Tahun 2005 untuk pertama kalinya Persipura mengukir sejarah dengan menjuarai kompetisi sepakbola di kasta tertinggi sepakbola Indonesia, Divisi Utama Liga Indonesia di bawah asuhan pelatih Rahmad Darmawan.
Keberhasilan menjuarai Liga Utama itu tidak terlepas dari kepiawaian sang pelatih merekrut para bintang generasi emas sepakbola PON Papua yang menyabet medali emas ( Juara bersama Jatim) pada PON XVI 2004 di Sumatera Selatan.
Rahmat Darmawan tahu persis, para eks Juara PON XVI masih segar bugar dan memiliki fisik yang masih sangat prima, kemudian ditambah beberapa senior dan pemain asing berkualitas, dan itu terbukti. Persipura muncul sebagai tim paling sangar dan ditakuti oleh semua tim Divisi Utama Liga Indonesia.
Momentum 2005 inilah yang menurut saya menjadi titik awal kebangkitan Persipura selama 17 Tahun merajai kasta tertinggi sepakbola Indonesia hingga 2022. Empat kali menjuarai Liga Utama Indonesia, menjadikan Persipura sebagai tim yang paling banyak menjuarai Liga Utama Indonesia hingga saat ini.
Nama Jendri Pitoy, Jack Komboy, Mauli Lessy, Victor Igbonefo, Ridwan Bauw, Christian Worabay, Marwal Iskandar, Eduard Ivakdalam, Erik Mabenga, Boaz Solossa Christian Lenglolo, Ian Kabes, Korinus Fingkreuw, Rikardo Salampessy dan sederet eks pemain PON Papua 2004, terukir indah di hati Persipura mania dan seluruh warga Papua.
Efek kebangkitan Persipura pada 2005 itu, bukan hanya dirasakan para pemainnya, tapi juga kepada mereka yang terlibat dan berkontribusi pada pencapaian Persipura. Beberapa diantaranya, seperti Rahmat Dharmawan, nilai kontrak sang pelatih melejit tajam,dan mengantarnya sebagai pelatih lokal dengan bayaran terbesar di Indonesia.
Nama Ketua Umum Persipura, MR Kambu menjadi terkenal, dan terpilih 2 periode sebagai Walikota Jayapura. Demikian halnya dengan Benhur Tommy Mano, dari Ketua Panpel Persipura saat menjadi Kadispenda Kota Jayapura di masa kepemimpinan MR Kambu hingga menjadi Walikota Jayapura 2 periode, tak lepas dari efek prestasi Persipura itu. Efek Persipura juga juga dirasakan oleh Jack Komboy yang kemudian berhasil duduk di kursi legislative. Dan ada berbagai individu, baik secara pribadi dan organisasinya atau usahanya yang sukses karena efek Persipura.
Namun menariknya, kepastian Persipura turun ke Liga II terjadi dua bulan sebelum akhir masa Jabatan BTM sebagai Walikota Jayapura, Mei 2022. Memang tak ada hubungannya, tapi situasi itu menjadikan acara lepas sambut jabatan menjadi kurang menarik dan hampa. Seperti sayur tanpa garam, demikian pula yang dirasakan Walikota Jayapura.
Saya tidak tahu apa yang dirasakan BTM kalah itu, tapi saya bisa membayangkan BTM seperti berjalan dengan satu kaki dan kehilangan semangat. Situasi itu berlanjut hingga musim Liga II bergulir. Persipura bahkan sampai terseok-seok menghadapi Liga II musim 2023/2024. Lambannya persiapan, keterlambatan mendapatkan sponsor hingga soal perekrutan pelatih dan pemain, adalah segumpalan persoalan yang muncul dari kehilangan semangat itu.
Dukungan Persipura Mania
Ketika Persipura menghadapi masa-masa sulit, tidak nampak gerakan dari Persipura Mania. Kalaupun ada, hanya sebatas heboh dan ribut-ribut di media social. Jadi kesannya Maniak Media Sosial, bukan Persipura Mania seperti yang diharapkan.
Melihat perkembangan Persipura dan dinamikanya dari 2005 hingga Januari 2024 ini, saya teringat dengan istilah Klientelisme Politik di Argentina seperti dalam ulasan Yogi Setya Permana, seorang peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI (Dalam tirto id, Januari 2019).
Menurutnya, salah satu penopang klientelisme politik di Argentina adalah infrastruktur sepak bola. Keterbatasan infrastruktur organisasi partai-partai politik yang baru terbentuk di Argentina pada awal abad ke-20 membuat mereka “menumpang” pada infrastruktur organisasi sepakbola yang lebih dulu mapan dan berbasis lingkungan pemukiman ( barrios).
Para pengurus klub mulai dari Presiden klub hingga official biasa dipilih secara langsung oleh semua anggota masyarakat. Partai politik memainkan peranan dominan dalam pemilihan, karena di sinilah para politikus memiliki kesempatan untuk mengkampanyekan dirinya untuk pemilu, meraih konstituen, membangun jaringan dan mendapatkan loyalitas.
Nyaris seluruh Presiden klub dan Direktur Klub yang terpilih adalah politikus. Politisi yang terpilih kerap disebut dengan padrino karena memiliki akses terhadap sumber daya dan mampu mendistribusikannya kepada kaum miskin. Oleh karena itu, dalam sistem klub direct supporter seperti itu, peran kelompok suporter menjadi sangat krusial bukan saja bagi keberlangsungan klub, namun juga karir para politikus.
Persis pada titik inilah, fenomena barras brava dalam politikyang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai ‘fierce opponents’ menguat di Argentina pada 1980-an.
Barras brava adalah organisasi formal suporter pada tiap klub sepak bola Argentina dengan barrios-nya masing-masing yang terkenal loyal, militan, dan tak ragu terlibat dalam aksi-aksi kekerasan. Barras brava inilah yang kemudian menjadi simpul penting dalam jaringan klientelisme politik.
Dalam konteks politik populisme Argentina hari ini, mobilisasi massa menjadi faktor yang sangat krusial. Menguatnya barras brava beriringan dengan semakin kuatnya fungsi sosial dari klub sepak bola di masing-masing barrio, tak hanya sebagai olahraga semata tapi juga sebagai entitas sosial-politik yang menjadi bagian dari jalur distribusi fasilitas kebutuhan dasar bagi warga lokal nya dalam skema jaringan klientelisme.
Praktik politik klientalisme di Argentina semakin menguat sejak tahun 1990-an ketika Carlos Menem mengeluarkan kebijakan-kebijakan neoliberal yang membuka jalan bagi politisi untuk memperkuat jaringan ke akar rumput. Di Argentina, praktik politik semacam ini tak hanya dimaknai sebagai transaksi ekonomi, melainkan juga—dalam perspektif kaum miskin—sebagai solusi untuk semakin tidak terjangkaunya kebutuhan dasar.
Menurut Yogi, baik di Indonesia maupun Argentina, struktur/pola pengorganisasian dan kultur kelompok ternyata menjadi hal krusial dalam politisasi suporter sepak bola.
Dirinya mencontohkan Pemilukada Kota Batu 2017, struktur atau pola pengorganisasian dan kultur kelompok inilah yang menjadi batas dari Aremania untuk bisa digunakan sebagai alat mobilisasi politik. Dua faktor ini juga menjelaskan mengapa kelompok-kelompok suporter sepak bola lain di Indonesia dianggap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politikus.
Barras brava dilembagakan dengan struktur hierarki yang ketat, rantai komando yang kuat, dan mengadopsi gaya militeristik. Ketuanya pun menyandang julukan El Jefe. Anggotanya direkrut melalui rangkaian tes untuk menguji komitmen serta strategi calon yang bersangkutan agar memperoleh status ‘militan profesional penuh waktu’. Calon anggota, misalnya, wajib mengerjakan tugas-tugas ‘kecil’ seperti melakukan vandalisme atas kereta api. Selanjutnya, mereka akan diberikan tugas khusus seperti terlibat dalam perencanaan serangan serta pengorganisasian kegiatan mingguan. Calon anggota yang bisa lolos semua rangkaian ujian dipandang memiliki loyalitas serta komitmen yang tinggi terhadap organisasi dan pemimpinnya.
Dengan struktur organisasional yang ketat dan sistem komando yang kuat, kelompok ini bisa digunakan sebagai mesin politik jika ketuanya bisa terkooptasi dalam jejaring klientelisme. Struktur atau pola organisasi barras brava membuatnya relatif mudah dan efektif untuk digerakkan walau jumlah anggotanya sangat banyak. Lawan-lawan politik pun takut dengan intimidasi yang mereka lakukan.
Motivasi politik barras brava dilatarbelakangi oleh ikatan dengan pemilik klub yang membutuhkan dukungan suporter untuk kepentingan elektoral atau demo pesanan. Imbalannya, Barras brava akan mendapatkan bayaran dan bantuan ekonomi baik berupa uang tunai atau fasilitas lainnya. Keuntungan ini di luar uang bulanan dan hasil penjualan tiket sepak bola yang rutin mereka dapatkan.
Banyak studi telah menjelaskan barras brava sebagai entitas oportunis, bahkan ‘serdadu bayaran’ (mercenaries). Mereka mengabdi kepada para para patron (padrinos)yang bisa mendistribusikan paling banyak sumber daya. Barras brava juga harus mendistribusikan sumber daya dari para padrinos-nya sampai ke barrios.
Aremania berbeda. Mereka tidak memiliki struktur/pola pengorganisasian dan kultur kelompok yang mendukung terjadinya politisasi secara intensif. Aremania, yang lebih egaliter dan non-hirarkis, tidak memiliki struktur organisasi yang ketat. Tak ada pula ketua umum dan pengurus pusat. Mereka terdesentralisasi dalam cabang-cabang yang tersebar di seluruh Malang Raya dalam bentuk korwil-korwil yang sifatnya otonom sehingga sulit untuk dimobilisasi secara mutlak.
Aremania memiliki acuan prinsip nilai tertentu atau kultur kelompok seperti “No leader just together”. Selain itu, ada hukum tidak tertulis yang melarang membawa Aremania ke dalam politik praktis. Hukum tidak tertulis ini masih dipegang oleh para anggota Aremania hingga saat ini. Secara historis, Aremania memang didirikan untuk melampaui sekat-sekat politik sehingga bisa tetap eksis sebagai identitas yang menyatukan berbagai fragmen masyarakat Malang Raya.
Kecenderungan Aremania nampaknya bisa menjadi peringatan bagi politikus Indonesia. Tak perlu menghabiskan energi dan sumber daya finansial untuk mempolitisir suporter sepak bola karena memang mereka sulit diseret untuk kepentingan politik. Para suporter rupanya sadar bahwa masuknya politik ke dalam sepak bola justru hanya akan memecah belah rajutan kolektif yang sudah bertahun-tahun berusaha diciptakan.
Salah seorang narasumber di lapangan pernah mengatakan: “Suporter sepak bola ibarat pasir. Semakin erat digenggam, semakin lepas terurai.” Tulis Yogi.
Lalu bagaimana dengan Persipuramania? Menurut saya, Persipuramania sangat berbeda dengan Aremania. Persipuramania terpecah dengan berbagai kepentingan individu, kelompok dan anggota-anggotanya. Banyak anggota Persipuramania yang benar-benar murni bebas dari kepentingan politik, tapi tak sedikit pula koordinator dari berbagai cabang Persipuramania yang “memanfaatkan” atau “dimanfaatkan” dalam situasi politik.
Kondisi ini yang kemudian melemahkan kekuatan Persipuramania dalam mendukung tim Persipura Jayapura keluar dari persoalan yang dihadapi. Meskipun diakui ada praktik politik klientalisme, tapi tidak murni untuk mendukung sepakbola, tapi lebih pada pemanfaatan sepakbola untuk kepentingan individu dan kelompok. Jadi kondisinya sangat berbeda dengan Barras Brava di Argentina.
Lalu apa hubungannya dengan Pemilu 2024? Sebagaimana diuraikan di awal, bahwa efek Persipura saat menjuarai Divisi Utama Liga Indonesia 2005, begitu luar biasa hingga mengangkat karir para pihak yang terlibat dalam kesuksesan itu. Tetapi kondisi saat ini berbeda, ketika para pihak yang terlibat dalam tim Persipura sedang menghadapi proses Pemilu 2024 yang tinggal beberapa hari lagi, pada saat yang sama Tim Persipura Jayapura justru dalam keadaan genting dan tengah berjuang untuk lolos dari jurang degradasi Liga II Indonesia. Situasi ini sangat mungkin mempengaruhi pemilih dari kalangan pencinta Persipura
Bila melihat ke belakang, MR. Kambu terpilih sebagai Walikota Jayapura pada periode kedua, ketika Persipura di masa jaya. Demikian juga dengan mendiang istrinya yang terpilih sebagai anggota legislative bahkan menduduki jabatan Ketua Dewan Kota Jayapura, tak lepas dari efek Persipura. Sama halnya dengan BTM, yang mulus menduduki Jabatan Walikota selama dua periode, dan istrinya yang terpilih sebagai anggota legislative provinsi, juga karena efek Persipura. Jack Komboy juga demikian terpilih karena efek Persipura.
Pertanyaannya, apakah efek Persipura akan terasa lagi di Pemilu 2024? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak, karena sejatinya praktik politik klientalisme tidak hanya terjadi di sepakbola, tapi juga di luar dunia sepakbola. Kita tunggu saja hasil Pemilu 2024!
Oleh : Alberth Yomo/Pimpinan Redaksi Fokus Papua