JAYAPURA, FP.COM – Tim dari Universitas Cenderwasih telah menyerahkan hasil kajian Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, Rabu (16 September 2020. Ada tiga komponen yang disusun dalam draft UU Otsus, yakni otonomi khusus, pemekaran dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Salah satu anggota tim kajian, Basirohmana, menjelaskan, revisi undang-undang otsus yang dilakukan pemerintah pusat bisa bersifat terbatas, yang mana berkaitan dengan anggaran (Pasal 34 ayat 3 huruf e), tapi tidak menutup kemungkinan untuk revisi parsial.
“Artinya, boleh dilakukan perubahan terhadap UU Otsus tapi tidak boleh lebih dari 50 persen,” jelas akademisi Fakultas Hukum Uncen ini.
Masih kata Basirohmana, gubernur sendiri punya keinginan untuk dilakukan revisi total (menyeluruh) dengan tetap melihat asas, tujuan dan prinsip-prinsip lain yang ada dalam undang-undang tersebut.
“Jadi, sekarang ada tiga bentuk revisi, yakni terbatas, parsial dan menyeluruh,” ujarnya.
Terkait daerah otonomi baru, Basirohmana dan kawan-kawan juga telah melakukan kajian dan telah menjadi naskah daerah (akademik) dengan pendekatan wilayah adat.
Menurutnya, ada baiknya jika pemekaran dilakukan mengikuti zona wilayah adat, yakni Saireri, Animha, Meepago, Lapago, dan Tabi. Dasarnya adalah pada pasal 76 UU Otsus yang menyebutkan; pemekaran provinsi harus memperhatikan empat hal, yakni kesatuan sosial budaya masyarakat, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan sumber daya ekonomi dan bagaimana pengembangan wilayah ke depan.
“Ini amanat UU Otsus, dan itu yang kami sudah kaji dan mendorong agar bisa dibahas lebih lanjut,” pungkasnya.
Tentang KKR, salah satu anggota tim, Prof Dr. Melkias Hetaria menyebut, pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sudah diamanatkan dalam Pasal 46 UU Otsus; Dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua, maka akan dibentuk tim KKR yang akan dibentuk lewat keputusan presiden atau peraturan presiden melalui usul Gubernur Papua.
Menurut Hetaria, isi draft itu berkaitan dengan rekonsiliasi dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua lewat komisi kebenaran, yang mana tugasnya untuk mengungkap kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi.
“Itu hal yang sangat penting, sebab tidak mungkin ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Ini yang kami bawa ke gubernur, dan semua tergantung pusat seperti apa, nanti kami lihat,” terang dosen Fakultas Hukum Uncen ini.
Di ruang kerjanya, saat ditemui wartawan, Gubernur Lukas Enembe mengatakan, hasil kajian tersebut akan dipelajari, lalu dibahas, sebelum dirumuskan untuk diserahkan ke pemerintah pusat. Dia berharap, dari kajian ini muncul solusi untuk masalah di Papua.
“Mungkin sebagian besar orang Papua minta merdeka, tetapi harus ada win win solution dari pemerintah pusat, yang terbaik untuk Papua, jangan kita minta merdeka terus kita jadi korban,” ujar Enembe.
Sebelum ini, Gubernur Papua dua periode itu juga telah mengajukan Otsus Plus kepada pemerintah pusat, yang sayangnya ditolak. Menurutnya, jika saja pemerintah pusat menerimanya, tidak akan ada masalah seperti sekarang. FPKontr3