Paradoks Modern: Hari AIDS Sedunia (HAS) Pasca Pandemi (Antara Euforia dan Miskinnya Rasa Kemanusiaan)

Logo hari Aids se-dunia. Foto: detik.com, credit by : Getty Images/iStockphoto/Ildar Abulkhanov

Sejak tahun 1988, Hari AIDS Sedunia (HAS) diperingati pada tanggal 1 Desember di setiap tahunnya. Tentu saja hal ini menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV dan AIDS, mengakhiri stigma, menghormati orang dengan HIV dan AIDS (ODHIV) yang telah meninggal dan untuk menghormati kehidupan yang terkena dampak epidemi dimaksud. Adalah kebanggaan bagi kita semua karena ada kemajuan secara signifikan untuk mengatasi HIV dan AIDS. Tema HAS tahun ini adalah “Let Communities Lead” yang berarti “biarkan komunitas yang memimpin”. Maksud dari tema tersebut adalah dunia dapat mengakhiri AIDS dengan komunitas yang memimpin. Organisasi komunitas yang hidup dengan berisiko atau terkena dampak HIV adalah garis depan kemajuan dalam respon HIV (bdk. detik Jabar, 29/11/23)

Sebagai bagian dari masyarakat universal, masyarakat Kota Jayapura yang peduli dengan HIV dan AIDS juga memperingati (HAS) pada tanggal 1 Desember 2023. Ini merupakan bagian dari partisipasi dan kepedulian terhadap HIV dan AIDS. Patut diapresisasi bahwa ada begitu banyak orang yang peduli dengan isu HIV dan AIDS. Banyak ODHIV yang bangkit dan dapat melanjutkan aktivitas seperti biasa bahkan lebih sukses dari sebelumnya. Namun demikian perlu diingat bahwa, ada beberapa permasalahan yang cukup kompleks di dalamnya. Ada paradoks dalam kepedulian kita terhadap HIV dan AIDS di Tanah Papua, khususnya Kota Jayapura.

Read More
iklan


Pertama, Komisi Penanggulangan AIDS dan berbagai stake holder yang ada di Kota Jayapura perlu mengkaji ulang penggunaan diksi yang ramah komunitas ODHIV. Dalam beberapa kegiatan, seringkali penggunaan kata “penderita” melekat pada ODHIV menjadi penderita HIV. Pertanyaan muncul. Apa yang diderita oleh orang yang hidup dengan HIV? Jika mereka mengkonsumsi Anti Retrovitral (ARV) secara teratur dan mencapai tahapan supresi virus, mereka sama dengan orang yang hidup tidak dengan HIV bahkan daya tahan tubuhnya bisa melebihi yang lain. Jadi, apa yang membuat mereka bisa dikategorikan dengan “penderita?”


Selain diksi di atas, masih ada beberapa diksi dan slogan yang sudah tidak relevan. Hal ini harus dikaji ulang guna menyokong nilai kemanusiaan dan bukan untuk menggolkan program-program tertentu. Pada kesempatan ini pula saya ingin melemparkan pertanyaan pada kita semua. Apakah Hari AIDS Sedunia masih relevan? Mengapa tidak diganti menjadi Hari HIV Sedunia? Perlu diingat bahwa semua yang hidup dengan AIDS pasti memiliki HIV dalam tubuhnya tetapi yang hidup dengan HIV belum tentu memiliki AIDS. Ingat bahwa diksi ataupun terminology dapat menjadi mesin “pembunuh”.


Kedua, ada begitu banyak kepuasan ODHIV karena sudah mencapai tahapan supresi virus. Mereka mengkonsumsi ARV secara teratur dan ketika mengakses pemeriksaan viral load, jumlah virusnya sudah tidak terdeteksi. Hal ini tentu saja tidak menularkan karena jumlah virusnya sedikit. Ingat bahwa ada empat syarat penularan HIV, yaitu ESSE. Exit (pintu keluar), Suficient (jumlah virus), Survive (berapa lama virus bertahan hidup) dan Enter (pintu masuk).

Kepuasan tersebut dirasakan dan bahkan ada beberapa oknum yang menamai dirinya aktivis atau peduli dengan HIV dan AIDS tetapi lupa untuk melakukan pola perilaku hidup bersih dan sehat. Mengkonsumsi alkohol berlebihan dan jarang bahkan tidak menggunakan kondom sebagai pengaman saat berhubungan seks ketika mabuk alkohol menjadi fenomena yang menakutkan.

HIV memang tidak membunuh tetapi yang akan menjadi mesin pembunuh adalah kebiasaan-kebiasaan tersebut yang dapat memberikan peluang masuknya berbagai penyakit di dalam tubuh. Di satu sisi, menyuarakan agar orang sadar akan bahaya HIV dan AIDS tetapi di sisi lain menjadi aktor penyebaran penyakit-penyakit lainnya. Muncul pertanyaan, bagaimana oknum-oknum ini menjadi contoh bagi ODHIV baru? Apa tanggapan orang yang tidak terinfeksi HIV? Apakah kemudian ada peluang munculnya pemahaman baru bahwa meskipun hidup dengan HIV, orang masih bisa melakukan pola hidup tidak sehat? Dengan demikian, mereka merasa bahwa hidup dengan HIV ataupun tidak, untuk konteks ini sama saja sehingga tidak perlu mencegah hadirnya HIV dalam tubuh.


Ketiga, tentang tema “Let Communities Lead”. Patut disayangkan, pada tahun ini HAS dirayakan secara terpisah oleh KPA dan Dinas Kesehatan Kota Jayapura. Ada apa dengan alur koordinasi pada dua lembaga dimaksud? Terlepas dari dualisme tersebut, komunitas ODHIV harus menjadi prioritas utama dalam peringatan HAS tahun ini. Komunitas tidak boleh terkungkung dalam alur koordinasi vertikal yang selalu menjadikan HAS sebagai rutinitas tahunan belaka. Komunitas yang nota bene dianggap sebagai populasi kunci dihadirkan untuk mengisi beberapa acara.

Menurut hemat saya, ini lebih fokus ke arah ceremony. Jangan jadikan mereka sebagai orang-orangan sawah yang dikendalikan untuk mengusir hama. Momen ini adalah momen peringatan untuk menitikberatkan kepedulian pada tindakan (action speaks louder than words). Yang dibutuhkan saat ini adalah praksis di lapangan, bukan berdiri di belakang mike dan berkobar-koar. Perlu diperhatikan bahwa apakah angka Lost to Follow Up (LFU) meningkat dan apakah ada potensi kurang maksimalnya akses tes viral load bagi ODHIV? Apakah sudah ada strategi baru dalam meminimalisir angka Lost to Follow Up (putus obat ARV)?

Jika ada yang LFU, beban ketidakpatuhan semua dilimpahkan kepada ODHIV yang LFU ataukah juga pada layanan kesehatan yang tidak ramah? Apakah butuh akses psikologi dari psikolog untuk mendampingi ODHIV, aktivis dan juga tenaga layanan kesehatan? Ingat bahwa kesehatan fisik itu penting tetapi lebih dari itu, kesehatan mental juga penting. Sudah saatnya penggiat isu HIV dan AIDS di Kota Jayapura menaikkan levelnya pada ranah LFU dan U = U (Undetectable Equals Untransmitable atau tidak terdeteksi = tidak menularkan).


Keempat, apakah masih relevan ketika menempatkan LSL (laki seks dengan laki) dan waria dalam populasi kunci? Dari nilai rasa bahasa, apakah perlu dikaji ulang penggunaan frasa “populasi kunci?”


Kelima, perlu ada penyadaran bersama bahwa kehadiran lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada HIV dan AIDS adalah membantu pemerintah dan stake holder terkait. Perlu ada kerja sama yang jelas sehingga pola pendekatan yang dilakukan tidak hanya berfokus pada jumlah tetapi harus diimbangi dengan kualitas yang berdampak positif untuk mencapai beberapa hal, misalnya tidak ada infeksi baru, tidak ada kematian terkait AIDS dan tidak ada stigma dan diskriminasi.

Bertolak dari beberapa paradoks di atas, perlu digarisbawahi bahwa ada beberapa hal lain yang menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan secara bersama-sama. Di momen peringatan Hari AIDS Sedunia tahun ini, komunitas ODHIV harus mampu menjadi corong dan penyambung informasi sehingga semua pesan dapat tersampaikan kepada masyarakat yang belum terkapasitasi terkait HIV dan AIDS. Komunitas harus keluar dari jebakan euforia peringatan dan menjadi aktor di dunia nyata. Berkolaborasi dalam jaringan yang peduli dengan HIV dan AIDS itu penting namun demikian perlu diingat bahwa rasa kemanusiaan menjadi prioritas. Jangan korbankan rasa kemanusiaan hanya karena tuntutan program. *Bormeus Panpoi Mangdare
Penulis adalah pemerhati sosial yang bermukim di Kota Jayapura-Papua

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *