Di suatu sudut yang tenang di kawasan Lembah Furia, Kotaraja, Kota Jayapura, terdapat sebuah galeri seni bernama Black Orchid. Seakan sengaja menyepi, Black Orchid ibarat oase bagi para pencinta fotografi.
Bagaimana tidak,di galeri berukuran 18×16 m2 ini terpajang puluhan karya sembilan fotografer di Papua dan Papua Selatan. Temanya macam-macam ada tentang budaya, lingkungan dan panorama alam.
Galeri ini didirikan seorang fotografer bernama Agus Zeth Tanati.
Gusti, sapaannya, sengaja mendirikan Black Orchid untuk mencatat perjalanan karirnya sebagai pewarta foto maupun fotografer lepas.
Sedari awal, ia berfokus mengangkat keindahan dan kekayaan budaya Papua melalui lensa kamera. Jika dihitung-hitung telah lebih dari satu dekade ia menekuni profesi itu, tepatnya sejak tahun 2010.
Meskipun begitu, minatnya pada seni visual barulah berkobar ketika karyanya terpilih untuk mengikuti pameran nasional yang dikuratori oleh maestro fotografi Indonesia, Oscar Motuloh pada 2014 silam. Bukan kebanggaan semata, pengalaman ini boleh disebut sebagai momen yang membuka wawasan baru baginya.
Saat menginjakkan kaki pertama kalinya di Jakarta, ia menyempatkan waktu mengunjungi Museum Graha Bhakti Antara yang terletak di Kelurahan Pasar Baru. Di galeri yang dikelola LKBN Antara itu, Gusti merasa terpukau dengan kualitas karya, terutama foto jurnalistik. Lalu, terbersit keinginan untuk menjadi bagian dari media berplat merah tersebut.
“Saya jalan di galeri di Pasar Baru itu, sa lihat dong pu karya-karya foto bagus. Dari situ sa tertarik dengan dunia fotografi jurnalistik,” ucapnya kepada Fokus Papua, medio Juli lalu.
“Saya berpikir bagaimana caranya saya harus bisa masuk ke galeri Antara,” ungkap Gusti.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Beberapa tahun berselang, harapan Gusti untuk bergabung dengan Antara terbuka lebar. Antara membuka lowongan untuk fotografer. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia mendaftar dan menjalani serangkaian tes sebelum dinyatakan lolos seleksi. Tahap berikutnya, ia harus mengikuti pelatihan dan workshop selama berbulan-bulan.
Dalam masa itulah ia kembali bersua dan mengenal lebih dekat Oscar Motuloh, fotografer senior yang menjadi mentornya.
Atas bimbingan Oscar, Gusti melahirkan karya fotografi yang diberi judul Pinang di Gunung, Karang di Laut, Berjumpa di Serui. Lewat foto ini Gusti ingin menyuarakan keprihatinannya terhadap kerusakan terumbu karang akibat eksploitasi pinang dan kapur. Ia menggambarkan bagaimana ikan-ikan terpaksa mencari rumah baru karena habitat aslinya telah hancur.
“Pertemuan dengan Abang Oscar benar-benar mengubah hidup saya,” kenang Gusti. Dari situ, saya semakin yakin bahwa fotografi bukan hanya sekadar hobi, tapi juga bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan dan menginspirasi orang lain.”
Selama mengikuti workshop, Gusti tidak hanya mengasah keterampilan fotografi, tetapi juga mempelajari konsep galeri dan pameran foto yang mendalam. Ia sadar betapa pentingnya sebuah galeri sebagai ruang bagi para seniman untuk berekspresi dan berkarya. Itu pula yang mendorongnya nekat mendirikan Black Orchid. Ia bermimpi menciptakan ekosistem seni yang lebih dinamis di daerahnya.
Pekan Olahraga Nasional XX di Papua ikut andil dalam proses lahirnya Black Orchid. Dari hasil kontrak kerja dengan pemerintah dalam hal dokumentasi venue, Gusti meraup penghasilan lumayan.
“Dengan kerja potret venue PON saya dapat uang, dan saya rehab sa pu galeri sedikit demi sedikit sampai jadi seperti sekarang,” akunya.
Ia merancang galerinya begitu detail, mulai dari pemilihan bahan bangunan yang ramah lingkungan hingga penataan tata ruang yang ergonomis.
“Tantangan ya, waktu untuk saya kumpul-kumpul bahan. Saya sudah nekat galeri harus jadi maka saya kumpul pelan-pelan. Ada uang sedikit cicil beli bingkai, ada uang lagi beli papan karena su nekad jadi harus berusaha,” kenang Gusti.
Saat ini, di Black Orchid, sering diadakan workshop, diskusi, dan pameran yang melibatkan para fotografer muda Papua. Gusti berharap dapat membina generasi muda yang memiliki passion yang sama terhadap fotografi.
“Saya ingin galeri ini menjadi tempat berkumpulnya para fotografer Papua, tempat kita bisa berdiskusi, berbagi ilmu, dan saling menginspirasi,” katanya.
“Saya ingin anak-anak muda Papua memiliki kesempatan yang sama dengan fotografer di kota-kota besar untuk mengembangkan bakat mereka. Melalui fotografi, mereka dapat mendokumentasikan kehidupan sehari-hari, mengangkat isu-isu sosial, dan memperkenalkan keindahan alam dan budaya Papua kepada dunia,” sambungnya.
Tak lupa, Gusti berbagi pengalaman soal tantangan yang lazim dialami seorang fotografer, terutama jurnalistik di Papua. Menurutnya, masalah paling rumit adalah menjangkau lokasi liputan yang jauh. Tak jarang, seorang fotografer harus menumpang pesawat berbadan kecil, kerap pula harus berjalan kaki.
Seorang pewarta foto dituntut siap menghadapi segala bentuk situasi, seperti menjaga keselamatan diri saat meliput peristiwa demonstrasi.
Sekalipun telah berhasil membangun galeri sendiri, pria berdarah Serui ini masih punya mimpi membuka kelas fotografi jurnalistik. Baginya, itu tidak mudah, namun dari pengalamannya membangun Black Orchid, ia yakin tidak ada yang mustahil bila sudah diniatkan. Ia sungguh yakin, suatu hari, mimpinya itu akan menjadi kenyataan. (Ai)