Kembali Menganyam “Mji Wata”, Bubu Tradisional yang Terlupakan

Wujud dan ukuran bubu tradisional suku Maybrat (Sumber: Basna, dkk, 2020)

Tak banyak lagi yang tahu bagaimana membuat perangkap ikan tradisional ini, nyaris tak lagi dipakai, tergilas perkembangan zaman dan teknologi.

Perubahan sosial dan lingkungan adalah tantangan terbesar dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat di Tanah Papua. Terutama terkait ekspansi ilmu, pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dari luar komunitas serta penerapan kebijakan yang diangggap tidak ramah (adaptif) terhadap lingkungan dan budaya sehingga berdampak pada akselarasi degradasi lingkungan dan pengetahuan lokal masyarakatnya.

Read More
iklan

Ketergantungan masyarakat lokal terhadap pemanfaatan SDA hutan sampai saat ini masih sangat tinggi, misalnya penggunaan tumbuhan palem oleh Suku Maybrat dalam pembuatan bubu (perangkap ikan) tradisional yang banyak mengalami perubahan karena pengaruh IPTEK saat ini.

Pemanfaatan bubu sangat penting bagi Masyarakat Ayamaru, terutama masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di sekitar Danau Ayamaru yang menggunakan bubu sebagai alat untuk penangkapan ikan dalam memenuhi kebutuhan hidup sub-sistem. Tulisan ini bertujuan mendeskripsi proses pembuatan bubu tradisional suku Maybrat, mengingat kebiasaan menutur dan menulis pada masyarakat Papua yang masih minim sehingga banyak nilai-nilai kearifan lokal yang hilang.

Maybrat sesungguhnya berasal dari kata Mai-Brat, berdasarkan hasil kajian studi bahasa yang dilakukan Brown (1991) dalam proyek Summer Institute of Linguistics (SIL) bersama Universitas Cenderawasih. Bahasa Mai Brat adalah salah satu bahasa yang terbesar di Papua Barat khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Ayamaru. Kelompok masyarakat ini berkembang menjadi salah satu kelompok suku besar di Papua Barat dan terbagi dalam 3 (tiga) sub-suku yaitu Ayamaru, Aitinyo dan Aifat.

Kelompok Suku Maybrat mendiami daerah pedalaman Kepala Burung yang mencakup suatu bentangan wilayah dari tepian Timur Kamundan di Timur hingga ke Sun dan Waban di Barat; dari kaki Pegunungan Tambrauw di Utara hingga ke sekitar Danau Ayamaru di Selatan. Ketiga sub-suku ini memiliki satu budaya, bahasa dan adat-istiadat serta mata pencaharian yang sama, misalnya “Mkah ora” atau sistem berkebun secara tradisional. Suku Maybrat juga memiliki mata pencaharian sampingan “Mofot syoh” atau menangkap ikan.

Praktek pemanfaatan tradisional yang dilakukan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungan hutan sebagai sumber utama kebutuhan mendasar masyarakat. Namun pembangunan yang masif tanpa perencanaan yang baik, banyak merubah pengetahuan masyarakat terutama dalam praktek penangkapan ikan dengan memanfaatkan tumbuhan palen atau yang dikenal dengan sebutan “mji wata”.

Proses konstruksi pembuatan anyaman bubu dilakukan dalam dua tahapan secara terpisah yaitu anyaman bubu (wata) dan anyaman penutup bubu (watmaku). Dalam proses anyaman bubu digunakan 3 (tiga) jenis palem yaitu Srah (Hydriastele pinangoides Becc. W. J. Baker & Loo.), Bomifra (Becc.) dan Bosin (Korthalsia zippellii Burr.), sementara dalam proses anyaman penutup digunakan 2 (dua) jenis palem yaitu Bomifra dan Bosin.

Menganyam bubu Mji Wata (Foto: Basna dkk, 2020)

Selain jenis-jenis ini, masyarakat juga menggunakan tumbuhan rotan Calamus keyensis Becc (Bofake) untuk pembuatan bubu tradisional jika jenis utama sulit diperoleh pada habitat alami hutan di sekitar pemukiman penduduk. Jenis-jenis tersebut telah digunakan oleh masyarakat khusunya di Kampung Mapura secara turun-temurun. Proses pembuatan bubu dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat sederhana dan dilakukan dalam beberapa tahapan dimulai dari proses: (1) pengambilan, (2) pembersihan, (3) pemotongan, (4) pengangkutan, (5) pembelehan, (6) pengikisan, (7) penganyaman bubu (8) penganyaman penutup bubu (9) penangkapan ikan menggunakan bubu. Secara singkat tahapan proses pemanfaatan palem dalam pembuatan bubu tradisional suku Maybrat.

Suku Maybrat membuat bubu dalam tiga ukuran berbeda, yaitu ukuran besar, sedang dan kecil sebagai bentuk adaptasi masyarakat dalam memanfaatan jenis palem sebagai bahan utama pembuatan alat tangkap ikan tradisional secara khususnya pada aliran sungai di sekitar danau Ayamaru sebagai konsep kearifan lokal yang masih dipertahankan sampai saat ini.

Bentuk ukuran bubu disesuaikan dengan lingkungan ekologi areal tangkapan terkait letak dan kondisi daerah aliran sungai. Bubu dengan ukuran besar umumnya memiliki tinggi rata-rata160 cm dengan diameter 60-70 cm dipasang pada aliran sungai yang cukup besar. Sementara pemasangan bubu untuk ukuran sedang memiliki tinggi 100-120 cm dengan diameter 30-40 cm, dan berukuran kecil yang memiliki tinggi 50-60 cm dengan diameter 25-30 cm dipasang pada aliran dengan debit air yang relatif kecil.

Batasan kearifan lokal pemanfaatan tumbuhan (palem dan rotan) dalam proses adaptasi terhadap lingkungan terutama pembentukan pengetahun lokalnya yang tidak sekadar berdimensi kognitif semata, tetapi juga berdimensi nilai konservasi lokal tentang sistem penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perubahan mendasar yang diungkapkan dalam tulisan ini lebih pada kepemilikan pengetahuan individu dalam tatanan lokal masyarakat itu sendiri yang semakin sulit dijumpai berganti dengan penggunaan alat tangkap lainnya, akibat pengaruh IPTEK yang berasal dari luar.

Pengetahuan tentang teknik pembuatan bubu umumnya melekat dan dimiliki hanya pada beberapa individu terutama para orang tua dan terbatas pada level generasi mudanya. Hal ini disebabkan karena proses interaksi generasi muda semakin terbatas karena dominan mereka melanjutkan studi di berbagai daerah. Berdasarkan kondisi aktual saat ini, beberapa wilayah kampung di sekitar Danau Ayamaru bahkan sudah tidak memiliki pengetahuan tersebut. Tentunya ini menjadi fakta miris dan memprihatinkan bagi kita semua.

Merangkai Mji Wata” adalah tantangan menarik saat ini. Di mana makna rajutan pengetahuan dan kearifan lokal ini seharusnya dapat disatukan dan dilestarikan sehingga tidak hilang ditelan waktu dan dilupakan begitu saja. Inovasi dan kolaborasi menjadi tugas kita bersama, dan khususnya masyarakat lokal itu sendiri agar pengetahuan ini mampu beradaptasi mengikuti ruang waktu dan IPTEK, sebagai bagian dari entitas masyarakat. Selamat merangkainya. (*)

*Antoni Ungirwalu. Penulis adalah dosen UNIPA Manokwari

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *