JAYAPURA,FP.COM- Di Provinsi Papua terdapat 14 Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) di bawah institusi Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. KPH ini terdiri dari 8 KPH Produksi dan 6 KPH Lindung. Pada pelaksanaan PON 2020 di Papua, 14 KPH ini turut berkontribusi dalam memproduksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan menjadi souvenir dan merchandise bagi peserta PON 2020 yang datang dari berbagai provinsi. Warga Jayapura atau wisatawan lokal yang tertarik dengan HHBK dari 14 KPH itu, dapat membeli produk HHBK hasil pendampingan 14 KPH itu di Galeri Kehutanan yang beralamat di Abepura.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Jan Jap Ormuseray bangga. Menurutnya, itu suatu keberhasilan, karena telah mengubah cara pandang masyarakat Papua saat ini terhadap hutan. “ Dulu pemahaman masyarakat, tebang pohon baru bisa dapat uang, tapi sekarang, dengan menanam pohon bisa dapat uang,” kata Ormuseray pada Rakernis Kehutanan di Jayapura, Senin(13/6/2022).
Klaim keberhasilan ini di satu sisi mendapat apresiasi, namun di sisi lain merupakan tantangan bagi para Kepala KPH. Dalam forum diskusi Rakernis itu, sejumlah Kepala KPH mengungkapkan sejumlah persoalan yang mereka hadapi di tingkat tapak. Mulai dari kelembagaan, kebijakan hingga finansial yang belum sepenuhnya mendukung kerja-kerja mereka di tingkat tapak.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Unit LIII Boven Digoel John Moesieri, mencontohkan proses Ikan Abon yang diproduksi kelompok dampingannya. Awalnya berat dan menciptakan keputusasaan. Karena setiap diadakan pertemuan untuk proses produksi, selalu ada permintaan biaya dari kelompok dampingan.
“ Pertemuan pertama hingga pertemuan ke-tiga, mereka minta uang duduk. Tapi waktu pertemuan ke-empat dan lima, mereka sudah tidak minta uang duduk lagi, karena mereka sudah dapat uang dari hasil jualan Ikan Abon itu,” jelas John.
Dalam hukum ekonomi, lanjut Jhon, kalau menggunakan hitungan untung rugi, tentu dirinya akan dianggap salah bahkan gila. Karena tidak ada keuntungan secara finansial, mengingat pengeluaran masih lebih besar dari hasil yang didapat.
“Namun untuk merubah orang Papua, kita harus menyampingkan sementara hukum ekonomi. Karena orang asli papua yang kami dampingi itu perlu pendampingan intensif dan dorongan lebih, hingga mereka mampu berdiri di atas kakinya sendiri,” tandasnya.
Jhon mengungkapkan, KPH Boven Digoel sejak 2021, sudah menghasilkan produk abon ikan mujair, abon ikan gabus, minyak lawang, noken dari kulit kayu melinjo. “Budidaya Melinjo ini menarik, karena ada 3 manfaat ekonomi yang didapat. Daunnya untuk sayur, bijinya untuk emping dan kulit kayunya untuk noken,” ujar lulusan S2 Ilmu Lingkungan dari Universitas Papua ini.
Tiga produk yang dihasilkan pada 2021, hampir 80 persen adalah hasil kolaborasi dengan mitra pembangunan. “Anggaran untuk KPH tidak besar, paling habis dipakai untuk pengembangan kapasitas. Karena itu, kolaborasi dengan mitra pembangunan ini yang menjadi keuntungan kami,” jelasnya.
Pria kelahiran Kampung Kou Boven Digoel ini menjelaskan, bahwa Abon Ikan yang diproduksi kelompok dampingannya sudah ada ijin dari BPOM, sehingga produk ini sudah bisa diedarkan di supermarket dan pasar lainnya. Pasar sementara masih di galeri kehutanan. Di Merauke juga sudah ada outlet untuk menjual Abon Ikan yang diproduksi kelompok binaan KPH Boven Digoel.
“ Beberapa waktu lalu saya sudah bicara dengan pihak Supermarket Mega Waena, dan mereka siap untuk menerima produk itu,” ucapnya senang.
Pada awal 2022, KPH Boven Digoel sedang mempersiapkan untuk produksi Pil Ikan Gabus. Ikan Gabus ini mengandung Albumen, yang dalam dunia kesehatan sangat dibutuhkan untuk proses penyembuhan luka. Sekarang sedang berproses untuk dapat ijin TR ( Obat tradisional dalam negeri) dari BPOM, agar pil ini bisa menjangkau pasar yang lebih luas.
Dijelaskan, permintaan pasar yang besar sebenarnya minyak lawang. Namun bahan bakunya masih sedikit, sehingga perlu ada upaya untuk pembibitan hingga penanaman.
Di KPH Boven Digoel, Jhon dibantu 8 staf, tentu ini tidak mudah. Karena itu, dirinya selalu mengingatkan para stafnya untuk bekerja lebih dari biasanya. “Kalau kita mau hasil yang luar biasa, kita tidak bisa kerja biasa-biasa saja, tapi harus terus memacu diri untuk bekerja lebih keras lagi. Perlu ada pengorbanan dan inovasi yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang baik,” ujarnya.
KPH Boven Digoel sudah memiliki 12 kelompok binaan, yakni usaha Minyak lawang dari Kampung Kou, Produk Noken dari dua kampung,yakni Kombut dan Sesnuk. Di Mandobo ada tiga kelompok untuk Abon dan pil ikan. Ada juga kampung untuk budidaya karet dan budidaya gaharu.
Saat ini di KPH Boven Digoel, menurut Jhon, tempat produksi yang masih terkendala, sehingga untuk sementara produksinya dikerjakan di Kantor KPH Boven Digoel. Ini akan dicarikan solusi secepatnya, mengingat syarat untuk dapat ijin dari BPOM harus memiliki rumah produksi sendiri.
“Sekarang sudah punya dua rumah produksi. Untuk produksi pil ikan gabus, harus dibangun juga rumah produksinya sendiri, agar kami bisa dapat ijin dari BPOM untuk produk Pil Ikan Gabus,” ujarnya. Karena itu, pihaknya masih terus berupaya mencari dukungan, baik dari Pemerintah sendiri maupun dari pihak lain.
Jhon yang lima tahun bekerja di Maluku ini mengatakan akan secara bertahap merubah masyarakat dari konsumtif menjadi produktif, dan mindset terhadap hutan juga bisa berubah.
“Saya bersyukur Tuhan memberikan saya hati untuk berbuat lebih. Dengan keterbatasan yang ada, saya tetap jalan mendampingi masyarakat untuk memberikan penguatan kapasitas agar mampu berproduksi. Kepuasaan bagi saya, karena produk yang jadi ini dikerjakan oleh orang Papua,” tandasnya.
Selaku aparat Pemerintah, dirinya akan terus mencoba menjadi drive pembangunan dan harapan masyarakat. “Mari kita sungguh-sungguh untuk melayani rakyat di bawah. Tidak bisa kita bilang mereka jangan tebang hutan, tapi mereka tidak dapat apa-apa, itu tidak bisa. Masyarakat sejahtera dulu baru kita bisa pikir soal kelestarian hutan,” tegasnya.*)