‘Saya tidak masalah mau NKRI harga mati, atau Papua Merdeka harga mati yang penting jangan ada yang mati’, demikian Lipiyus Biniluk, seorang pendeta senior di Papua dalam suatu kesempatan saya berbincang dengannya sekitar satu dekade yang lalu. Namun kenyataan berkata lain, laporan Gugus Tugas Papua-UGM (GTP-UGM) menyebut dalam 12 tahun terakhir konflik kekerasan di Papua telah menelan ratusan korban jiwa.
Berdasarkan laporan yang dirilis akhir Maret 2022 tersebut tercatat 464 korban jiwa dan 1.654 korban luka akibat beragam konflik di Papua sejak 2010 hingga pertengahan 2022. Diperkirakan jumlah sebenarnya bisa jauh lebih banyak dari itu karena penelitian GTP-UGM tersebut berdasar laporan media massa sementara tidak semua aksi kekerasan berhasil diliput media. Dari jumlah korban tersebut 70 persen adalah warga sipil, pelakunya beragam, mulai dari TPN-OPM, sesama warga sipil maupun TNI-Polri. Sumber lain tempo.co mencatat menjelang pertengahan tahun ini saja sudah 22 nyawa warga sipil melayang akibat konflik bersenjata di Papua. Masih menurut laporan GTP-UGM, motif dari tindak kekerasan tersebut sebagian besar adalah aksi separatisme.
Di tengah kondisi keamanan yang carut-marut tersebut isu besar lain soal Papua Kembali mencuat: pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Kamis 30 Juni 2022 DPR-RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang -DOB Papua menjadi Undang-undang DOB. Dengan demikian akan ada tiga provinsi baru di tanah Papua yakni Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Pendapat terpecah antara pro dan kontra terhadap pemekaran tiga provinsi baru di Papua, mereka yang kontra menuding proses pemekaran tergesa-gesa tanpa dasar kajian ilmiah yang jelas. Para akademis dan ilmuwan seperti Joseph Kristiadi peneliti senior CSIS dan Agus Sumule, dosen Universitas Papua dalam sebuah seminar yang diadakan Sekretariat Kabinet RI secara daring pada akhir Juli 2022 yang lalu, sama-sama mempertanyakan dasar kebijakan pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Pemekaran Papua tersebut. Di pihak lain mereka yang pro terutama dari pihak pemerintah mengatakan pemekaran daerah otonomi baru di Papua adalah sebuah kebutuhan yang mendesak karena pertimbangan politik, admistrasi, hukum dan keamanan.
“Pemekaran Jalur Akselerasi”
Sesuai UU Pemerintahan Daerah No. 23 tahun 2014 suatu daerah tidak dapat serta-merta ditetapkan menjadi daerah otonom, ada proses persiapan selama 3 tahun. Rentang waktu tersebut digunakan sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kelayakan daerah tersebut menjadi sebuah DOB. Namun pasal 93 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No. 106 tahun 2021 nampaknya membatalkan persyaratan pemekaran dalam UU Pemda tersebut. Di sana disebutkan bahwa pemekaran provinsi dan kabupaten serta kota di Papua ini dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan dan tanpa harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah.
Sangat jelas bahwa pemerintah memang berupaya mempercepat dan ‘memudahkan’ proses pemekaran di Papua. Pertanyaan penting sekarang adalah mengapa pemerintah demikian tergesa-gesa memekarkan Papua? Lalu apa kaitan antara kondisi terkini Papua terutama terkait keamanan dengan keputusan pemekaran yang “dipermudah” ini?
Salah satu dampak langsung dari pemekaran adalah penambahan unit-unit kerja TNI dan Polri mengikuti struktur pemerintahan sipil yang dimekarkan. Dalam konteks pemekaran yang menghasilkan tiga provinsi hampir pasti akan ada Polda yang baru, lalu untuk TNI, sangat mungkin akan ada Kodam baru lagi. Demikian juga untuk level dibawahnya, Polres hingga Polsek maupun Korem, Kodim hingga koramil baru tentu akan bertambah secara signifikan mengikuti penambahan jumlah kabupaten kecamatan dan kampung.
Hal ini senada dengan pernyataan pemerintah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin seperti dilansir sindonews.com secara terang-terangan menyebut pemekaran sebagai langkah mempercepat pembangunan termasuk pembangunan infrastruktur keamanan beserta kelembagaannya. Hal ini disebutnya sebagai upaya untuk memperbaiki pelaksanaan pendekatan territorial.
Apa yang penting kita cermati dari gagasan ini? Selain jumlah aparat keamanan yang meningkat dengan persebaran yang lebih merata, pendekatan territorial yang dimaksudkan ini juga punya kelebihan lain. Pasukan organik yang beroperasi di bawah struktur organisasi yang jelas lebih mudah dikontrol dan lebih akuntabel. DirekturImparsial Ghufron Mabruri dalam wawancara dengan Tempo, menilai kebijakan pengerahan pasukan non-organik selama ini memiliki banyak masalah. Tidak adanya akuntabilitas, kontrol, dan pengawasan membuat operasi pasukan non-organik rawan penyimpangan.
Senada dengan itu, komisioner Komnas HAM Choirul Anam juga kepada Tempo mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan yang mereka selama ini terima,pelaku kekerasan oleh TNI di Papua berasal dari satuan non-organik. Karena itu, dia juga menyatakan dukungan terhadap rencana Panglima TNI Andika Perkasa untuk memperkuat operasi teritorial dengan menjadikan pasukan organik sebagai tulang punggung.
Selain faktor organisasi serta alur tugas dan tanggungjawab yang jelas, kelebihan lain dari pasukan organik adalah mereka tinggal dan hidup berbaur dengan masyarakat dalam jangka waktu yang lebih lama. Mereka punya waktu dan kesempatan yang lebih untuk berkegiatan bersama masyarakat. Dari proses seperti itu dapat terbangun pemahaman dan komunikasi yang lebih baik antara aparat dan warga yang pada akhirnya dapat meminimalisir kekeliruan informasi serta kesalahan dalam operasi.
Dalam konteks inilah urgensi dan keuntungan dari pemekaran DOB di Papua bisa dilihat dari kacamata keamanan. Korban warga sipil yang terus bertambah akibat konflik bersenjata sudah seharusnya menjadi perhatian dan prioritas negara. Dalam situasi seperti itu kehadiran aparat keamanan adalah suatu keharusan. Kehadiran lebih banyak pasukan organik menjadi solusi mengurangi pengerahan pasukan non-organik yang secara struktur lebih sulit diawasi serta dikendalikan dan secara sosial kultural lebih sulit berbaur dan membangun komunikasi dengan warga. (Gusti Patading)
Penulis adalah Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pelita Harapan.