Kartika Monim, Legenda Hidup Voli Papua, Penentu Emas Sea Games 83

Kartika Monim memamerkan medali emas Sea Games kebanggaannya/dok

Cabang olahraga voli memang tak setenar sepak bola. Mungkin itu pula yang membuat nama Kartika Monim tak dikenang banyak orang layaknya olahragawan Papua di tahun 80-an semisal Timo Kapisa, Yohanes Auri, Metu Duaramury, Rully Nere. Bahkan, dibanding seniornya, Olce Rumaropen (alm), kaptennya di tim nasional yang sekaligus adalah idolanya, Kartika masih kalah pamor.

Read More
iklan

Namun, soal prestasi, dibanding deretan nama-nama beken tadi, bolehlah diadu. Tak berlebihan jika ia dimasukkan ke dalam jajaran legenda olahraga Papua. Tika Monim, panggilannya, merupakan salah satu pilar tim nasional bola voli Indonesia era lawas. Puncak karirnya terjadi di tahun 1983 ketika ia memperkuat tim nasional Indonesia di ajang Sea Games Singapura 1983. Ketika itu, di final, Tika dan kompatriotnya seperti Luciana Taroreh, Husia Arbi, Nunung Legowo, Angela Muskita, Ira S. Yulanda, Syafrini serta Olce Rumaropen membungkam tim nasional Filipina dengan skor dramatis 3-2 (15-3, 8-15, 6-15, 15-11, 15-11). 

Gelar juara itu terasa sangat spesial mengingat kala itu, hegemoni Filipina sangat kental di Asia Tenggara. Sebelumnya, Violeta Rastrullo dan kawan-kawan mengoleksi medali emas Sea Games tiga kali beruntun. Indonesia tidak diunggulan untuk memenangi laga final itu.

Tim nasional Indonesia di Sea Games XII Singapura 1983

Tika Monim ingat betul detik-detik ia dan kawan-kawan merebut medali emas itu. Dengan mata berbinar-binar, ia berbagi kisah dengan Fokus Papua, tengahan bulan ini.

Pertandingan final pada set kelima itu sungguh ketat. Indonesia sedang unggul dua poin, pada kedudukan 13-11. Keuntungan ada pada tim Indonesia. Mengejar dua poin terakhir itu, giliran Tika yang mengambil pukulan servis. Dari tengah lapangan, sang kapten Olce Rumaropen berteriak: “Tika, fight…fight!”.

Disahut oleh Tika: “Siap!”.

Sejujurnya, Tika merasa tegang. Untuk melakukan tugas itu, dibutuhkan mental yang sangat kuat. Ironisnya, Tika masih sangat muda saat itu, baru 19 tahun, ia masih tercatat sebagai pelajar kelas 2 pada sekolah menengah atas. Sampai ia harus berdoa dalam hati sebelum melakukan pukulan. Doanya terkabul, bola servisnya yang keras tak mampu dibendung pemain lawan. Poin bertambah. Match point. Hanya butuh satu poin lagi bagi anak asuh Yopie Hehanusa dan Leo Maspaitella untuk merebut gelar juara.

Tika kembali melakukan servis. Kali ini bolanya dapat ditahan pemain lawan, namun akibat lajunya yang keras, bola langsung kembali ke area permainan tim Indonesia. Olce dan rekan-rekan mengontrol bola. Tika Monim yang mendapat bola kedua kemudian memberi umpan manis kepada Lusiana Taroreh yang berhasil menutup pertandingan dengan sebuah smash keras yang menghujam ke bidang permainan lawan. Itulah medali emas terakhir dari cabang olahraga voli putri di Sea Games bagi Indonesia dalam kurun 37 tahun terakhir.

Foto saat memperkuat Timnas di Kejuaraan Asia 1983

Tiga bulan setelah pencapaian di Singapura itu, Tika Monim dan rekan-rekannya berangkat ke Jepang, mengikuti kejuaraan Asia. Kali ini mereka di bawah asuhan sang pelatih asal Jepang Mitshu Mori. Tetapi, lawan-lawan yang dihadapi kali ini levelnya jauh di atas pemain kita. Di samping tuan rumah, bercokol raksasa lain seperti China dan Korea Selatan.

“Di Jepang itu semua pemain kelas dunia, kita hanya mampu di urutan dua belas,” aku alumni SMA Negeri 3 Sentani ini.

Dari mana Tika mengenal olahraga bola voli? Ia lagi-lagi bertutur. Katanya, permainan bola voli digemarinya sejak kecil. Saban sore, di kampung Ebungfau, Jayapura, ia pasti berada di lapangan. Tetapi, jangan bayangkan Tika dan kawan-kawan menggunakan bola voli dan jaring sungguhan. “Bola kita buat dari anyaman daun kelapa.” 

“Net (jaring) kita pakai gabah (bambu),” sambungnya.

Jumlah pemain tiap regunya pun bukan enam seperti layaknya voli konvensional. “Hanya empat orang, sebelah dua, sebelah lagi dua, bisa campur putra-putri,” kenangnya sembari tertawa.

Rupanya, semangat Tika terlecut dengan penampilan sang senior, Olce Rumaropen. “Setiap kali Olce muncul di layar televisi, Bapa bilang: kamu harus seperti itu.”

Debut Tika di lapangan bola Voli terjadi pada tahun 1981, walaupun hanya di turnamen antarkampung. Ia tergabung di klub Putali besutan trio Laurens Monim, Yosephus Monim, dan Mathias Monim itu. Dari klub Putali, bakatnya terendus oleh pelatih voli Kabupaten Jayapura Yohanes Tukayo. Ia kemudian terpilih mewakili Kabupaten Jayapura di ajang Pekan Olahraga Daerah (PORDA).

Penampilan ciamiknya di PORDA lagi-lagi menarik perhatian. Kali ini, pelatih bola voli Provinsi Irian Jaya ketika itu, Rudi Wacano (alm) yang meminangnya ke dalam skuatnya. Tangan dingin Rudi Wacano membuat Tika semakin bersinar, kemampuannya sebagai spiker (penyerang) makin yahud.

“Bapa Wacano itu luar biasa. Satu-dua minggu kita tidak datang, beliau langsung mengunjungi ke rumah-rumah, itu ke kampung dengan johnson,” ujar Tika mengenang mantan pelatihnya itu.

Medio Agustus 1981, Tika dimasukkan dalam skuat Irian Jaya untuk Kapolri Cup di Jakarta. Di turnamen ini, Irian Jaya hanya merengkuh posisi ketiga, namun dari sinilah nama Tika mulai dikenal setelah dinobatkan sebagai pemain terbaik dan juga smasher terbaik.

“Pialanya saya persembahkan untuk masyarakat Putali, jadi ada taruh di sana,” ujar wanita kelahiran 4 Januari 1963 di Ebungfau ini.

Dalam tempo yang terbilang singkat, karir Tika melejit, dari pemain kampung, kini diperhitungkan di level nasional. Tak pelak, potensi pemilik lompatan bak kuda terbang ini terpantau Komite Olahraga Nasional (KONI) Pusat.

Ia didaftarkan ke tim nasional yang dipersiapkan untuk kejuaraan dunia di Peru. Sayangnya, Tika harus mengubur mimpinya tampil di ajang internasional itu setelah dicegah oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Papua. Alasannya terbilang sepele, KONI Papua khawatir, Tika akan direkrut provinsi lain untuk Pekan Olahraga Nasional yang  tinggal sebulan lagi. Tetapi, alasan KONI Papua juga cukup mendasar, tak ingin kecolongan kedua kali. Sebelumnya, pemain andalannya, Olce Rumaropen, lepas. Dibajak Provinsi Sulawesi Selatan.

Usai memperkuat tim Irian Jaya di Pekan Olahraga Nasional X di Jakarta, nama Tika Monim sempat menghilang. Tetapi, keberuntungannya belum habis. Suatu ketika, di Januari 1983, datang juga undangan dari pusat untuk ikut Pelatihan Nasional (Pelatnas) yang dipersiapkan untuk Sea Games XII di Singapura yang kemudian berbuah medali emas.

Loyalitas Tika untuk Irian Jaya benar-benar terjaga. Selain PON X, ia memperkuat daerahnya itu di dua PON selanjutnya, termasuk tim voli pantai di PON XII berpasangan dengan Imelda Monim. Padahal, sebagai pemain yang empunya kelas istimewa, ia bisa saja menyeberang ke provinsi lain yang punya tawaran lebih menarik.

Momen ketika Kartika Monim bermain untuk tim nasional di Kejuaraan Asia di Jepang

Sejatinya, postur tubuh Tika tidak terlalu ideal untuk pemain bola voli, apalagi untuk posisi spiker yang layaknya bertubuh jangkung. Tingginya hanya 163 centi meter. Namun, kekurangan Tika itu ditutupi dengan lompatan tinggi dan pukulan yang super keras. Tidak hanya dari smash, ia juga  kerap mencetak poin dari bola servis.. Mungkin itu yang membuat pelatih voli puteri nasional Yopie Hehanusa dan Leo Maspaitella kepincut. Tika bahkan kerap masuk sebagai pemain inti. Di tim nasional Tika menggunakan nomor punggung tujuh, nomor favoritnya sejak masih memperkuat dari PORDA, dan juga PON.

“Itu nomor keberuntungan saya. Ceritanya, waktu di PORDA, semua sudah ambil nomor, hanya nomor 7 yang tersisa, jadilah saya ambil,” kata anak ke 3 dari 7 bersaudara ini.

***

Sebagai mantan pemain, tentu saja Kartika masih mengamati perkembangan bola voli. Menurutnya, keadaan sudah jauh berbeda.  

“Semua tergantung dari pelatih, kadang pelatih mereka cari orang yang mampu tapi tidak pernah mengembangkan prestasi. Tidak pernah seperti kita dulu. Pelatih sekarang tidak, mereka hanya uang saja, mereka tidak pernah lihat prestasi anak,” kritik Ibu dari enam anak ini.

Ia berharap, tim voli Papua dapat meniru sepak bola Papua yang cukup berprestasi di kancah nasional. “Kita ini punya potensi. Dari pada bayar pemain untuk bawa nama Papua, anak-anak kita ini yang dibina.”

Ia pun menitipkan harapannya kepada KONI Provinsi Papua dan pemerintah agar memberdayakan para mantan atlet yang telah berprestasi mengharumkan nama Papua.

“Kami yang mantan-mantan atlet ini tidak pernah diberdayakan. Coba dipanggil, kita sama-sama membangun rencana pengembangan olahraga, khususnya cabang olahraga voli di Papua ini yang lebih baik lagi,” tutupnya. (*)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *