JAYAPURA, FP.COM – Sejak tahun 2005, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua lewat Bidang Budaya dan Seni, telah menerbitkan lima kamus bahasa daerah Papua yaitu Indonesia-Biak, Indonesia-Waropen, Indonesia-Sentani, Indonesia-Hubula (Wamena), dan Indonesia-Marind.
Pekan lalu, Kepala Seksi Perlindungan dan Pelestarian Budaya Jeremias Koridama kepada Fokus Papua mengaku, dari Juni lalu, timnya melakukan kajian untuk kosa kata bahasa Ansus.
“Hasilnya, sudah ada dari abjad A-Z, kita hampir 1 minggu lebih ada di Ansus. Kita akan lahirkan dua bentuk kosa kata. Kosa kata yang sering kita pakai dari Indonesia ke daerah tapi juga kita godok dari bahasa daerah (Ansus) ke Indonesia. Kemudian nanti kita masukkan ke dalam bahasa Inggris. Tahun depan, kalau ada dana, kita turun untuk sosialisasi dan seminar hasil dengan masyarakat lagi, baru kita buat dalam bentuk kamus,” ujar Koridama.
Proses penyusunan kamus dimulai pengumpulan kosa kata. “Yang pertama kita siapkan itu daftar kata-kata dasar dari abjad A-Z, satu tahun kami siapkan daftar kata, dan juga kumpul beberapa orang yang mengerti bahasa itu baru kita sama-sama susun.”
Tidak mudah menyusun kosa kata hingga menjadi kamus. Tantangannya ada pada keterbatasan SDM hingga kemampuan penutur bahasa daerah setempat dalam memaknai penggunaan bahasa daerah ke Indonesia ataupun sebaliknya. Koridama mencontohkan kata “amplop” di mana masyarakat kampung tidak mengenalnya, bahkan padanan kata yang mendekati pun tidak ada.
“Sehingga, kalau kami sadur itu, ada yang tetap dibaca sebagai bahasa Indonesia dalam bahasa daerah.”
Lainnya, penyusunan kata kerja dan kata benda itu agak sulit ketika diartikan dari daerah ke Indonesia, kadang-kadang penutur itu juga tidak tahu.
Penyelesaian satu kamus bisa memakan waktu satu hingga dua tahun. “Selanjutnya, bahasa Indonesia baku yang dalam bentuk kamus kita sadur dulu baru kita siapkan dalam bentuk kalimat, prosesnya cukup panjang,” sebut Koridama.
Penerbitan kamus bahasa daerah dimaksudkan untuk menyelamatkan bahasa daerah di Papua, apalagi di kota saat ini sudah jarang ditemui masyarakat yang menggunakan bahasa ibu. Koridama khawatir bahasa daerah di Papua akan hilang.
“Kita mengerjakan yang terlupakan. Sederhana tapi dia terlupakan. Siapa mau hitung 50 tahun ke depan, apakah bahasa daerah ini masih ada atau hilang. Apalagi kalau kita sebagai orang tua sudah tidak bicara bahasa daerah, otomatis anak hanya tahu bahasa Indonesia.”
“Ini baru satu dari tujuh unsur lain di kebudayaan. Bahasa itu yang pertama, ketika kita masuk dalam satu suku bangsa, itu wajib komunikasi, otomatis menggunakan bahasa,” terangnya. (*)