Museum Noken Papua, Riwayatmu Kini

Museum Noken yang berada di kawasan Ekspo Waena Distrik Heram, Kota Jayapura

The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan, telah mengesahkan tas unik Papua, noken, sebagai warisan budaya dunia tak benda pada 4 Desember 2012 dalam sidangnya di Paris, Prancis. Itu alasan mengapa 4 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Noken Sedunia.

Peristiwa bersejarah ini ikut melambungkan nama Titus Pekey, seorang aktivis dan advokat asal Papua. Tanpa mengerdilakan peran pihak lain, boleh dibilang, dialah sosok sentral di balik hari bersejarah itu. Titus menghabiskan banyak waktu untuk meneliti noken. Ia menarik beberapa kesimpulan makna filosofi dari noken. Bahwa noken bukan hanya sekadar tas atau kantong tradisional, namun diartikan sebagai simbol kedewasaan perempuan Papua, rahim kedua, sarana pengasah kebersamaan, pengikat hati sesama, dan juga menunjukkan strata sosial.

Read More
iklan

Masuknya noken sebagai warisan budaya dunia kemudian direspons pemerintah Indonesia dengan mendirikan Museum Noken di kawasan Ekspo, Kota Jayapura, tepat di belakang gedung Museum Negeri Papua. Adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh yang meletakkan batu pertama pembangunannya pada 10 April 2013.

Usai dibangun, setidaknya sampai tahun 2018, museum ini tetap di bawah kendali pemerintah pusat yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Ketika itu, Dirjen Kebudayaan belum serahkan ke Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Nanti setelah Dinas Kebudayaan berdiri sendiri (2018) baru diserahkan,” ujar Erick Ohee Kepala UPTD Noken saat ditemui awak Fokus Papua di Museum Noken, Waena, pekan lalu.

“Dua tahun itu baru sekadar museum saja, terus pada 2020 dibentuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Noken yang berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua,” lanjutnya.

Kepala UPTD Noken, Erick Ohee

Dari sisi teknis, UPTD yang dikelolanya itu terkesan tidak dipersiapkan dengan baik, misalnya tidak adanya ruangan kantor yang representatif. Sementara ini, lantai satu bangunan difungsikan sebagai kantor untuk 15 orang pegawai.

Ruangan koleksi Noken 7 wilayah Adat di lantai II gedung Museum Noken

Lantai dua bangunan museum itu digunakan untuk menyimpan puluhan koleksi noken yang didominasi buah karya dari wilayah adat Meepago; dari sisi jumlah maupun jenis bahan. Selain Meepago, ada pula noken koleksi museum dari Domberai, Bomberai, Mamta, Saireri, Lapago dan Anim Ha.

Salah satu koleksi Noken dari Wilayah adat Meepago

Tak sebatas itu. Erick pun menyayangkan nomenklatur unit yang komandaninya ini. Menurutnya, urusan UPTD seharusnya tidak dipersempit pada warisan budaya tak benda dalam hal ini noken, tetapi juga bagi warisan budaya lainnya.

“Contoh, di Sentani kami punya alat makan yang disebut hiloy, sejenis garpu kayu dan itu warisan budaya juga. Hiloy akan hancur seiring waktu sehingga tidak bisa disimpan sebagai warisan budaya, tapi selayaknya dipahami dan bisa dilestarikan dari generasi ke generasi, begitu juga benda-benda lainnya.”

“Namanya silakan Museum Noken tapi UPT-nya harus budaya tak benda, sehingga kita tidak terbatas pada noken saja,” kilahnya.

Kunjungan ke Museum Noken terhitung sangat minim, bahkan di saat Papua menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional XX tahun lalu. Kru Fokus Papua menyaksikan sendiri, data kunjungan sepanjang dua tahun terakhir baru hitungan jari, itu pun hanya mahasiswa kampus lokal.

Mengapa bisa begitu? Erick menjelaskan fakta bahwa noken bukanlah benda langka atau sulit ditemui. Di trotoar-trotoar jalan berjubel mama-mama penjaja noken. Para kolektor bahkan bisa langsung menyaksikan proses pembuatan noken di sana.

UPTD Noken juga terbatas dari sisi anggaran, hanya didukung dengan dana sekira 400-500 juta rupiah per tahun. Dana itu hanya cukup digunakan untuk menambah koleksi dan souvenir setiap kali pameran. Dengan begitu, pihak UPTD belum dapat merencanakan kegiatan pendampingan dan pelestarian.

“Saya arahkan untuk tambahan koleksi untuk pameran dan souvenir saja. Untuk sanggar-sanggar, tahun depan baru kita berikan bantuan-bantuan di lima wilayah adat. Kita harapkan kalau Provinsi Papua Barat ini mereka bisa juga masuk,” ujar Ohee.

Begitu pun dengan perawatan, pihaknya hingga kini belum punya pola rancangan untuk perawatan noken. “Untuk perawatannya kami belum rancang karena kami belum tahu cara merawatnya.”

Bagi Erick, berhubung fisik noken cepat atau lambat akan mengalami kerusakan, maka soal perawatan tidaklah terlalu mengkuatirkan. Lebih penting adalah melestarikan cara merajut noken bagi generasi pelanjut.

“Noken akan hancur, kita bisa ganti, tapi teknik merajutnya ini yang harus kita turunkan,” tambahnya. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *