tak mungkin dilupakan oleh Nick Mehue. Bagi Nick, turis asal Jepang inilah yang berjasa merintis kariernya sebagai seorang pemandu wisata.
“Kami ketemu di bandara, saya antar ke hotel Dafonsoro,” ujar Nick (53 tahun) mengenang kejadian pada Februari 1990 itu.
Nick diajak ngobrol, lalu menginap. Merasa cocok, Nakahira pun mengajak Nick menemaninya ke Wamena. Nakahira bermaksud meneliti budaya suku Dani. Keduanya tinggal di Wamena selama sebulan.
“Dia belajar tentang suku Dani, saya juga tambah ilmu.”
Selain sebagai batu loncatan, ia juga memperoleh honor yang lumayan dari sahabat Nipponnya itu.
“Dia kasih saya uang hampir dua juta rupiah, itu uang yang sangat besar masa itu,” lanjutnya.
Lucunya, sepulang dari Wamena, berbekal duit pemberian Nakahira, Nick malah ogah-ogahan di rumah. “Setelah itu, enam bulan saya tidak kerja, hanya tinggal makan tidur saja,” aku Nick sambil tertawa.
Kehabisan uang, barulah Nick “bangkit dari tidurnya”. Hatinya sudah mantap menekuni profesi sebagai guide. Dari para seniornya, ia mendapat informasi akan adanya kegiatan pelatihan bagi pramuwisata oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya.
Nick mengikuti kursus dan ujian selama dua pekan, dari 29 Oktober hingga 12 November 1990. Dari 50 peserta, Nick adalah peserta termuda, 22 tahun. Sertifikatnya ditandatangani langsung oleh Barnabas Suebu, Gubernur Irian Jaya waktu itu.
Bermodal sertifikat itu pula, ia bisa menjalankan profesi sebagai pramuwisata muda di Daerah Tingkat II Jayawijaya. Nick mengawalinya dengan mendekati sejumlah biro perjalanan dan menawarkan jasanya.
Rupanya, kebersamaan dengan Nikahara di Wamena sebelumnya cukup membuat reputasi Nick melambung. Ia mendapat kepercayaan dari Instra Tour & Travel, milik Rudi Wellem (alm). Nick juga cukup pintar menjaga hubungan harmonis dengan biro perjalanan ini.
Berikutnya, Nick memilih jadi freelance guide. “Ada yang namanya payroll guide, yaitu sebagai pekerja tetap di travel, dapat gaji tetap, tetapi tidak boleh membawa tamu dari travel lain, kecuali izin pimpinan.”
“Freelance guide itu bebas, travel mana saja bisa pakai, dan saya memilih jadi freelance,” jelasnya.
Setelah berstatus freelance, beberapa biro perjalanan ternama waktu itu yang memberi kepercayaan pada Nick seperti Danisangrila Tour &Travel, Grand Irian Tour & Travel.
“Waktu itu mereka punya tamu banyak, mereka kontak saya, beri tahu program apa saja bersama turis yang saya pegang, mereka serahkan uang, urus surat jalan dan kita jalan,” beber Nick.
Tahun 1994, Nick berkenalan dengan seorang manajer operasi sebuah perusahaan tambang di Nabire. Sang manajer terkesan dengan kemampuan berbahasa Inggris Nick. Nick dipinang jadi radio flight operator di perusahaannya.
Hati Nick sebenarnya berat meninggalkan job sebagai guide, namun iming-iming gaji dari perusahaan membuatnya luluh. Ia pun menandatangani kontrak lima tahun.
Bisa ditebak, tak berselang lama, ia mulai bosan dengan pekerjaan yang menuntutnya diam di tempat itu. Di sisi lain, ia merindukan dunia lamanya, melanglang. Ditambah lagi, biro perjalanan acap kali “menggodanya”. Nick pun mencuri-curi waktu mengantar tamu. Alhasil, ia langganan teguran dari atasannya.
Kebiasaan mangkir tugas ini pula yang membuat ia diberhentikan dari perusahaan setelah bekerja selama empat tahun.
Nick kembali ke dunia lamanya, padahal di saat bersamaan dia juga mendapat tawaran dari perusaaan tambang raksasa lain di Papua.
Dari Nabire, Nick segera mendapat orderan, mengantar tiga wisatawan asal Israel. “Saya ingat, salah satunya bernama Syefi Bin Joseph, mereka mau ke Korowai,” katanya.
Nick mengungkap bagaimana rumitnya turis Israel masuk Indonesia. Maklum saja, hingga kini, negara tersebut belum juga memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Turis Israel kalau masuk ke Indonesia mereka pakai paspor negara lain,”ujarnya.
Ia juga punya banyak cerita tentang karakter masing masing turis berdasarkan asalnya.
“Bagi saya, bule-bule itu baik semua, tapi bule Amerika mereka beda sendiri, mereka disiplin, to the point, kalau salah tetap salah. Mereka juga punya “budaya” uang tip. Kadang uang tipnya melebihi fee guide saya, pernah 30 juta,” akunya.
“Turis Jerman juga murah hati. Yang agak pelit orang Belanda sama Prancis, mereka juga paling sering komplen,” sambungnya.
Kerap juga ia harus bersitegang dengan kliennya. “Misalnya, suatu waktu, kami ada di pedalaman, selesai makan saya kasih pisang, dia (bule) tanya: Nick, tidak ada apel kah?. Saya sudah capek, saya emosi, saya jawab: You mau apel? You tinggal di Hotel Seraton Singapura, jangan datang di hutan!. Di hutan tidak ada apel!.”
Di lain waktu, Nick juga harus kerepotan mengurus kliennya yang sakit di perjalanan. Ada yang terserang malaria.
“Biasanya mereka sudah bawa obat-obatan. Sebelum ke Papua, kami sudah sarankan minta resep pencegahan malaria di dokter. Ada pula yang sakit perut akibat makan tanpa cuci tangan.
Obat-obatan yang mereka bawa sering dalam jumlah banyak. Selain dipakai sendiri, sebagian lagi dibagikan kepada masyarakat pedalaman.”
Untuk itu, ia sangat menyesalkan stigma negatif untuk para turis itu. Katanya, mereka rata-rata tidak sekadar jalan, menikmati alam, tapi juga membawa pakaian, obat-obatan dan barang lain untuk didonasikan.
“Mereka datang ke Korowai, suku Dani, Yali, disambut tarian mereka bayar cash. Mereka juga membeli ukiran-ukiran seperti di Asmat.”
“Tahun 2018, Agustus, ada festival Asmat, saya bawa orang Jerman, itu mereka belanja, habis sampai 125 juta rupiah.”
Pernah juga, di tahun 1998, sebuah travel di Perancis, partner Nick, mengadakan donasi berupa 4000 kelambu untuk warga Asmat.
“Itu dikirim dari Surabaya ke Timika, saya bawa ke Agats, baru kami ke kampung Biwar, itu kampung terbesar, kami bagi 2000 ke kampung itu, Kampung Beritem 1000 kelambu, dan kampung Oman 1000 kelambu,” urainya.
Nick Mehue mengaku, kecintaannya terhadap profesinya itu sangatlah dalam. Lewat ini, ia bisa pergi menjumpai banyak tempat, suku-suku pedalaman.
“Setelah pulang, saya bisa bercerita banyak hal kepada orang lain, dan saya bisa tahu banyak hal.”
Bonusnya, ia bisa makan enak di resto-resto besar, punya penghasilan yang lumayan. Ia juga bisa mengenal banyak orang dari belahan dunia lain. Beberapa dari mereka masih sering mengontak Nick.
“Bahkan, mereka biasa mengirimkan saya uang,” pungkas pria yang baru dilantik sebagai ketua Himpunan Pramuwisata Provinsi Papua ini.
***
Dalam memandu rombongan turis, Nick tidaklah sendiri. Ia punya tim yang terdiri dari pengangkut barang dan juru masak. Di tim Nick ada nama Charles Toto yang sekarang beken dengan julukan jungle chef. Pria yang akrab disapa Chato itu bertugas sebagai juru masak.
Kelebihan Chato, bila bahan makanan sudah habis, ia bisa mengambil bahan-bahan dari alam seperti pakis, kersen, jamur dan sebagainya untuk diolah jadi santapan.
Chato sendiri mengenal Nick Mehue dari tahun 1997. Saat itu, mereka di bawah Beneti Ekspedisi Tours &Travel dan Grand Irian Tour.
“Beliau sebagai guide dan saya sebagai tukang masak, kerja bersama hampir 15 tahun. Perjalanan saya dengan Pak Nick kami jalan ke Wamena, Biak, Serui, Korowai, Asmat. Beliau salah satu guide senior yang banyak mengajar anak-anak muda dari beberapa travel agent yang sekarang mereka sudah berdiri sendiri,” tutur Chato.
“Beliau orang yang ramah, masih pegang tamu tapi sambil jadi porter di bandara untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari dan itu sampai sekarang masih dijalani,” lanjutnya.
Ia juga menilai, Nick sosok yang tepat untuk memimpin Himpunan Pramuwisata karena Nick belajar dari bawah dan punya pengalaman segudang di dunia parawisata.
“Bagi saya Pak Nick punya pengalaman, loyal dengan semua orang, care pada tamu dan kami sebagai juru masak, selalu memperhatikan semua hal jangan sampai kita kekurangan saat sudah masuk ke hutan.”
Chato membocorkan salah satu kebiasaan Nick. “Yang saya ingat itu, beliau selalu taruh pisang bakar di dalam rompi sebelah kiri dan kanan.”
Lagi, beber Chato: “dan dulu waktu masih pemadat pinang, sekarang sudah tidak ya, itu ke mana-mana selalu pentingkan pinangnya dari barang tamu, pinang bisa satu karung khusus untuk Pak Nick,” pungkas Chato tertawa. (*)