Postur badannya ideal, tergolong sedikit gemuk. Senyum kecil acap kali menghiasi wajahnya yang berseri. Sebuah kaca mata hitam yang sengaja disangkutkan di atas kepala, membuat dirinya terlihat sebagai sosok yang sangat percaya diri. Belum lagi tutur katanya, begitu lugas mengalir, menambah kesan itu.
Melihat penampilannya, siapa sangka, perempuan muda di depan saya ini dulunya adalah seorang pecandu narkoba. Namanya Dessy Manggaprouw, ia berdarah Biak tulen, lahir di Kota Jayapura, dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan, sementara ibunya mengurus rumah tangga.
Dessy, bungsu dari dua bersaudara terlihat berbeda sejak kecil. Bukannya suka berdandan, memiliki boneka lucu, naluri Dessy justru menolak tampilan cantik, sebagaimana mimpi anak perempuan pada umumnya. Dia ingin terlihat garang, macho, layaknya seorang anak laki-laki.
Dessy masih di bangku sekolah dasar ketika secara sembunyi-sembunyi, ia belajar menghisap rokok. “Kalau orang tua kasih uang jajan tiga ribu, dua ribunya saya pakai beli rokok,” tuturnya kepada Fokus Papua, awal bulan ini di sebuah kafe, di Kota Jayapura.
Waktu berlalu, kenakalannya bertambah. Tak hanya merokok, ia juga mengonsumsi minuman keras, hingga gemar berkelahi. Kesehariannya habis di jalanan dan lorong-lorong gelap di jantung Kota Jayapura.
“Saya sering ambil uang Bapak, atau ikut mencuri sama teman-teman, dari situ kita dapat uang untuk beli rokok dan miras.”
“Saya merokok, minum minuman keras sejak sekolah dasar, hingga masuk SMP,” akunya.
Untuk memenuhi “kebutuhan” rokok dan miras, ia tak segan melakukan tindak kriminal. Dessy menikmati betul gaya hidup demikian, apalagi, awalnya, kedua orang tuanya tidak tahu menahu tentang perilakunya di luar rumah. Di usia belia, rokok dan minuman keras sudah dianggap sebagai senyawa pelengkap hidup. Ia tidak peduli dengan tatapan sinis orang lain.
Lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tetapi, babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai. Ia terjerumus dalam lembah lebih dalam. Dessy kecanduan narkotika jenis ganja. Dia sendiri sadar, itu bukan perbuatan terpuji. Ia juga tahu, memakai ganja bisa membuatnya berurusan dengan hukum. Namun, ia tak pernah takut, selalu saja ada cara untuk lolos dari jerat.
Hidup yang benar-benar berantakan berujung putus sekolah. Belakangan, dia memutuskan mengikuti Kejar Paket C demi memperoleh ijazah jenjang SMA.
“Sebetulnya, dari SMP saya sudah coba pakai ganja, tapi baru benar-benar kecanduan waktu SMA. Bahkan karena kecanduan itu sampai saya putus sekolah,” kenangnya.
Menjadi seorang pecandu ganja membuat dirinya kian jauh dari keluarga, memilih hidup di jalanan bersama teman-teman sepergaulan. Rumah hanya dianggap tempat persinggahan.
Sebagai anak yang beranjak dewasa, ada masa di mana ia merenung, memikirkan masa depannya. Dalam kesendirian, ia kadang berpikir untuk berhenti menjadi pecandu dan kembali ke keluarga. Ia sedih melihat ibunya yang setiap hari harus pontang-panting mencarinya di jalanan dan sudut-sudut kota, di mana ia biasa mangkal. Tapi niat itu sungguh sulit.
“Kalau saya pulang ke rumah dalam kondisi mabuk, Mama selalu menangis, tetapi tetap terima saya. Beda lagi dengan Bapa, orangnya tegas, dan biasanya usir saya,” kisahnya.
Ketika pintu tobat rasanya sudah tertutup, ia kemudian dipertemukan dengan Jecky Picanussa, seorang aktivis dari Yayasan Harapan Permata Hati Kita (Yakita), yang aktif mendampingi para pecandu narkoba.
Sebagai seorang mantan pecandu, Jecky tidak kesulitan masuk ke komunitas anak-anak jalanan, hingga bertemu dengan Dessy di kawasan Ampera, Kota Jayapura.
Misi Jecky membujuk Dessy tak semudah membalik telapak tangan. Dessy keberatan diboyong ke panti rehabilitasi milik Yakita. Ia bersikukuh, itu bukan dunianya, lagi pula, ia masih punya mimpi menjadi pecandu ganja kelas wahid.
Rasa kasihan terhadap orang tuanya yang kemudian meluluhkan hati Dessy. “Itu yang mendorong saya. Pertama saya tidak mau, tapi lama-lama saya tertarik dan akhirnya masuk di yayasan itu untuk menjalani rehabilitasi,” tuturnya.
Jecky Picanussa masih ingat persis ketika ia pertama bertemu Dessy. “Badannya kurus, dia (Dessy) ada mabuk berat di Ampera, dan menolak keras kita bawa ke yayasan. Kita terus bujuk sampai akhirnya mau.”
“Di Yakita, dia merasa asing dengan lingkungan baru, tidak langsung mau direhabilitasi, bahkan dia merasa bukan pecandu. Katanya, dia baik-baik saja, kita bujuk lagi. Tiga bulan lamanya kita rehabilitasi,” ungkap Jecky.
Setelah mulai pulih, oleh Jecky, Dessy kemudian diajak turun lapangan, menjangkau teman-teman lamanya, para pecandu narkoba.
Bagi Dessy, itu momen yang sungguh berkesan. Bukan hanya karena dia sudah berada di dunia berbeda, tetapi, dari turun lapangan pertama itu, ia diberi honor Rp. 100 ribu rupiah. Uang itu kemudian dia bagi, separuh untuk mama, dan separuh lagi untuk bapaknya. Hatinya girang, bangga, bercampur haru. Untuk pertama kalinya ia merasa menjadi orang berguna.
“Sekitar akhir tahun 2011 itu baru saya benar-benar bersih dari ganja. Tapi kalau rokok dan minuman keras, sih, ya masih,” ujar perempuan kelahiran 22 Maret 1992 ini.
Ia berterima kasih kepada Yakita dan Jecky Picanussa yang telah bersusah payah mengubah jalan hidupnya. Begitu juga kepada sang mama, ia tahu, mamanya tak pernah berhenti mendoakan dirinya.
Lepas dari dunia hitam, Dessy kemudian membina rumah tangga, lalu punya dua putri cantik, dan sepasang putra. Sayangnya, empat tahun lalu, ia harus berpisah dengan sang suami. Jadilah dia single parent.
Sekarang ini ia sudah bekerja di kantor Lembaga Bantuan Hukum Papua. “Ya, setidaknya sekarang, orang tua dan anak kalau ada butuh atau perlu apa-apa, sudah bisa saya cukupi,” ujarnya.
Walapun sudah bekerja, ia masih meluangkan waktu menjangkau anak-anak jalanan. Ia tergabung di komunitas, seperti halnya Jecky Picanussa, yang mendampingi anak-anak terlantar dan juga pecandu narkoba.
Ia juga kerap diminta Badan Narkotika Nasional (BNN) Papua menjadi penyuluh tentang bahaya narkoba. Tentu saja Dessy punya tujuan melakukan itu. Sebagai anak asli Papua, ia tak ingin melihat generasi muda dihancurkan oleh narkoba.
“Saya harap, anak-anak muda menjauhi narkoba, narkoba tidak hanya merusak masa depan tapi juga merenggut kehidupan,” pesannya. Ray