JAYAPURA, FP.COM – Berdasarkan survei yang dilakukan oleh International Center for Research on Women (ICRW) pada tahun 2015, 84 persen anak pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Secara umum, segala bentuk kekerasan bisa terjadi di sekolah atau lembaga pendidikan. Namun, yang paling banyak ditemui adalah penghukuman fisik (corporal punishment), kekerasan seksual dan bullying atau kekerasan oleh teman sebaya.
Angka perundungan di Indonesia sendiri masih tinggi. Menurut studi PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) 1 pada tahun 2018, 41 persen remaja berusia 15-17 tahun pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan.
Hasil asesmen Nasional 2022 menunjukkan, 34.51 persen peserta (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, 36,31 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan, 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik.
Di tengah maraknya kejadian perundungan dan kekerasan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, termasuk di Tanah Papua, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) dan UNICEF (United Nations Children’s Fund) telah memperkenalkan program bernama Disiplin Positif dan Roots.
Disiplin Positif adalah program upaya pencegahan dan penanganan kekerasan yang berfokus kepada guru atau orang dewasa. Berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di banyak negara menunjukkan, penggunaan hukuman (tindakan mengarahkan anak untuk bertingkah laku dengan cara kekerasan fisik maupun verbal) sebagai bentuk ‘pendisiplinan’ ternyata berdampak negatif bagi perkembangan anak, di mana mereka mengalami trauma, kreativitas menurun, dan lain-lain.
Oleh karena itu, hukuman seharusnya tidak lagi digunakan oleh guru dalam mendidik siswa. Salah satu alternatif pengganti dari penggunaan hukuman adalah penerapan disiplin positif. Disiplin Positif didasarkan pada prinsip menghargai hak anak (empati), mendorong proses dialogis, melatih anak berpikir logis, mendidik anak untuk bertanggung jawab, serta mengembangkan perilaku positif anak di masa yang akan datang.
Sementara, intervensi Roots diharapkan dapat menciptakan lingkungan sekolah dan suasana belajar yang aman, nyaman, serta bebas dari kekerasan, termasuk perundungan. Di sini, para siswa diajak untuk menjadi pemimpin dalam usaha pemberantasan kekerasan sebaya. Dengan adanya program Roots dan agen-agen perubahan, anak-anak menjadi lebih mengenal dan paham soal perundungan karena mereka mendapatkan informasi itu langsung dari rekan sendiri. Roots telah dijalankan di beberapa negara dan diuji coba di beberapa sekolah di Indonesia yang berhasil mengurangi perundungan hingga 30 persen.
UNICEF menunjuk Lembaga Pelatihan dan Konsultan Inovasi Pendidikan Indonesia (LPKIPI) sebagai mitra pelaksana program yang dimulai bulan Oktober 2023 sampai bulan Mei 2024.
Di Provinsi Papua, program ini telah dilaksanakan di Kabupaten Sarmi, diawali sosialisasi pada pertengahan Oktober 2023. Setelah sosialisasi, dilanjutkan dengan pelatihan 10 orang fasilitator daerah, terdiri atas 5 fasilitator Disiplin Positif dan 5 fasilitator Roots. Para fasilitator ini berasal dari perwakilan dinas pendidikan, pengawas sekolah, dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan juga dari aktivis pendidikan di Kabupaten Sarmi. Nantinya, mereka akan melatih dan melakukan pendampingan kepada 13 sekolah sasaran program dan juga membantu penyebarluasan program ke seluruh sekolah di Kabupaten Sarmi.
Pelatihan Disiplin Positif dan Roots di Sarmi untuk satuan pendidikan juga telah digelar akhir Oktober lalu dan diikuti 52 guru dari 13 SMP/SMA/SMK. Sekolah-sekolah yang dilatih merupakan rekomendasi Kementerian Pendidikan dan dinas pendidikan setempat. Masing-masing sekolah mengirim empat perwakilan, dua untuk Disiplin Positif dan dua lainnya mengikuti pelatihan Roots.
Nantinya, para guru tersebut akan menjadi fasilitator di sekolah masing-masing. Guru yang dilatih disiplin positif akan melatih guru-guru lainnya. Sementara yang mengikuti pelatihan Roots akan merekrut dan menjadi mentor bagi 30 agen perubahan yang terdiri dari 15 murid laki-laki dan 15 murid perempuan.
Dengan diterapkannya pendekatan displin positif dan Roots, diharapkan dapat mewujudkan sekolah ramah anak (SRA) yang nantinya akan berkontribusi mewujudkan Kabupaten Sarmi Layak Anak (KLA). (*)