JAYAPURA, FP.COM – Air muka Herman Saud tampak kurang ceria. Begitu kesan yang kami tangkap saat bertemu Kepala UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Taman Budaya Provinsi Papua, Rabu pekan ini. Kondisi itu bukan tanpa sebab. Sepengakuannya, lokasi kerjanya tengah menghadapi masalah pemalangan tanah, imbas tuntutan ganti rugi masyarakat yang merasa sebagai pemilik hak ulayat.
Herman Saud mengatakan, hingga kini, tak ada aktivitas di kantornya, dan itu berlangsung sejak akhir tahun lalu hingga Juli ini. Pun ketika mewawancarainya, kami harus menemuinya di Kantor Otonom Kotaraja.
“Selain palang kayu, aksi masyarakat lain semisal tumpukan sirtu (kerikil) di depan pintu masuk, itu dimulai dari Desember 2021 minggu ke tiga. Di pintu belakang mereka masuk tanam bunga di depan ruangan kantor dan juga di depan area panggung atraksi,” ungkapnya.
Ia menyesalkan aksi pemalangan tersebut. Menurutnya, sebagai pusat pengembangan budaya dan kesenian, sebuah taman budaya seharusnya berfungsi sebagai pusat kreatifitas anak muda dan tempat masyarakat mendapatakan hiburan melalui kegiatan atraksi. Bahkan, setiap kali ada event di gedung teater, mereka harus menyiapkan anggaran sebesar lima juta rupiah dari tuntutan 20 juta rupiah.
“Tuntutan-tuntutan masyarakat ini bukan baru, dari sebelum-sebelumnya.”masyarakat perlu memahami bahwa pengambil kebijakan itu adalah Gubernur dan Sekda, bukan Kepala Taman Budaya dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata”,kata Herman.
Meski demikian, ia berlogika, pemerintah tak mungkin membangun di atas tanah yang bermasalah.
“Bangunan berdiri saja itu sudah sah, kalau bangunan belum berdiri berarti tanah itu statusnya belum jelas, bangunan itu adalah simbol dari status tanah itu. Pemerintah tidak pernah membangun sesuatu di atas tanah yang tidak bersertifikat. Kalau pemerintah bangun berarti itu statusnya sudah final,” ujarnya.
Taman Budaya ini dibangun sejak tahun 1982 dan diresmikan tahun 1984 di masa Papua masih bernama Irian Jaya. “Kala itu belum ada pelepasan adat,” status dulu itu tidak ada pelepasan, masih pakai berita acara, tanda tangan kedua belah pihak, baru sertifikat keluar,” jelas Herman.
Pemerintah Provinsi Papua sendiri telah mengupayakan mediasi dengan pemilik hak ulayat pada April lalu. Asisten I Gubernur Papua mengadakan pertemuan bersama Biro Asset dan juga Biro Hukum bersama para Ondoafi untuk meluruskan status tanah di Ekspo Waena itu.
Disebutkan Herman yang ikut pada pertemuan itu, bahwa pemerintah provinsi lewat bidang asset menyatakan tidak mungkin lagi membayar tanah tersebut.
“Kami tidak bisa membayar karena tanah itu sudah sah milik pemerintah, ada bukti-bukti suratnya.”
“Jika kami membayar dengan objek (tanah) yang sama maka KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan tangkap kami (pemerintah provinsi).”
“Pak Asisten waktu itu bilang, semua bukti sudah tersedia, jika ada yang kurang, silakan pihak adat bawa persoalan ini ke pengadilan. Pemerintah Provinsi siap menaati keputusan hukum,” tambahnya.
Pemalangan itu juga berdampak lebih jauh, di mana pihak Taman Budaya tidak lagi menerima kucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik dari Direktorat Kebudayaan. Herman Saud pun mengharapkan adanya dukungan dana Otsus dalam pengembangan budaya dan seni di Tanah Papua melalui UPTD Taman Budaya.
“Kami ini setiap tahun ketergantungannya dengan dana pusat. Ini kembali ke tim anggaran di Bappeda dan oknum-oknum tertentu di dinas.”
“Kepala dinas memang sebagai pengguna anggaran, tapi kan yang bagi-bagi anggaran itu orang di bawahnya, jadi bagaimana mau lihat bidang mana yang lebih produktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Kita ini hanya kerja di atas kertas”,pungkas Herman (*)